Di era digital yang serba cepat ini, komunikasi menjadi jantung interaksi sosial. Namun, seringkali kita lupa akan esensi adab dan etika dalam bertutur kata, baik di dunia nyata maupun maya. Kitab Ta’limul Muta’alim Thariqotut Ta’allum, sebuah karya monumental Imam Az-Zarnuji, menawarkan panduan berharga mengenai adab mencari ilmu, yang secara implisit juga mengajarkan pentingnya menjaga lisan dan hati dalam setiap komunikasi. Artikel ini akan mengupas tuntas pelajaran adab komunikasi dari perspektif Ta’limul Muta’alim, relevansinya di masa kini, serta bagaimana kita dapat menginternalisasikan nilai-nilai tersebut untuk menciptakan komunikasi yang lebih beradab dan bermakna.
Pentingnya Menjaga Lisan: Cerminan Hati yang Bersih
Imam Az-Zarnuji dalam Ta’limul Muta’alim tidak secara eksplisit membahas “komunikasi” dalam terminologi modern, namun ajaran beliau tentang adab murid terhadap guru, adab belajar, dan adab berinteraksi dengan ilmu, secara langsung berkaitan dengan bagaimana seseorang seharusnya bertutur kata. Menjaga lisan adalah fondasi utama. Lisan merupakan cerminan dari hati seseorang. Jika hati bersih dan lurus, maka lisan akan bertutur kata yang baik. Sebaliknya, lisan yang kotor dan menyakitkan seringkali menunjukkan kekeruhan dalam hati.
Dalam konteks menuntut ilmu, menjaga lisan berarti menghindari perkataan yang sia-sia, ghibah, fitnah, atau memotong pembicaraan guru. “Janganlah banyak bicara yang tidak bermanfaat, karena itu akan mengganggu hafalan dan melalaikan hati,” demikian intisari nasihat yang dapat kita petik dari ajaran beliau. Ini adalah prinsip dasar yang berlaku universal dalam setiap bentuk komunikasi. Berbicara seperlunya, memilih kata yang tepat, dan memastikan setiap ucapan membawa manfaat adalah kunci.
Adab Berbicara dan Mendengar: Keseimbangan dalam Komunikasi
Ta’limul Muta’alim sangat menekankan adab seorang murid ketika berinteraksi dengan gurunya. Salah satu adab terpenting adalah mendengarkan dengan seksama. Ini bukan sekadar diam, melainkan upaya aktif untuk memahami apa yang disampaikan. “Seorang penuntut ilmu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan menghormati ilmu dan ahli ilmu,” kata Imam Az-Zarnuji. Dalam komunikasi, penghormatan ini terwujud dalam kemampuan mendengarkan. Mendengar aktif memungkinkan kita menyerap informasi, memahami sudut pandang orang lain, dan merespons dengan lebih bijak.
Selain mendengarkan, adab berbicara juga diatur. Murid tidak boleh mendebat guru atau meninggikan suara di hadapannya. Meskipun konteksnya adalah hubungan guru-murid, prinsip ini relevan untuk semua bentuk komunikasi. Menghargai lawan bicara, tidak memotong pembicaraan, dan menyampaikan pendapat dengan santun merupakan esensi komunikasi yang beradab. Komunikasi efektif tercipta dari keseimbangan antara berbicara dan mendengarkan.
Menjaga Hati: Akar dari Adab Lisan
Ajaran Az-Zarnuji tentang menjaga hati sangat mendalam. Beliau mengingatkan untuk senantiasa menjaga niat dalam menuntut ilmu. Niat yang tulus semata-mata mencari ridha Allah akan membersihkan hati dari penyakit-penyakit seperti kesombongan, riya, dan hasad. Hati yang bersih akan secara otomatis memancarkan kebaikan melalui lisan. “Barang siapa tidak menjaga hatinya, maka lisannya akan berbicara yang tidak baik,” ini adalah interpretasi relevan dari ajaran beliau.
Penyakit hati seperti ujub (membanggakan diri), ghibah (membicarakan aib orang lain), dan buhtan (memfitnah) adalah pemicu utama komunikasi yang destruktif. Ta’limul Muta’alim secara tidak langsung mengajarkan kita untuk membersihkan hati terlebih dahulu. Ketika hati kita dipenuhi rasa syukur, rendah hati, dan kasih sayang, maka ucapan yang keluar dari lisan pun akan menjadi ucapan yang menenangkan, menginspirasi, dan mempersatukan.
Relevansi di Era Digital: Tantangan dan Solusi
Di media sosial, batasan antara lisan dan tulisan seringkali kabur. Setiap postingan, komentar, atau pesan adalah bentuk komunikasi yang setara dengan lisan. Prinsip-prinsip Ta’limul Muta’alim menjadi sangat relevan. Seberapa sering kita melihat komentar pedas, ujaran kebencian, atau informasi palsu beredar tanpa filter? Ini semua adalah cerminan dari kegagalan menjaga lisan dan hati.
Pelajaran dari Imam Az-Zarnuji menawarkan solusi:
-
Filter Informasi: Sebelum berbicara atau menulis, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini bermanfaat? Apakah ini benar? Apakah ini akan menyakiti orang lain?”
-
Rendah Hati: Hindari kesombongan intelektual. Akui bahwa selalu ada hal yang bisa dipelajari dari orang lain.
-
Empati: Posisikan diri kita sebagai penerima pesan. Apakah kita ingin menerima pesan semacam itu?
Menerapkan adab komunikasi dari Ta’limul Muta’alim di era digital berarti membangun ekosistem komunikasi yang lebih sehat, saling menghargai, dan produktif.
Kesimpulan
Kitab Ta’limul Muta’alim Thariqotut Ta’allum, meskipun ditulis berabad-abad lalu, tetap relevan sebagai pedoman adab komunikasi. Menjaga lisan adalah ekspresi dari hati yang bersih dan pikiran yang jernih. Dengan memperhatikan adab berbicara dan mendengarkan, serta senantiasa membersihkan hati dari penyakit-penyakit spiritual, kita dapat menciptakan komunikasi yang tidak hanya efektif, tetapi juga beradab, bermakna, dan membawa keberkahan. Marilah kita jadikan setiap kata yang terucap sebagai jembatan kebaikan, bukan jurang perpecahan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
