Khazanah
Beranda » Berita » Ketaatan Anggota Badan dan Menjauhi Angan-Angan Kosong: Dua Pilar Hidayah Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah

Ketaatan Anggota Badan dan Menjauhi Angan-Angan Kosong: Dua Pilar Hidayah Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah

Ilustrasi hamba yang sedang berdoa kepada pencipta.
Ilustrasi hamba yang sedang berdoa kepada pencipta.

SURAU.COImam Abu Hamid Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental, Bidayatul Hidayah mengajak kita untuk menjaga langkah kaki kita. Sang imam mendorong agar  langkah itu tidak kita gunakan berjalan mendatangi raja (penguasa) yang zalim, tanpa ada sebab darurat (terpaksa). Sebab tindakan ini termasuk dosa besar. Tindakan seperti itu termasuk tawadhu’ (merendahkan diri) dan memuliakan mereka karena kezalimannya. Dalam Al-Qur’an Allah Swt. telah menegaskan dengan firman-Nya:

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang zalim yang menyebabkan kamu tersentuh api neraka.” (QS. Huud: 113)

Larangan Mendatangi Orang Zalim

Jelasnya, Al-Ghazali berpendapat bahwa mendatangi orang zalim tanpa uzur syar’i (alasan yang syariat benarkan), berarti kita telah menambah anggota para zalim tersebut dan menguatkan pengaruhnya. Jika kita mendatangi orang zalim tersebut karena mengharapkan harta kekayaan dari sisinya, maka perbuatan yang demikian adalah haram. Rasulullah saw. bersabda:

“Siapa merendahkan diri pada orang kaya yang saleh karena kekayaannya, maka ia kehilangan dua pertiga agamanya.”

Hukum ini berlaku bagi yang mendatangi orang kaya yang saleh, apalagi mendatangi orang kaya yang zalim. Agama melarang mendatangi orang kaya yang saleh karena kekayaannya, tetapi kalau kita mendatangi karena kesalehannya, karena kita ingin meneladani, maka hal itu dibolehkan. Tentu saja, mendatangi orang kaya yang zalim lebih dilarang, yang berarti diharamkan oleh agama.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kesimpulannya, segala gerak dan diam anggota badan kita adalah satu nikmat pemberian Allah. Oleh karena itu, jangan sekali-kali kita arahkan gerak dan diam kita itu untuk melakukan maksiat kepada-Nya. Hendaklah kita konsentrasikan melakukan apa saja yang menyebabkan keridaan-Nya. Dengan demikian, berarti kita telah mensyukuri nikmat yang telah Dia curahkan, di samping kita memelihara amanat-Nya.

Ketika Diri Meremehkan Ketaatan Kepada Allah

Perlu kita ketahui, jika kita meremehkan masalah ketaatan kepada Allah, maka akibatnya akan menimpa diri sendiri. Tetapi jika kita betul-betul taat dan menggunakan seluruh anggota badan untuk melakukan mujahadah (perjuangan), mendekatkan diri kepada Allah sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah Allah curahkan, maka buah manfaatnya pun tentu akan kembali kepada kita, serta dapat kita rasakan dengan nyata. Sebab, Allah senantiasa tidak membutuhkan kita, tetapi seluruh amal akan mendapat balasan setimpal. Sebaliknya, kitalah yang selalu membutuhkan Allah.

Selanjutnya, untuk memelihara diri dari ancaman Allah yang maha dahsyat, janganlah sekali-kali kita mengucapkan:

“Allah adalah Zat Yang Maha Dermawan dan Kasih Sayang, serta mengampuni segala dosa hamba-Nya yang durhaka.”

Sebab, ucapan seperti itu sering disalahgunakan. Kalimat di atas pada dasarnya adalah benar. Tetapi, karena sering disalahgunakan, maka kita tidak boleh mengucapkannya (tanpa sadar akan konsekuensinya). Tindakan yang demikian tidaklah benar, sehingga Rasulullah saw. menamakan orang yang sering mengucapkan hal itu sebagai orang dungu atau lemah akal. Sebagaimana telah Dia tegaskan dalam sebuah hadis:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Yang disebut orang pandai adalah orang yang merendahkan dirinya serta senantiasa melakukan amal-amal yang dapat diambil manfaatnya setelah (dia) mati. Adapun orang yang dungu, adalah orang yang menuruti hawa nafsunya tetapi berangan-angan mendapatkan berbagai kemurahan Allah.”

Bahaya Angan-Angan Kosong Tanpa Usaha

Ucapan seperti itu adalah ucapan orang yang mengigau ketika bermimpi. Boleh juga kita ibaratkan dengan orang yang ingin alim tetapi tidak mau mempelajari dan mengkaji kitab-kitab agama. Bahkan, ia selalu bermalas-malasan, lalu ia berkata:

“Allah adalah Zat yang Maha Dermawan dan Kasih Sayang serta Maha Kuasa. Dia dapat mendatangkan ilmu-Nya yang telah Dia berikan kepada para Nabi dan para wali, lalu memberikannya kepadaku tanpa kesukaran, biaya, dan mengkaji ilmu agama.”

Pikiran ini ibarat orang berdagang tetapi tidak mau menjajakan dagangannya. Tentu hal itu tidaklah mungkin dapat tercapai. Ingatlah, sepanjang masa perahu tidak akan pernah berlayar di daratan! Sekalipun zaman sudah serba maju. Kalau pun ada, itu hanya perahu mainan, bukan sungguhan.

Lalu, orang tersebut berkata lagi:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“Allah Maha Dermawan dan Kasih Sayang. Semua simpanan-Nya yang berupa harta kekayaan sebanyak tujuh langit dan bumi merupakan milik-Nya. Dia berkuasa memperlihatkan kepadaku salah satu gudang yang menyebabkan diriku kaya tanpa bekerja. Hal ini pernah Allah lakukan kepada sebagian hamba-Nya.”

Pernyataan ini termasuk suatu lamunan ataupun fatamorgana ketika matahari dengan garangnya memancarkan sinar terik di tengah padang sahara.

Selanjutnya, apabila kita mendengarkan ucapan orang yang ingin pandai dan ingin kaya, tetapi tidak mau belajar dan bekerja keras, tentu kita akan menganggapnya sebagai orang yang tolol. Di samping itu, orang-orang akan menertawakannya, meski dalam ucapannya ia menggantungkan diri kepada sifat Maha Dermawan, Maha Kasih Sayang, dan Allah Maha Kuasa itu benar adanya. Namun, suatu keinginan tidak mungkin dapat terwujud jika tidak ada ikhtiar.

Ikhtiar Menjemput Ampunan Allah

Ingatlah, orang yang mengetahui dengan pasti seluk beluk agama tentu akan menertawakan apabila kita mengharapkan suatu ampunan dari Allah, tetapi tidak mau menempuh jalan untuk mendapatkan ampunan tersebut.

Dalam hal ini, ingatlah selalu firman Allah swt. yang berbunyi:

“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39)

Pada ayat yang lain Allah swt. juga berfirman:

“Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.” (QS. At Tahrim: 7)

Dalam ayat yang lain, Allah swt. juga telah berfirman:

“Sesungguh-nya, orang-orang yang baik (berada) dalam kenikmatan (kesenangan). Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka (berada) dalam neraka (Jahim).” (QS. Al Infithaar: 13-14)

Karena itu, menurut Al-Ghazali  kita tidak boleh meninggalkan mencari ilmu pengetahuan dan mencari rezeki yang halal, hanya dengan mengandalkan sifat kemurahan, belas kasihan, dan pemberian Allah semata. Kita wajib berusaha dan berikhtiar dalam mewujudkan hal tersebut. Demikian juga, kita tidak boleh meninggalkan usaha untuk mendapatkan bekal kelak di akhirat dengan memperbanyak amal saleh. Amal saleh yang mengantar ke arah kebahagiaan akhirat ini, jangan sampai kita lupakan.(St.Diyar)

Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghazali at-Thusi , Bidayatul Hidayah


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement