SURAU.CO. Bahasa Jawa adalah lautan kearifan yang tak pernah surut. Setiap katanya memantulkan pengalaman hidup, kebijaksanaan, dan perenungan panjang manusia Jawa terhadap dunia. Di dalamnya, pepatah, paribasan, dan pitutur luhur bukan sekadar susunan bunyi, tetapi arah jalan bagi siapa pun yang ingin hidup selaras dengan alam dan sesama. Salah satu pitutur yang masih sering terdengar adalah, “Kegedhen empyak kurang cagak.” Secara harfiah, ia berarti “atap terlalu besar, tetapi tiangnya kurang kuat.” Ungkapan ini sederhana, namun menyimpan kedalaman makna yang menohok: sebuah peringatan agar manusia tidak melampaui batas kemampuannya sendiri.
Pepatah itu mengajak kita menundukkan diri sejenak, menimbang kembali antara cita-cita dan kesiapan. Dalam kehidupan yang serba cepat, banyak orang membangun atap impian setinggi langit, tapi lupa menegakkan tiang penyangga yang kokoh. Akibatnya, rumah kehidupan mudah goyah diterpa ujian. Maka, pitutur Jawa ini bukan sekadar nasihat lama, melainkan cermin abadi agar manusia tetap berpijak pada keseimbangan—antara keinginan dan kemampuan, antara ambisi dan kerendahan hati.
Atap Impian dan Tiang Kemampuan
Dalam perumpamaan ini, empyak atau atap adalah simbol. Ia mewakili cita-cita, ambisi, atau keinginan manusia. Sementara itu, cagak atau tiang melambangkan kemampuan, persiapan, dan daya dukung. Ini semua menopang keinginan tersebut. Jika atap terlalu besar tetapi tiangnya kecil, rumah itu pasti roboh. Begitu pula kehidupan manusia. Jika keinginan terlalu tinggi, tetapi kemampuan dan kesiapan belum cukup, maka bukan kemajuan yang terjadi, melainkan kehancuran.
Pitutur ini sering dipakai orang tua Jawa. Mereka menasihati agar hidup tidak ngaya. Artinya, jangan memaksakan diri di luar batas kemampuan. Misalnya, seseorang dengan penghasilan pas-pasan. Namun, ia memaksakan gaya hidup mewah demi gengsi. Atau, seorang buruh tani nekat menjual tanah warisan. Tujuannya membeli truk tua, berharap menjadi juragan. Namun, ia belum paham mesin dan pengelolaan usaha. Truk itu sering rusak. Akhirnya dijual murah. Semua harta habis, tinggal penyesalan. Inilah contoh nyata “kegedhen empyak kurang cagak“—keinginan besar tanpa ditopang kemampuan.
Lebih dari Sekadar Ekonomi: Moral dan Spiritual
Makna pepatah ini tak hanya soal ekonomi. Ia juga menyentuh moral dan spiritual. Dalam dunia modern, kita sering melihat orang berlomba-lomba. Mereka ingin membangun “atap besar“: karier cemerlang, citra diri di media sosial, bahkan proyek-proyek megah. Namun, banyak yang lupa membangun “tiang“: akhlak, kejujuran, dan kesungguhan. Akibatnya, bangunan megah itu roboh. Oleh korupsi, skandal, atau kebohongan. Empyak yang tampak gagah ternyata tak punya cagak yang kokoh.
Pepatah ini juga menjadi cermin bagi generasi muda. Di era digital, banyak yang ingin cepat terkenal, cepat sukses, dan cepat kaya. Padahal, mereka belum siap menghadapi konsekuensi kesuksesan itu. Fenomena pinjol dan paylater, misalnya, memperlihatkan. Orang terjerat oleh keinginan yang lebih besar dari kemampuan finansial. Semua demi gengsi dan penampilan, tanpa perhitungan matang. Padahal, orang Jawa selalu diajarkan untuk urip sak madya. Hidup sewajarnya, tidak berlebihan. Selalu mempertimbangkan keseimbangan keinginan dan kemampuan.
Falsafah Keseimbangan dalam Hidup
Falsafah “kegedhen empyak kurang cagak” adalah ajaran tentang keseimbangan. Antara impian dan realitas, antara cita-cita dan kesiapan, antara dunia dan akhirat. Ia mengingatkan manusia. Jangan hanya membangun atap setinggi langit. Perkuat juga tiang yang menancap di bumi: ilmu, iman, dan tanggung jawab. Tanpa tiang itu, rumah kehidupan akan mudah goyah terkena angin ujian.
Pepatah ini juga sejalan dengan ajaran Islam. Islam memuliakan tawazun, keseimbangan hidup. Rasulullah Saw bersabda bahwa setiap amal harus dilakukan. Dengan niat dan ukuran yang tepat. Bekerja, beribadah, dan bermimpi besar itu baik. Tetapi semua harus dalam batas kemampuan dan proporsi. Orang dengan keinginan terlalu besar tanpa bekal akan jatuh pada kesombongan. Sedangkan orang yang seimbang akan teguh dalam langkah.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
