Surau.co. Tafsir Jalalain menjadi salah satu karya tafsir Al-Qur’an paling terkenal di dunia Islam. Dua ulama besar menulisnya: Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Sejak abad ke-15, kitab ini tetap menjadi pegangan utama di pesantren dan lembaga Islam karena bahasanya singkat, jelas, dan mudah dipahami. Isinya tidak hanya menafsirkan ayat, tetapi juga menyingkap keindahan bahasa Al-Qur’an, makna spiritual, dan nilai moral yang menuntun kehidupan manusia.
Makna Ringkas Tapi Kaya Kandungan
Keunikan Tafsir Jalalain terletak pada gaya tafsirnya yang padat namun sarat ilmu. Kedua penulis menggunakan metode tafsir bil-ma’tsur dan tafsir ijmali — cara menafsirkan ayat secara ringkas dengan merujuk pada hadis Nabi ﷺ, pendapat sahabat, serta kaidah bahasa Arab klasik.
Dalam setiap penjelasan, al-Mahalli dan as-Suyuthi menjaga kesederhanaan bahasa agar mudah dipahami semua kalangan. Meski singkat, setiap kalimat mengandung pemahaman mendalam tentang konteks, hukum, dan tujuan wahyu. Karena itu, banyak ulama menyebut Jalalain sebagai tafsir yang “sedikit kata, banyak makna.”
Sebagaimana firman Allah ﷻ:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ
“(Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah, agar mereka merenungi ayat-ayatnya.”
(QS. Shad [38]: 29)
Ayat ini menggambarkan tujuan Jalalain — menuntun umat Islam merenungi Al-Qur’an secara sederhana namun mendalam.
Struktur Materi: Dari Makna Leksikal Hingga Konteks Spiritual
Tafsir Jalalain tersusun mengikuti urutan mushaf, dari Surah Al-Fatihah hingga An-Naas. Penjelasan dimulai dari makna kata (lafaz), lalu berlanjut ke hubungan antar kalimat dan konteks turunnya ayat (asbabun nuzul).
Imam al-Mahalli lebih menekankan sisi kebahasaan dan struktur nahwu. Sementara itu, Imam as-Suyuthi menambahkan konteks dan penguatan dengan hadis serta pendapat ulama klasik. Keduanya berpadu seperti dua cermin yang memantulkan cahaya wahyu dari arah berbeda.
Sebagai contoh, saat menafsirkan ayat tentang penciptaan manusia dari tanah, Jalalain menjelaskan arti kata turab secara literal lalu menghubungkannya dengan makna filosofis: manusia berasal dari kesederhanaan dan harus hidup dengan rendah hati.
Inilah kekuatan utama tafsir ini — bukan hanya menjelaskan teks, tetapi juga menggugah hati.
Dimensi Bahasa dan Keindahan Retorika Qur’ani
Bahasa Arab Al-Qur’an dikenal sangat indah. Jalalain berhasil menjaga keindahan itu lewat tafsir yang ringkas namun tetap bernilai sastra. Tafsir ini mengurai kata-kata sulit tanpa mengurangi keindahan retorika wahyu.
Dalam ayat yang mengandung majas, tamsil, atau pengulangan, Jalalain menyingkap maknanya dengan teliti. Ia menunjukkan bahwa setiap kata dalam Al-Qur’an penuh hikmah, bukan kebetulan. Karena itu, banyak ahli bahasa Arab menjadikan Tafsir Jalalain sebagai rujukan dalam memahami balaghah (retorika) sekaligus memperkuat pemahaman gramatikal dalam konteks spiritual.
Fokus pada Akidah, Fikih, dan Etika
Secara substansial, Tafsir Jalalain menonjolkan tiga tema besar: akidah, hukum (fikih), dan akhlak.
Pada ayat-ayat akidah, tafsir ini mengajak manusia mengenal Allah lewat tanda-tanda kebesaran-Nya. Dalam ayat hukum, Jalalain menjelaskan kaidah fikih secara lugas tanpa memperpanjang perdebatan mazhab. Sedangkan pada bagian etika, tafsir ini menekankan nilai moral yang membentuk karakter Muslim sejati.
Contohnya, saat menjelaskan ayat:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 195)
Jalalain memaknai ihsan bukan hanya secara sosial, tetapi juga spiritual: berbuat baik dengan kesadaran bahwa Allah selalu melihat. Nilai ini tetap relevan sepanjang zaman karena mengajarkan keseimbangan antara ibadah, akhlak, dan kesadaran hati.
Kehadiran Jalalain dalam Fenomena Sehari-Hari
Bagi banyak santri di Indonesia, membaca Tafsir Jalalain menjadi bagian dari ritual ilmu sekaligus perjalanan spiritual. Mereka tidak hanya memahami ayat, tetapi juga melatih cara berpikir sistematis dan mendalam.
Dalam kehidupan modern, prinsip Jalalain tetap hidup: memahami sesuatu secara utuh tanpa berlebihan. Saat manusia mudah tergoda oleh informasi instan, tafsir ini mengingatkan pentingnya ketenangan dan ketelitian dalam mencari makna.
Tradisi ngaji Jalalain masih lestari di banyak pesantren Nusantara. Santri duduk melingkar, mendengarkan guru membacakan tafsir perlahan, sambil menandai setiap kata. Suasana itu membentuk karakter ilmiah dan spiritual yang sulit tergantikan oleh teknologi.
Relevansi Jalalain di Era Digital
Walau lahir lebih dari lima abad lalu, Tafsir Jalalain tetap relevan hingga kini. Karya ini menuntun umat agar berpikir kritis tanpa kehilangan kerendahan hati, berilmu tanpa meninggalkan iman.
Di era digital yang serba cepat, Jalalain mengajarkan keseimbangan: memahami ayat Allah dengan perenungan, bukan sekadar membaca sepintas.
Sebagaimana firman Allah:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ
“Maka tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an?”
(QS. Muhammad [47]: 24)
Tafsir ini membantu manusia bertadabbur — merasakan pesan Tuhan di balik setiap ayat.
Kesimpulan: Warisan Ilmu yang Tetap Hidup
Tafsir Jalalain memadukan keilmuan, kesederhanaan, dan spiritualitas dalam satu karya. Ia menunjukkan bahwa ilmu tidak harus rumit untuk bermakna. Dalam kesederhanaannya, tafsir ini memuat kedalaman yang tak lekang waktu.
Karya dua Jalal ini lahir dari ketulusan hati dalam menafsirkan firman Allah. Karena itu, cahayanya terus hidup, menerangi generasi demi generasi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
