Surau.co. Tafsir Jalalain termasuk salah satu karya tafsir Al-Qur’an paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Ketenarannya lahir dari dua ulama besar yang menulisnya: Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Keduanya hidup di Mesir pada masa berbeda, namun menyatu dalam semangat yang sama — menyebarkan ilmu dengan ketulusan dan kejernihan hati. Sejarah mencatat, keduanya menjadi permata intelektual Islam abad ke-15. Mereka tidak hanya menguasai tafsir, tetapi juga hadis, fikih, dan bahasa Arab dengan kedalaman luar biasa.
Perjalanan Hidup Imam Jalaluddin al-Mahalli: Sang Peneliti yang Hati-hati
Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli lahir di Kairo, Mesir, sekitar tahun 791 H (1389 M). Ia dikenal sebagai ulama Syafi’i yang sangat teliti dalam menelaah teks agama. Sejak muda, al-Mahalli menunjukkan kecerdasan tinggi dalam fikih, usul fikih, logika, dan bahasa Arab.
Nama “al-Mahalli” ia ambil dari daerah kelahirannya, Mahalla al-Kubra di Delta Nil. Pada masa mudanya, ia menimba ilmu dari para ulama besar Kairo, seperti Syekh al-Bulqini dan Ibnu Hajar al-Asqalani — ahli hadis besar yang menjadi panutannya dalam berpikir ilmiah.
Namun, al-Mahalli memilih hidup sederhana. Ia lebih senang menghabiskan waktu di masjid atau ruang kecil penuh kitab, menulis di bawah cahaya lampu minyak pada malam hari.
Keilmuannya menyebar luas melalui karya-karya besar, di antaranya Syarh Jam‘ al-Jawāmi‘ dalam usul fikih dan Tafsir al-Jalalain, yang kelak dilanjutkan oleh muridnya. Al-Mahalli sangat ketat terhadap kebenaran. Jika ia belum yakin terhadap satu makna ayat, ia lebih memilih diam daripada menafsirkan dengan dugaan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Nilai hadis ini begitu jelas dalam gaya penulisan al-Mahalli: hati-hati, ringkas, namun sarat makna.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi: Cendekiawan Jenius dengan Ribuan Karya
Setelah al-Mahalli wafat, tongkat keilmuan berpindah kepada muridnya yang luar biasa cerdas, Imam Jalaluddin Abdul Rahman bin Abu Bakar as-Suyuthi. Ia lahir di Kairo pada tahun 849 H (1445 M). Sejak kecil, as-Suyuthi sudah menunjukkan bakat istimewa. Di usia delapan tahun ia hafal Al-Qur’an, dan sebelum usia dua puluh tahun ia telah menulis karya ilmiah sendiri.
As-Suyuthi dikenal sebagai polimath — ahli di banyak bidang. Ia menulis lebih dari 500 karya yang mencakup tafsir, hadis, fikih, bahasa Arab, sejarah, hingga kedokteran. Beberapa karya terkenalnya antara lain Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Al-Jami‘ al-Saghir, dan Tadrib ar-Rawi.
Selain cerdas, ia juga tegas dan independen. Ia menolak tunduk pada kekuasaan politik dan lebih memilih hidup sederhana. Dalam satu masa hidupnya, ia berdiam di sebuah pulau kecil di Sungai Nil untuk menulis dan beribadah. Di tempat sunyi itulah lahir sebagian besar karyanya, termasuk penyempurnaan Tafsir Jalalain.
Hubungan Guru dan Murid yang Mengilhami Dunia
Kedekatan antara al-Mahalli dan as-Suyuthi tidak berhenti pada hubungan akademik; ia tumbuh menjadi ikatan spiritual. Setelah gurunya wafat, as-Suyuthi melanjutkan penulisan Tafsir Jalalain dengan penuh hormat. Ia menjaga gaya bahasa, struktur, dan metode tafsir sang guru agar terasa seolah ditulis oleh satu tangan.
Nama Jalalain (“dua Jalal”) menjadi simbol keharmonisan antara guru dan murid. Al-Mahalli membangun fondasi keilmuan yang kokoh, sementara as-Suyuthi melengkapinya dengan wawasan luas dan sentuhan literer yang indah. Keduanya menghasilkan tafsir yang sederhana, padat, dan mudah dipahami — namun tetap dalam makna.
Cahaya Ilmu yang Tak Pernah Padam
Karya dua Jalal ini bukan sekadar tafsir, tetapi cermin keikhlasan dalam memahami kalam Allah. Kitab tersebut terus hidup hingga kini karena lahir dari niat murni dan pemahaman mendalam.
Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
Ayat ini menggambarkan kemuliaan dua ulama besar tersebut. Mereka bukan sekadar penulis, melainkan penyala cahaya ilmu yang menuntun generasi demi generasi.
Di pesantren-pesantren Nusantara, Tafsir Jalalain tetap menjadi kitab wajib. Para santri membacanya, menghafalnya, dan mengkajinya, menjadikannya bagian dari tradisi keilmuan Islam yang terus hidup hingga hari ini.
Refleksi: Keteladanan Dua Ulama di Zaman Digital
Kisah dua Jalal mengajarkan kesabaran dan keikhlasan dalam mencari ilmu. Meski hidup tanpa teknologi, karya mereka melintasi abad. Pelajaran ini sangat relevan bagi generasi sekarang: keabadian ilmu tidak bergantung pada alat, melainkan pada niat dan ketulusan hati.
Tafsir Jalalain juga mengingatkan bahwa ilmu harus menebar kebaikan, bukan sekadar menunjukkan kepintaran. Seorang penuntut ilmu patut meneladani al-Mahalli yang tajam dalam berpikir dan as-Suyuthi yang rendah hati dalam beramal.
Penutup: Dua Nama, Satu Warisan
Biografi Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi menegaskan bahwa ilmu yang tulus akan hidup selamanya. Mereka bukan sekadar penulis tafsir, melainkan penjaga makna Al-Qur’an yang sejati. Dari ruang belajar sederhana di Kairo, karya mereka kini menerangi dunia Islam — dari Timur hingga Barat, dari masa lalu hingga masa kini.
Tafsir Jalalain tetap menjadi simbol abadi hubungan suci antara guru dan murid, antara ilmu dan keikhlasan, antara akal dan hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
