Surau.co — Tafsir Jalalain menempati posisi istimewa dalam khazanah keilmuan Islam. Kitab ini lahir dari tangan dua ulama besar, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, yang sama-sama mencurahkan hidupnya untuk Al-Qur’an. Sejak ditulis lebih dari lima abad lalu, tafsir ini terus menghidupkan tradisi belajar di pesantren dan lembaga Islam di berbagai negeri, termasuk Indonesia. Gaya bahasanya ringkas, padat, dan jernih, membuatnya mudah dipahami oleh santri pemula hingga para ulama besar.
Dua Jalal, Satu Cahaya Keilmuan
Kisah besar ini bermula dari Imam Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H/1459 M), seorang ahli tafsir dan fikih dari Mazhab Syafi‘i yang terkenal karena ketajaman nalar dan keteguhan sikap ilmiahnya. Beliau memulai penulisan Tafsir Jalalaindengan gaya sederhana dan rasional, namun wafat sebelum menuntaskannya.
Setelah itu, murid kesayangannya, Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H/1505 M), melanjutkan karya tersebut dengan penuh kehati-hatian. Ia tidak mengubah metode gurunya, bahkan berupaya menulis dengan nada dan ritme yang serupa agar kitab ini terasa satu napas. Karena keduanya memiliki nama dan gelar yang sama, kitab ini kemudian dikenal sebagai Tafsir al-Jalalain — yang berarti “Tafsir Dua Jalal.”
Dengan demikian, Jalalain bukan sekadar hasil dua pena, melainkan pertemuan dua jiwa yang sama-sama mencintai ilmu.
Metode yang Sederhana Namun Bernilai Tinggi
Keistimewaan Jalalain terletak pada cara penulisannya. Kedua ulama ini menafsirkan ayat dengan bahasa singkat dan struktur yang efisien. Mereka lebih memilih menjelaskan inti makna ketimbang memperpanjang perdebatan. Pendekatan seperti ini menunjukkan betapa mereka memahami bahwa ilmu seharusnya memudahkan, bukan membebani.
Berbeda dengan tafsir lain yang menjabarkan panjang lebar, Jalalain menggunakan metode ijmali — menafsirkan secara ringkas namun padat makna. Satu ayat sering dijelaskan hanya dalam beberapa kalimat, tetapi sudah mencakup sebab turunnya ayat, makna bahasa, dan pesan moral di dalamnya.
Oleh karena itu, Jalalain menjadi pintu pertama bagi para pelajar tafsir. Santri belajar mengenali struktur bahasa Al-Qur’an, melatih ketajaman nalar, dan mengasah rasa hormat terhadap wahyu. Kitab ini lalu membuka jalan bagi mereka untuk naik ke tingkat tafsir yang lebih tinggi seperti al-Baidhawi dan ar-Razi.
Kebijaksanaan Dua Ulama Besar
Imam al-Mahalli dikenal sangat berhati-hati dalam menulis. Ia tidak menafsirkan satu ayat pun tanpa landasan yang kuat. Ketika wafat, beliau baru menyelesaikan tafsir mulai dari Surah al-Kahfi hingga an-Naas, serta Surah al-Fatihah.
Melihat warisan gurunya belum sempurna, Imam as-Suyuthi kemudian melanjutkan tafsir dari Surah al-Baqarah hingga al-Isra’. Ia menulis dengan semangat bakti dan cinta ilmu, memastikan agar gaya gurunya tetap terjaga. Keduanya menulis dengan prinsip yang sama — lugas, objektif, dan menjauhi fanatisme mazhab.
Dengan pendekatan itu, Tafsir Jalalain diterima secara luas di dunia Islam. Ia tidak memihak kelompok tertentu, tetapi memuliakan kejelasan makna dan ketulusan niat.
Kandungan dan Spiritualitas Jalalain
Setiap baris dalam Jalalain mengandung cahaya pemahaman. Tafsir ini tidak hanya menjelaskan makna ayat, tetapi juga menuntun pembaca untuk memahami nilai-nilai moral dan spiritual di balik teks.
Allah berfirman:
قَدْ جَاءَكُم مِّنَ ٱللَّهِ نُورٌۭ وَكِتَـٰبٌۭ مُّبِينٌۭ
“Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang memberi penjelasan.”
(QS. Al-Māidah [5]: 15)
Ayat ini menggambarkan bahwa Al-Qur’an adalah cahaya bagi hati. Jalalain hadir sebagai lentera kecil yang membantu umat menyingkap makna cahaya itu. Melalui penjelasan yang singkat namun tajam, pembaca diajak bukan hanya untuk memahami, tetapi juga untuk merasakan kedalaman pesan ilahi.
Dengan demikian, tafsir ini tidak berhenti pada pengetahuan, melainkan bergerak menuju penghayatan.
Jalalain dan Tradisi Santri Nusantara
Seiring perjalanan waktu, Jalalain menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya pesantren di Nusantara. Santri membacanya setiap pagi, menyalinnya di kitab kuning, dan menghafal makna ayat demi ayat. Banyak kiai bahkan menulis syarah tambahan agar tafsir ini lebih mudah dicerna masyarakat awam.
Fenomena itu menunjukkan bahwa Jalalain bukan sekadar karya akademis, melainkan warisan hidup yang membentuk tradisi spiritual dan intelektual bangsa. Dari surau kecil di kampung hingga pesantren besar di Jawa dan Sumatra, kitab ini terus mengajarkan kesederhanaan berpikir dan keikhlasan dalam mencari ilmu.
Dengan kata lain, Jalalain telah menjadi “guru sunyi” bagi umat Islam Indonesia — guru yang mengajarkan kebijaksanaan tanpa banyak bicara.
Relevansi Jalalain di Era Modern
Kini, ketika dunia dibanjiri informasi dan tafsir instan di media sosial, Jalalain menawarkan keteduhan. Ia mengingatkan bahwa memahami Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan membaca terjemahan atau mendengar potongan ceramah. Dibutuhkan ketelitian, kesabaran, dan sikap hormat terhadap ilmu.
Di sisi lain, Jalalain juga mengajarkan keseimbangan antara akal dan hati. Ia menunjukkan bahwa ilmu tidak boleh memadamkan rasa, dan bahwa pengetahuan sejati justru lahir dari keikhlasan. Dalam konteks modern, pesan ini terasa semakin penting: manusia perlu berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dan kembali mendengarkan suara wahyu.
Penutup: Warisan Ilmu yang Tak Pernah Padam
Tafsir Jalalain bukan hanya kitab tafsir, melainkan kisah cinta antara guru dan murid. Al-Mahalli menulis dengan ketulusan; as-Suyuthi menyempurnakan dengan bakti. Keduanya menegaskan bahwa ilmu yang ditulis dengan hati akan bertahan lebih lama daripada usia penulisnya.
Setiap lembarnya menyimpan keindahan: ketelitian ilmiah, kesederhanaan bahasa, dan kehangatan spiritual. Karena itu, Jalalain tidak pernah mati. Ia terus hidup di hati para pencari ilmu, menjadi jembatan antara teks wahyu dan rasa kemanusiaan.
Pada akhirnya, siapa pun yang membaca Jalalain bukan hanya mempelajari tafsir, tetapi sedang berjalan di jalan cahaya — jalan menuju pemahaman yang menenangkan jiwa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
