Khazanah
Beranda » Berita » Ilmu dan Guru dalam Pandangan Imām Mālik: Adab Sebelum Ilmu

Ilmu dan Guru dalam Pandangan Imām Mālik: Adab Sebelum Ilmu

Murid dan guru dalam majelis ilmu di Madinah, simbol adab sebelum ilmu menurut I
Lukisan digital bernuansa hangat memperlihatkan hubungan spiritual antara guru dan murid, terinspirasi dari tradisi ilmu Imām Mālik di Madinah.

Surau.co. Dalam pandangan Imām Mālik, hubungan antara ilmu dan guru bukan sekadar ikatan antara pengajar dan pelajar. Lebih dari itu, keduanya terhubung secara spiritual, menuntut keikhlasan, penghormatan, dan adab yang selalu mendahului pengetahuan. Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, adab menjadi fondasi utama sebelum seseorang berlayar ke samudra ilmu. Maka tak heran bila murid-murid besar seperti Imām al-Shāfi‘ī dan Yahyā bin Yahyā al-Laytsī memandang Imām Mālik bukan hanya ahli fikih, melainkan juga teladan hidup tentang bagaimana ilmu dimuliakan.

Imām Mālik pernah menasihatkan:

قال مالك: تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.”
(Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik)

Ungkapan itu bukan sekadar pesan moral, melainkan sistem nilai yang utuh. Menurut pandangan Mālikī, ilmu tidak akan memberi cahaya tanpa kesantunan terhadap guru, penghargaan terhadap majelis ilmu, serta kesadaran bahwa pengetahuan sejati bersumber dari Allah.

Dari Madinah, Cahaya Ilmu yang Beradab

Fenomena zaman modern—seperti kelas daring, konten instan, dan diskusi publik di media sosial—sering menunjukkan lunturnya adab dalam menuntut ilmu. Banyak orang mudah berdebat tanpa memahami konteks, menyalahkan tanpa mendengar, dan merasa berilmu tanpa proses yang matang. Karena itu, ajaran Imām Mālik terasa semakin relevan di era ini.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik menggambarkan kehati-hatian ulama Madinah dalam berbicara. Ia menuturkan:

عن مالك قال: ما أفتيت حتى شهد لي سبعون أني أهل لذلك
“Aku tidak pernah berfatwa hingga tujuh puluh ulama bersaksi bahwa aku layak melakukannya.”
(Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik)

Sikap ini menegaskan bahwa ilmu bukan tentang seberapa cepat seseorang berbicara, melainkan seberapa dalam ia memahami tanggung jawab di balik kata-kata. Karena itu, kehati-hatian menjadi tanda kesadaran spiritual seorang alim. Lebih jauh lagi, penguasaan ilmu selalu menuntut kebersihan hati dan kerendahan diri.

Ilmu Sebagai Amanah, Bukan Sekadar Informasi

Imām Mālik hidup di masa ketika ilmu dianggap sebagai warisan Rasulullah ﷺ yang wajib dijaga dengan amanah. Ia menegaskan bahwa penyampaian ilmu adalah tanggung jawab spiritual. Beliau berkata:

قال مالك: العلم نور، لا يُعطاه العاصي
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya itu tidak diberikan kepada pelaku maksiat.”
(Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Makna perkataan ini sangat dalam. Ilmu bukan sekadar data atau hafalan, tetapi cahaya yang hanya menembus hati yang bersih. Karena itu, penuntut ilmu mesti memperbaiki niat dan perilakunya, bukan hanya mengasah akalnya.

Selain itu, fenomena masa kini memperlihatkan bagaimana ilmu sering dijadikan alat untuk berdebat atau mencari popularitas. Padahal, Imām Mālik mengingatkan bahwa ilmu tanpa adab akan berubah menjadi fitnah yang menyesatkan.

Guru Sebagai Cermin Kehormatan

Menurut Imām Mālik, guru bukan hanya pengajar, melainkan penjaga warisan kenabian. Ia sangat menghormati gurunya, Nāfi‘ (maulā Ibn ‘Umar). Setiap kali menyebut nama gurunya, beliau tidak pernah tersenyum—bentuk penghormatan terhadap ilmu yang diterimanya.

قال مالك عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنه قال:
العلم ثلاثة: آية محكمة، وسنة قائمة، ولا أدري
“Ilmu itu ada tiga: ayat yang muhkam (jelas), sunnah yang berlaku, dan ucapan ‘aku tidak tahu.’”
(Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik)

Ucapan terakhir, “aku tidak tahu,” mencerminkan kerendahan hati ulama sejati. Dalam satu majelis, ketika ditanya empat puluh pertanyaan, Imām Mālik hanya menjawab empat, dan sisanya ia jawab dengan lā adrī—“aku tidak tahu.” Sikap ini memperlihatkan bahwa guru sejati bukan yang selalu punya jawaban, tetapi yang menumbuhkan kejujuran intelektual dan rasa tanggung jawab ilmiah.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Adab Sebelum Ilmu: Refleksi untuk Zaman Digital

Kini, ketika pengetahuan bisa diakses dengan sekali klik, nilai adab kerap diabaikan. Banyak orang merasa cukup membaca ringkasan atau menonton video pendek tanpa mendalami maknanya. Padahal, menurut Imām Mālik, pencarian ilmu memerlukan kesabaran, kerendahan hati, dan penghormatan terhadap sumber ilmu.

Allah ﷻ berfirman:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Ṭāhā [20]: 114)

Ayat ini menegaskan bahwa ilmu adalah proses tanpa akhir. Karena itu, adab berfungsi sebagai kompas agar perjalanan ilmu tetap dalam koridor keikhlasan dan kebijaksanaan.

Lebih lanjut, Imām Mālik berpesan:

من طلب العلم بنية صالحة نفعه الله به
“Siapa yang menuntut ilmu dengan niat baik, Allah akan memberinya manfaat dari ilmu itu.”
(Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik)

Pesan ini mengingatkan bahwa niat dan adab menentukan keberkahan ilmu yang diperoleh.

Penutup: Ilmu yang Hidup Karena Adab

Imām Mālik tidak hanya meninggalkan karya monumental Al-Muwaṭṭa’, tetapi juga warisan etika yang menghidupkan makna ilmu dalam Islam. Baginya, adab bukan pelengkap, melainkan inti dari pencarian ilmu.

Oleh sebab itu, sebelum menuntut ilmu, kita perlu menuntut diri untuk beradab. Sebelum berusaha memahami, kita mesti belajar menghormati. Sebab, dalam pandangan Imām Mālik, ilmu tanpa adab hanyalah suara tanpa makna, cahaya tanpa arah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement