Surau.co. Dalam Al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik ibn Anas, sedekah bukan hanya sekadar pemberian materi, tetapi wujud dari jiwa Islam yang hidup dan berdenyut dalam setiap aspek sosial. Bagi Mālik, sedekah adalah bentuk pengabdian yang melampaui angka dan benda — ia adalah pancaran keikhlasan, kasih, dan solidaritas kemanusiaan.
Mālik hidup di Madinah, kota yang menjadi laboratorium peradaban Islam pertama. Ia menyaksikan bagaimana masyarakat Madinah meneladani Rasulullah ﷺ dalam memaknai sedekah: bukan sekadar memberi, melainkan berbagi kehidupan. Dalam Al-Muwaṭṭa’, Mālik mengumpulkan hadits-hadits dan perkataan sahabat yang menunjukkan bahwa sedekah adalah ruh sosial Islam — ibadah yang menghidupkan hubungan antar manusia dan menumbuhkan kesejahteraan bersama.
Makna Sedekah dalam Pandangan Mālikī
Dalam salah satu riwayat Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik meriwayatkan sabda Nabi ﷺ yang mendalam tentang hakikat sedekah:
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ:
“عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ.”
قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ؟
قَالَ: “يَعْمَلُ بِيَدَيْهِ، فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ.”
(Dari Abu Mūsā al-Ash‘arī, Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap Muslim wajib bersedekah.” Mereka bertanya: “Bagaimana jika ia tidak memiliki apa pun?” Beliau menjawab: “Hendaklah ia bekerja dengan tangannya, lalu memberi manfaat bagi dirinya dan bersedekah.”)
Imām Mālik menafsirkan hadits ini dengan penuh hikmah. Menurutnya, sedekah tidak terbatas pada materi. Setiap kebaikan — senyum, tenaga, ilmu, bahkan doa — adalah bentuk sedekah. Dengan demikian, sedekah menjadi ekspresi cinta dan tanggung jawab sosial yang melekat dalam diri setiap Muslim.
Dalam kehidupan sehari-hari, pandangan Mālik ini mengajarkan bahwa tidak ada alasan untuk tidak memberi. Siapa pun, di mana pun, dapat berkontribusi pada kebaikan sosial.
Sedekah Sebagai Cermin Keimanan
Imām Mālik menempatkan sedekah sebagai indikator keimanan yang hidup. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ:
“يَا عَائِشَةُ، اسْتَتِرِي مِنَ النَّارِ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ.”
(Dari ‘Āisyah ra., Nabi ﷺ bersabda: “Wahai ‘Āisyah, lindungilah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan separuh kurma.”)
Mālik menjelaskan bahwa sedekah sekecil apa pun memiliki nilai spiritual yang besar jika lahir dari keikhlasan. Separuh kurma yang diberikan dengan hati tulus lebih berharga daripada emas yang disertai riya’.
Di sini, Mālik memperlihatkan prinsip keseimbangan antara amal lahiriah dan niat batin. Sedekah bukan sekadar memberi, tetapi juga bentuk latihan hati — melawan ego, menumbuhkan empati, dan membebaskan diri dari keterikatan dunia.
Sedekah yang Menghidupkan Sosial
Salah satu ciri khas pandangan Mālikī adalah fokusnya pada dimensi sosial ibadah. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan:
قَالَ مَالِكٌ: “إِنَّ الصَّدَقَةَ تُطَهِّرُ الْمَالَ وَتُزَكِّي النَّفْسَ وَتُقَوِّي الْمَوَدَّةَ بَيْنَ النَّاسِ.”
(Mālik berkata: “Sesungguhnya sedekah itu membersihkan harta, menyucikan jiwa, dan memperkuat kasih sayang di antara manusia.”)
Tiga aspek ini — pembersihan, penyucian, dan penguatan relasi sosial — menggambarkan filsafat sedekah dalam Islam. Ia bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga mekanisme spiritual dan sosial yang menjaga harmoni masyarakat.
Dalam realitas modern, ketika kesenjangan sosial makin lebar, ajaran ini sangat relevan. Sedekah bukan solusi instan, tetapi jembatan antara hati yang berkelimpahan dan hati yang kekurangan.
Dimensi Ruhani: Sedekah sebagai Penyembuh Jiwa
Imām Mālik menegaskan bahwa sedekah tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga menyembuhkan spiritualitas pemberinya. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan sabda Nabi ﷺ:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ:
“مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ.”
(Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sedekah tidak akan mengurangi harta. Tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan memberi maaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Allah mengangkat derajatnya.”)
Imām Mālik menjelaskan bahwa sedekah melatih hati untuk percaya pada janji Allah, bukan pada kalkulasi dunia. Harta yang diberikan tidak berkurang, karena setiap sedekah membuka aliran rezeki baru — baik secara lahir maupun batin.
Pandangan ini sangat manusiawi. Dalam dunia yang sering mengukur segalanya dengan angka, Mālik mengingatkan bahwa keberkahan tidak bisa dihitung, tetapi dirasakan. Sedekah adalah terapi spiritual yang menenangkan batin sekaligus memperluas rasa syukur.
Fenomena Modern: Sedekah di Tengah Individualisme
Kehidupan urban saat ini sering kali menumbuhkan jarak antara manusia. Banyak yang hidup berdampingan, tapi tidak benar-benar saling mengenal. Di sinilah relevansi Al-Muwaṭṭa’ terasa begitu kuat.
Imām Mālik mengajarkan bahwa sedekah adalah bentuk keberadaan sosial yang hidup — menghidupkan hubungan, menumbuhkan kepedulian, dan memanusiakan kembali masyarakat. Dengan memberi, manusia tidak hanya membantu, tetapi juga menemukan dirinya dalam kebersamaan.
Firman Allah ﷻ mengabadikan semangat itu dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka akan mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut dan tidak pula kesedihan bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 274)
Ayat ini menggambarkan bahwa sedekah adalah perjalanan hati yang membawa ketenangan, bukan sekadar aktivitas sosial.
Refleksi: Ibadah yang Menghidupkan Sosial
Imām Mālik melalui Al-Muwaṭṭa’ menghadirkan sedekah sebagai ibadah yang menumbuhkan peradaban. Ia tidak berhenti pada amal personal, melainkan membentuk tatanan masyarakat yang berlandaskan kasih dan tanggung jawab.
Bagi Mālik, sedekah adalah tanda iman yang nyata — karena iman yang sejati selalu menggerakkan tangan, membuka hati, dan menebar manfaat.
Dalam konteks hari ini, pesan itu menjadi pengingat penting: bahwa kekayaan sejati bukanlah apa yang disimpan, melainkan apa yang dibagikan. Sedekah, dengan segala bentuknya, adalah jalan untuk menghidupkan bukan hanya yang miskin, tetapi juga jiwa kita yang kerap kering dari empati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
