Surau.co. Dalam pandangan Imām Mālik ibn Anas, mimpi bukan sekadar fenomena psikologis, melainkan cermin spiritualitas manusia yang hidup di antara sadar dan ghaib. Dalam karya monumentalnya, Al-Muwaṭṭa’, beliau menulis banyak riwayat tentang ru’yā ṣāliḥah — mimpi yang benar — sebagai bagian dari dimensi keimanan yang lembut dan mendalam. Bagi Mālik, mimpi adalah bahasa ruh yang menyampaikan pesan dari cahaya ilahi kepada hati manusia.
Lebih dari itu, Al-Muwaṭṭa’ tidak menempatkan mimpi semata sebagai kisah mistis. Justru, ia menghadirkannya sebagai medium etis yang menuntun manusia untuk merenungi hubungan dengan Allah dan dirinya sendiri. Dalam era modern yang dikuasai rasionalitas dan logika dingin, pandangan Mālik membuka kembali kesadaran bahwa dunia batin manusia tetap hidup dan menyimpan pesan mendalam.
Mimpi sebagai Bagian dari Nubuwah
Imām Mālik memulai pembahasan tentang mimpi dalam Al-Muwaṭṭa’ dengan sebuah riwayat penting yang menegaskan posisi mimpi benar dalam Islam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “لَمْ يَبْقَ مِنَ النُّبُوَّةِ إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ.”
قَالُوا: وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟
قَالَ: “الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ.”
(Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak tersisa dari kenabian kecuali kabar gembira.” Para sahabat bertanya: “Apakah kabar gembira itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mimpi yang benar, yang dilihat oleh seorang Muslim atau dilihat untuknya.”)
Melalui hadis ini, Mālik menjelaskan bahwa ru’yā ṣāliḥah merupakan pancaran kecil dari cahaya kenabian yang masih menyinari hati orang beriman. Karenanya, mimpi bukanlah sekadar bunga tidur, melainkan pesan lembut dari Tuhan yang hadir sebagai hikmah, bukan hukum.
Selain itu, dalam mazhab Mālikī, mimpi memiliki nilai edukatif yang tinggi. Ia mengingatkan manusia agar menjaga kesucian batin supaya layak menerima ilham kebaikan.
Fenomena Ru’yā dalam Kehidupan Sehari-hari
Kehidupan modern sering kali menenggelamkan manusia dalam hiruk-pikuk dan kelelahan batin. Namun, dalam keheningan tidur, terkadang seseorang justru menemukan petunjuk yang menyejukkan — seolah Tuhan berbicara melalui simbol dan rasa. Inilah yang disebut Imām Mālik sebagai ru’yā ṣādiqah (mimpi yang jujur).
Beliau meriwayatkan sabda Rasulullah ﷺ:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ:
“إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الرُّؤْيَا تُحِبُّهَا فَإِنَّهَا مِنَ اللَّهِ، فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ عَلَيْهَا وَلْيُحَدِّثْ بِهَا. وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ فَإِنَّهَا مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا، وَلَا يَذْكُرْهَا لِأَحَدٍ.”(Dari Samurah bin Jundub, Nabi ﷺ bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian bermimpi sesuatu yang menyenangkan, maka itu dari Allah; hendaklah ia memuji Allah dan menceritakannya. Jika bermimpi buruk, maka itu dari setan; hendaklah ia berlindung kepada Allah dan tidak menceritakannya.”)
Menurut Mālik, mimpi baik adalah anugerah sekaligus kasih sayang Allah, sedangkan mimpi buruk merupakan ujian bagi kesabaran. Oleh karena itu, beliau menasihatkan agar manusia tidak terlalu terikat pada mimpi, melainkan menjadikannya cermin untuk memperbaiki diri.
Dengan demikian, keseimbangan antara pengalaman spiritual dan kesadaran rasional menjadi kunci memahami pesan ilahi di balik tidur.
Tafsir Spiritual Mimpi dalam Tradisi Mālikī
Imām Mālik menegaskan bahwa mimpi tidak boleh ditafsirkan secara sembarangan. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau berkata:
قَالَ مَالِكٌ: “الرُّؤْيَا تُفَسَّرُ عَلَى الْخَيْرِ مَا لَمْ تُفَسَّرْ عَلَى غَيْرِهِ، فَإِذَا فُسِّرَتْ عَلَى غَيْرِ الْخَيْرِ وَقَعَتْ.”
(Mālik berkata: “Mimpi hendaknya ditafsirkan dengan makna baik selama belum ditafsirkan dengan makna buruk. Jika ditafsirkan buruk, maka akan terjadi demikian.”)
Ungkapan tersebut menegaskan bahwa tafsir mimpi adalah bentuk doa tersembunyi. Karena itu, seseorang sebaiknya selalu memilih makna yang baik agar memancarkan energi positif. Tafsir mimpi, bagi Mālik, bukan hanya kegiatan intelektual, melainkan juga latihan etika dan kepekaan ruhani.
Oleh sebab itu, dalam dunia modern yang cenderung kering dan mekanistik, hikmah Mālik mengajarkan bahwa makna baik yang diyakini dengan hati bersih dapat membentuk kenyataan yang penuh berkah.
Mimpi sebagai Cermin Jiwa
Lebih jauh, Imām Mālik menilai mimpi sebagai refleksi kondisi batin seseorang. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau menulis:
قَالَ مَالِكٌ: “إِذَا كَانَ الْعَبْدُ صَادِقًا فِي كَلَامِهِ صَدَقَتْ رُؤْيَاهُ.”
(Mālik berkata: “Apabila seorang hamba jujur dalam ucapannya, maka mimpinya pun akan jujur.”)
Melalui kalimat ini, Mālik ingin menunjukkan bahwa kejernihan mimpi lahir dari kejujuran hati. Seseorang yang menata ucapannya dengan kebenaran akan merasakan pantulan kejujuran itu dalam alam mimpinya.
Maka, semakin dekat seseorang dengan Allah, semakin jernih pula cermin ruhani yang menampakkan cahaya ilahi dalam tidurnya.
Refleksi Ruhani: Ketika Hati Berbicara Lewat Mimpi
Menurut Imām Mālik, mimpi adalah jendela kecil menuju rahasia Allah. Namun, beliau juga menekankan adab dalam menyikapinya. Dalam salah satu riwayat, Rasulullah ﷺ bersabda:
“الرُّؤْيَا عَلَى رِجْلِ طَائِرٍ مَا لَمْ تُعَبَّرْ، فَإِذَا عُبِّرَتْ وَقَعَتْ.”
(Mimpi itu berada di atas sayap burung selama belum ditafsirkan. Jika sudah ditafsirkan, maka ia akan terjadi.)
Hadis ini menunjukkan kekuatan kata dan tafsir. Karena itu, Mālik mengingatkan agar seseorang berhati-hati dalam menafsirkan mimpi, baik miliknya maupun milik orang lain. Sebab, setiap kata bisa menjadi doa, dan setiap doa dapat menjadi kenyataan.
Dengan demikian, nasihat beliau terasa relevan di tengah dunia yang serba cepat: berhentilah sejenak, dengarkan hati. Sebab, sering kali yang paling benar datang dari kedalaman jiwa, bukan dari hiruk-pikuk dunia luar.
Penutup: Cahaya Ru’yā di Tengah Gelapnya Dunia
Melalui Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik mengajarkan bahwa mimpi merupakan percakapan lembut antara manusia dan Tuhannya. Ia bukan sekadar bayangan tidur, melainkan cermin batin yang memantulkan apa yang tersembunyi dalam jiwa.
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (QS. Az-Zumar [39]: 42)
Ayat ini mengingatkan bahwa tidur — dan mimpi di dalamnya — merupakan momen spiritual di mana manusia didekatkan kepada rahasia langit. Karena itu, menjaga kesucian hati sebelum tidur berarti menjaga hubungan dengan Allah.
Akhirnya, dalam setiap ru’yā ṣāliḥah, manusia diajak untuk menyelami dirinya, menyucikan batin, dan menemukan kembali cahaya Tuhan yang menuntun langkah di tengah gelapnya dunia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
