Khazanah
Beranda » Berita » Adab Berpakaian Menurut Imām Mālik: Kesederhanaan dan Kehormatan

Adab Berpakaian Menurut Imām Mālik: Kesederhanaan dan Kehormatan

Lelaki Muslim berpakaian sederhana membantu anak kecil menata pakaian di depan masjid Madinah.
Ilustrasi tentang keseimbangan antara kesederhanaan dan kehormatan dalam berpakaian, terinspirasi dari ajaran Imām Mālik di Madinah.

Surau.co. Dalam pandangan Imām Mālik ibn Anas, berpakaian bukan sekadar kebutuhan fisik, melainkan cermin akhlak dan ketenangan hati. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau tidak hanya menulis hukum-hukum fiqih tentang pakaian, tetapi juga mengajarkan makna spiritual di baliknya — bagaimana kain yang menutupi tubuh seharusnya juga menutupi kesombongan dan menjaga kehormatan jiwa.

Bagi Mālik, berpakaian dengan baik bukan berarti berlebihan. Ia menekankan bahwa kesederhanaan adalah tanda kebijaksanaan dan kehormatan diri. Pandangan ini lahir dari semangat Madinah, kota Nabi, yang menempatkan adab di atas gaya, dan ketulusan di atas kemewahan.

Makna Kesederhanaan dalam Berpakaian

Imām Mālik hidup di zaman ketika masyarakat Madinah menjadi contoh moderasi: tidak terjebak dalam kemewahan, tetapi juga tidak menolak keindahan. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ: “اكْسُوا الْقُلُوبَ بِالتَّقْوَى، وَالْأَبْدَانَ بِالْبَسَاطَةِ.”
(Dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb ra., beliau berkata: “Hiasilah hati kalian dengan takwa dan tubuh kalian dengan kesederhanaan.”)

Riwayat ini menggambarkan keseimbangan antara lahir dan batin. Imām Mālik menegaskan bahwa pakaian adalah simbol, bukan substansi. Keindahan yang sejati terletak pada ketenangan batin, bukan pada harga kain.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dalam konteks modern, pesan ini menjadi relevan. Di tengah budaya konsumtif dan obsesi terhadap merek, Imām Mālik mengingatkan kita agar pakaian tidak menjadi sumber kesombongan, tetapi sarana untuk menghormati diri dan sesama.

Pakaian sebagai Bentuk Kehormatan Diri

Berpakaian dalam Islam, menurut Mālik, adalah bagian dari ḥifẓ al-‘irdh — menjaga kehormatan. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau menukil hadits Rasulullah ﷺ:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.”
(Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”)

Imām Mālik menjelaskan bahwa keindahan dalam berpakaian tidak dilarang, selama tidak menimbulkan kesombongan. Pakaian yang bersih, sopan, dan pantas adalah bentuk penghormatan terhadap nikmat Allah. Namun, ketika pakaian menjadi sarana pamer, maka nilainya justru jatuh.

Beliau sering mengingatkan murid-muridnya agar tidak terjebak dalam kemewahan yang merusak hati. Ia berkata, “Barang siapa memakai pakaian untuk menonjolkan dirinya, maka Allah akan menampakkannya dalam kehinaan pada hari kiamat.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pesan ini menegaskan bahwa berpakaian bukan untuk menarik pujian manusia, melainkan untuk menjaga martabat dan menunjukkan rasa syukur.

Adab dan Etika Sosial dalam Berpakaian

Dalam Al-Muwaṭṭa’, Mālik juga menyinggung pentingnya konteks sosial dalam berpakaian. Ia meriwayatkan:

قَالَ مَالِكٌ: “لَا يَنْبَغِي لِلرَّجُلِ أَنْ يَلْبَسَ ثَوْبًا يُعْجِبُهُ نَفْسُهُ فِيهِ، فَإِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَخِيلَةِ.”
(Mālik berkata: “Tidak sepantasnya seseorang mengenakan pakaian yang membuat dirinya kagum pada dirinya sendiri, karena hal itu termasuk kesombongan.”)

Dalam tafsirnya, beliau menjelaskan bahwa Islam mengajarkan sensitivitas sosial. Jika seseorang hidup di tengah masyarakat sederhana, maka berpakaian terlalu mewah dianggap tidak pantas karena menimbulkan kesenjangan batin. Namun, dalam lingkungan yang makmur, berpakaian rapi dan layak justru menjadi bentuk penghormatan.

Inilah keindahan fikih Mālikī — ia tidak kaku, tetapi adaptif terhadap situasi. Prinsipnya sederhana: berpakaianlah dengan niat menyejukkan hati, bukan membakar iri.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Fenomena Modern: Ketika Busana Menjadi Identitas

Fenomena fashion hari ini menunjukkan bahwa pakaian telah menjadi bagian dari identitas sosial dan bahkan spiritual. Namun, Imām Mālik mengingatkan agar busana tidak dijadikan ukuran nilai manusia. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: “مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا فَأَعْجَبَهُ نَفْسُهُ فِيهِ، قَالَ اللَّهُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَصِيرِهِ.”
(Dari Sa‘īd ibn al-Musayyib berkata: “Barang siapa memakai pakaian lalu merasa bangga dengannya, Allah akan berkata kepadanya: Lihatlah ke mana akhirnya itu membawamu.”)

Bagi Mālik, pesan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menanamkan kesadaran: segala yang bersifat duniawi, termasuk pakaian, hanyalah sementara.

Dalam praktiknya, beliau sendiri berpakaian sangat sederhana. Diceritakan bahwa Imām Mālik sering mengenakan pakaian putih bersih, wangi, dan rapi — tanda penghormatan terhadap majelis ilmu dan sunnah Nabi ﷺ. Namun, beliau menjauhi kemewahan yang berlebihan.

Kesederhanaan sebagai Spirit Madinah

Madinah adalah kota yang menumbuhkan nilai kesetaraan dan kehormatan. Semua orang, kaya atau miskin, dihargai karena amalnya, bukan pakaiannya. Spirit inilah yang ingin dihidupkan Imām Mālik dalam Al-Muwaṭṭa’.

Firman Allah menegaskan:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا، وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup aurat dan untuk perhiasan. Namun pakaian takwa itulah yang terbaik.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 26)

Ayat ini, dalam tafsir Mālikī, menjadi prinsip utama berpakaian: fungsi utama pakaian adalah menutupi aurat dan menumbuhkan rasa malu yang mulia. Takwa adalah busana batin yang tidak bisa dijahit oleh tangan manusia, tetapi ditenun oleh keikhlasan.

Refleksi: Busana yang Menenangkan Jiwa

Dari seluruh pembahasan Al-Muwaṭṭa’, terlihat jelas bahwa berpakaian dalam Islam bukan hanya urusan estetika, tetapi juga spiritualitas. Imām Mālik mengajarkan bahwa pakaian yang baik adalah yang menghadirkan ketenangan, bukan kekaguman diri.

Dalam kehidupan modern, prinsip ini menjadi panduan berharga: berpakaianlah untuk menghormati diri, bukan untuk menyaingi orang lain.

Kesederhanaan bukan berarti kekurangan, tetapi bentuk kematangan jiwa — karena orang yang hatinya tenang tidak butuh pujian untuk merasa bernilai.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement