Surau.co. Dalam hidup, waktu adalah satu-satunya harta yang pasti berkurang setiap detik. Ia tak bisa dibeli kembali, tak bisa dipinjam, dan tak bisa diperpanjang walau sedetik pun. Namun, justru karena begitu berharga, banyak orang sering mengabaikannya. Kita menunda pekerjaan, datang terlambat, atau sibuk tanpa arah—seakan waktu tak punya nilai.
Padahal, dalam Islam, menghargai waktu bukan sekadar manajemen hidup, tapi bagian dari adab dan akhlak. Orang yang tahu menghargai waktu berarti tahu menghargai kehidupan, orang lain, dan bahkan Tuhannya.
Allah berfirman:
وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.” (QS. Al-‘Ashr [103]: 1–2)
Sumpah Allah dengan waktu menunjukkan betapa pentingnya ia dijaga. Waktu bukan sekadar detik yang berjalan, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Waktu dalam Timbangan Iman
Dalam pandangan Islam bukan sekadar ruang aktivitas dunia, melainkan bagian dari ibadah. Orang yang menghargai waktu berarti menghormati ciptaan Allah yang menjadi wadah amalnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menggambarkan betapa manusia sering mengabaikan nikmat waktu. Kita sering bersemangat ketika sibuk mengejar dunia, tapi lalai ketika punya waktu untuk berbuat baik.
Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
الزَّمَانُ أَثْمَنُ مَا أُنْفِقَ فِيهِ الْعُمُرُ، فَمَنْ أَضَاعَهُ فَقَدْ أَضَاعَ نَفْسَهُ
“Waktu adalah hal paling berharga yang di dalamnya usia dihabiskan. Maka siapa yang menyia-nyiakannya, sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan dirinya sendiri.”
Bagi seorang mukmin, waktu bukan sekadar kesempatan, melainkan ladang amal. Setiap menit adalah benih yang bisa menumbuhkan pahala atau penyesalan.
Menghargai Waktu: Cermin dari Adab Diri
Menghargai waktu bukan hanya persoalan efisiensi, tetapi tentang adab terhadap diri sendiri dan orang lain. Orang yang datang tepat waktu menandakan kejujuran niat dan kesungguhan. Sebaliknya, orang yang gemar menunda dan terlambat menunjukkan kelalaian dalam tanggung jawab.
Adab terhadap waktu adalah bagian dari kebersihan jiwa. Dalam kehidupan Rasulullah ﷺ, kita melihat contoh terbaik bagaimana beliau menghargai setiap saat. Beliau membagi waktu antara ibadah, keluarga, sahabat, dan urusan umat dengan keseimbangan yang indah.
Imam al-Māwardī menegaskan:
مَنْ قَسَمَ أَوْقَاتَهُ عَلَى مَعَاشِهِ وَعِبَادَتِهِ وَصِدَاقَتِهِ فَقَدْ بَلَغَ أَعْلَى مَرَاتِبِ النِّظَامِ
“Barang siapa membagi waktunya untuk urusan dunia, ibadah, dan hubungan sosialnya dengan seimbang, maka ia telah mencapai puncak keteraturan hidup.”
Menghargai waktu adalah cermin dari disiplin spiritual. Ia melatih seseorang untuk hidup teratur, berpikir matang, dan tidak lalai dari tanggung jawab.
Waktu dan Tanggung Jawab Sosial
Etika menghargai waktu juga menyangkut tanggung jawab sosial. Datang tepat waktu ke pertemuan, menepati janji, dan menyelesaikan amanah sesuai jadwal adalah bagian dari adab terhadap orang lain.
Allah memerintahkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji kalian.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 1)
Menepati janji waktu adalah bentuk pemenuhan akad moral. Jika seseorang berjanji datang jam sembilan, maka datang jam sembilan adalah bagian dari keimanan. Terlambat tanpa alasan yang jelas bukan sekadar soal etika sosial, tapi soal tanggung jawab iman.
Rasulullah ﷺ dikenal sebagai sosok yang sangat tepat waktu dan menepati janji, meski hanya dalam hal kecil. Ketika beliau berjanji bertemu seseorang di suatu tempat, beliau menunggu dengan sabar tanpa menyalahkan. Dari sini, umat Islam belajar bahwa menghargai waktu bukan sekadar kebiasaan modern, tapi warisan adab kenabian.
Menunda Kebaikan, Menunda Kebahagiaan
Salah satu bentuk ketidakhormatan terhadap waktu adalah menunda amal baik. Banyak orang berkata, “Nanti saja, kalau sudah sempat.” Padahal, kesempatan sering kali tidak datang dua kali.
Allah memperingatkan:
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (٩٩)
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ
“Hingga apabila datang kematian kepada seseorang di antara mereka, dia berkata: Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebaikan.” (QS. Al-Mu’minūn [23]: 99–100)
Ayat ini menegaskan penyesalan orang yang menyia-nyiakan waktu untuk berbuat baik. Ketika waktu sudah habis, tak ada lagi ruang untuk memperbaiki.
Imam al-Māwardī menulis dengan tajam:
تَسْوِيفُ الْعَمَلِ مِنْ عِلَلِ الْغَفْلَةِ
“Menunda amal adalah tanda kelalaian hati.”
Menunda berarti menolak kesempatan yang Allah berikan hari ini. Sementara orang beradab akan segera bertindak, karena ia tahu waktu adalah amanah, bukan milik pribadi.
Menghargai Waktu Orang Lain
Salah satu bentuk adab tertinggi adalah menghargai waktu orang lain. Datang tepat waktu ke janji, tidak membuat orang menunggu, dan menepati batas waktu pekerjaan menunjukkan rasa hormat terhadap sesama.
Orang yang beradab tahu bahwa setiap menit yang ia ambil dari waktu orang lain adalah bagian dari tanggung jawab moral. Rasulullah ﷺ tidak pernah membuat sahabat menunggu tanpa alasan. Bahkan dalam majelis, beliau selalu memberi tanda jelas kapan waktu dimulai dan berakhir.
Imam al-Māwardī menerangkan:
إِشْغَالُ النَّاسِ بِغَيْرِ حَاجَةٍ ظُلْمٌ لَهُمْ وَنَقْصٌ لِأَدَبِ الْمُتَكَلِّمِ
“Menyibukkan orang lain tanpa keperluan adalah bentuk kezaliman terhadap mereka dan tanda kurangnya adab pada diri pembicara.”
Maka, menghargai waktu orang lain bukan sekadar etika sosial, tapi juga kewajiban moral. Datang tepat waktu, berbicara seperlunya, dan mengakhiri dengan sopan adalah bentuk penghormatan terhadap sesama manusia.
Waktu dan Kematangan Spiritual
Menghargai waktu juga melatih seseorang untuk hidup sadar dan bertanggung jawab. Orang yang sadar waktu tidak mudah larut dalam hal sia-sia. Ia memahami bahwa hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kemalasan dan kelalaian.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan lima hal sebelum lima hal: masa mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. al-Hākim)
Hadis ini adalah seruan kesadaran waktu. Orang yang beriman akan menjadikan setiap detik sebagai peluang untuk memperbaiki diri. Ia tahu bahwa waktu adalah karunia yang harus disyukuri dengan amal, bukan dihabiskan dalam penyesalan.
Adab Mengatur Waktu: Dari Sibuk ke Seimbang
Menghargai waktu bukan berarti hidup harus selalu sibuk. Islam tidak memerintahkan manusia untuk bekerja tanpa jeda. Justru keseimbangan antara kerja, istirahat, ibadah, dan keluarga adalah bentuk adab terhadap waktu itu sendiri.
Imam al-Māwardī menerangkan:
لَا خَيْرَ فِي عَمَلٍ لَا يُفْرَغُ فِيهِ لِلدِّينِ، وَلَا فِي دِينٍ يُضَيَّعُ فِيهِ الْمَعَاشُ
“Tidak ada kebaikan dalam pekerjaan yang membuat seseorang lupa pada agamanya, dan tidak ada kebaikan dalam agama yang membuat seseorang meninggalkan urusan dunianya.”
Keseimbangan adalah adab terhadap waktu dan diri sendiri. Ia membuat hidup lebih tenang, produktif, dan bermakna.
Penutup: Waktu Adalah Cermin Jiwa
Menghargai waktu bukan hanya tentang disiplin, tapi tentang kesadaran spiritual. Ia adalah bentuk pengakuan bahwa hidup ini terbatas dan setiap detiknya adalah karunia. Orang yang menghargai waktu hidup dengan sadar, bukan sekadar lewat hari.
Waktu adalah saksi bisu atas amal manusia. Ia mencatat siapa yang menggunakannya untuk kebaikan dan siapa yang menyia-nyiakannya dalam kelalaian. Maka, jadikan setiap hari sebagai ruang perbaikan, bukan sekadar pengulangan.
“Gunakan waktumu seakan ia adalah tamu yang takkan datang dua kali. Sambutlah dengan amal, bukan penyesalan.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
