Surau.co. Kita hidup di zaman yang memuja kesibukan. Masyarakat menilai orang sibuk sebagai sosok penting, produktif, bahkan bahagia. Namun, kenyataannya tidak sedikit yang terjebak dalam pusaran aktivitas tanpa arah. Mereka bekerja keras sejak pagi hingga malam, tetapi tetap merasa hampa di dalam hati. Secara fisik mereka bergerak tanpa henti, namun batinnya justru kosong.
Fenomena semacam ini sangat dekat dengan kehidupan kita. Di tengah ambisi mengejar karier, harta, dan pengakuan, banyak orang lupa menanyakan satu pertanyaan sederhana: “Untuk apa semua ini?” Memang benar, kesibukan dapat memberi makna, tetapi hanya jika disertai tujuan yang benar. Tanpa arah spiritual, kesibukan berubah menjadi beban yang perlahan mengikis makna hidup.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
الْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.”
(QS. At-Takātsur [102]: 1–2)
Ayat ini memberikan peringatan lembut kepada kita. Allah mengingatkan bahwa mengejar dunia tanpa nilai akhirat hanya menimbulkan kehampaan. Oleh karena itu, sebelum hidup berlalu tanpa makna, kita perlu belajar untuk tidak sekadar sibuk, tetapi menjadi sibuk yang bermakna.
Kesibukan Tidak Selalu Berarti Produktif
Banyak orang merasa bangga dengan jadwal padatnya. Mereka memenuhi hari dengan rapat, tugas, dan target. Namun, kesibukan tidak selalu berarti produktif. Kadang, orang hanya bergerak tanpa arah, seperti kapal yang berlayar tanpa kompas.
Imam Al-Māwardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menegaskan:
مَنْ شُغِلَ بِغَيْرِ مَا خُلِقَ لَهُ، كَانَ تَعَبُهُ فِي غَيْرِ طَاعَةٍ وَعَمَلُهُ فِي غَيْرِ نَفْعٍ
“Barang siapa sibuk dengan sesuatu yang bukan untuk tujuan ia diciptakan, maka lelahnya tidak bernilai ibadah dan amalnya tidak membawa manfaat.”
Kutipan ini mengingatkan bahwa tidak semua kesibukan bernilai ibadah. Ketika seseorang menghabiskan waktu untuk hal yang tak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, sesungguhnya ia hanya membuang umur. Karena itu, kesibukan yang sejati adalah kesibukan yang terarah—yang menumbuhkan kedekatan dengan Allah, memperbaiki diri, dan memberi manfaat bagi sesama. Sebaliknya, kesibukan yang hampa justru menjauhkan manusia dari tujuan hidupnya.
Ciri-Ciri Orang Sibuk Tapi Hampa
Orang yang sibuk tapi hampa biasanya hidup dalam kejaran waktu. Ia selalu merasa kekurangan waktu, namun tak pernah puas dengan hasilnya. Setiap pagi ia terburu-buru, dan setiap malam ia menutup hari dengan kelelahan tanpa makna.
Selain itu, mereka sering kehilangan hubungan batin dengan diri sendiri. Saat bekerja, hati mereka gelisah. Saat beristirahat, pikiran mereka tetap sibuk mengejar target. Mereka terus bergerak, tetapi tidak pernah benar-benar hadir di dalam momen.
Lebih jauh, mereka jarang merenung. Padahal, perenungan merupakan bahan bakar spiritual yang menumbuhkan kesadaran. Tanpa renungan, manusia berubah menjadi mesin yang hanya menjalankan perintah tanpa makna. Akibatnya, banyak orang modern merasa jenuh meski hidupnya tampak penuh.
Ketika Dunia Menguasai, Jiwa Kehilangan Arah
Sering kali, kesibukan berawal dari niat baik—seperti keinginan untuk membahagiakan keluarga, menjadi mandiri, atau meraih kesuksesan. Namun, ketika niat itu berubah menjadi obsesi, dunia perlahan mengambil alih kendali hidup. Hati mengeras, waktu ibadah tersisih, dan hubungan dengan orang tersayang menjadi renggang.
Allah ﷻ mengingatkan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia menipu kamu, dan jangan pula setan menipu kamu tentang Allah.”
(QS. Fāthir [35]: 5)
Ayat ini menegaskan bahwa dunia dapat menipu dengan kesibukannya. Dunia tampak menawarkan kebahagiaan, tetapi diam-diam mencuri ketenangan. Karena itu, orang yang membiarkan dirinya diatur oleh dunia akan kehilangan arah spiritual, sedangkan mereka yang mengatur dunia dengan iman akan menemukan makna hidup yang sejati.
Menemukan Makna di Balik Kesibukan
Kesibukan akan menjadi bernilai jika diniatkan untuk ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengubah cara pandang terhadap kesibukan duniawi. Ketika seseorang menata niatnya, seluruh aktivitas bisa bernilai ibadah. Ia bekerja bukan sekadar mencari uang, tetapi menafkahi keluarga dengan cinta. Ia belajar bukan sekadar mengejar nilai, tetapi menuntut ilmu untuk kemaslahatan umat. Dengan niat yang lurus, kesibukan berubah menjadi ladang pahala; tanpa niat yang benar, ia hanya menjadi rutinitas yang menguras jiwa.
Mengatur Waktu, Mengatur Jiwa
Salah satu penyebab utama kehampaan adalah buruknya pengelolaan waktu. Banyak orang pandai mengatur pekerjaan, tetapi gagal mengatur dirinya. Padahal, waktu merupakan amanah besar yang akan Allah mintai pertanggungjawaban.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ… وَعَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal… salah satunya tentang umurnya untuk apa ia habiskan.”
(HR. Tirmidzi)
Manusia memang tidak dapat mengendalikan waktu, tetapi bisa mengatur prioritas. Karena itu, sisihkan waktu untuk ibadah, keluarga, dan diri sendiri. Kesibukan yang seimbang melahirkan ketenangan, sedangkan kesibukan tanpa arah hanya melahirkan kekosongan.
Refleksi Imam Al-Māwardi: Ketenangan Lebih Bernilai dari Kelelahan
Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam Al-Māwardi mengingatkan:
مَنْ لَمْ يُرَتِّبْ أَوْقَاتَهُ ضَاعَ عُمْرُهُ فِي الْعَبَثِ
“Barang siapa tidak menata waktunya, maka umurnya akan hilang dalam kesia-siaan.”
Kehidupan yang bermakna tidak diukur dari banyaknya aktivitas, tetapi dari besarnya manfaat. Orang yang terus bekerja tanpa jeda akan kehilangan kebahagiaan batin, sedangkan orang yang tahu kapan berhenti akan mampu merenungi arah hidupnya.
Ketenangan bukan tanda kemalasan, melainkan tanda kedewasaan. Hanya orang yang mengenal dirinya yang mampu menyeimbangkan antara kerja dan makna.
Berhenti Sejenak, Rasakan Kehadiran Allah
Sering kali, kita terlalu sibuk bekerja untuk hidup hingga lupa menikmati hidup itu sendiri. Kita melewati hari tanpa sempat menatap langit, tanpa mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Padahal, jeda justru menjadi bagian penting dari produktivitas spiritual.
Luangkan waktu untuk berhenti sejenak. Shalat dengan khusyuk, membaca Al-Qur’an, atau sekadar duduk merenung di senja hari. Dalam keheningan seperti itulah jiwa menemukan arah dan maknanya kembali.
Allah ﷻ berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ، أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Ayat ini menegaskan bahwa kedamaian tidak lahir dari kesibukan, tetapi dari kesadaran. Zikir bukan sekadar bacaan, melainkan cara jiwa bernafas di tengah hiruk-pikuk dunia.
Menjadi Sibuk yang Bermakna
Islam tidak pernah melarang umatnya untuk sibuk. Justru, Islam mendorong manusia agar bekerja keras, menuntut ilmu, dan berkontribusi bagi kehidupan. Namun, semua itu harus berorientasi pada Allah dan kebaikan.
Sibuk yang bermakna berarti sibuk yang menumbuhkan, bukan menguras. Sibuk yang memperluas manfaat, bukan mempersempit hati. Ketika kesibukan menjadi sarana ibadah, setiap lelah berubah menjadi berkah.
Penutup: Hening di Tengah Hiruk Pikuk
Akhirnya, makna hidup tidak terletak pada seberapa padat jadwal kita, melainkan seberapa dalam arti dari setiap langkah. Jangan biarkan dunia mengatur ritme jiwamu hingga engkau lupa siapa dirimu.
Berhentilah sejenak di tengah kesibukanmu. Tarik napas panjang, dan tanyakan kepada hati: “Apakah aku benar-benar hidup, atau hanya sekadar bergerak?”
Sebab hidup bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tetapi seberapa sadar kita melangkah. Maka, jangan menjadi orang yang sibuk tapi hampa—jadilah orang yang sibuk dengan makna.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
