Sura.co. Kita hidup di zaman ketika jari lebih cepat bicara daripada lisan. Satu ketikan bisa menyalakan semangat, tapi juga bisa menyulut amarah. Di ruang maya, banyak orang merasa bebas berbicara tanpa batas, seolah layar adalah tirai yang menutupi akhlak. Padahal, Islam mengajarkan bahwa adab tidak berhenti di dunia nyata; ia juga wajib hidup di dunia maya.
Etika digital adalah bentuk baru dari tanggung jawab moral. Sopan santun yang dulu dijaga di ruang sosial kini harus dijaga pula di ruang virtual. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini seolah turun kembali dalam konteks digital. Jika kita tak sanggup menulis yang baik, lebih baik diam—atau dalam bahasa hari ini, lebih baik tidak mengetik sama sekali.
Dunia Nyata dan Dunia Maya: Dua Ruang, Satu Jiwa
Sering kali orang memisahkan dunia nyata dan dunia maya, padahal keduanya berakar dari jiwa yang sama. Akun media sosial hanyalah cermin dari hati dan karakter seseorang. Jika seseorang terbiasa sopan di dunia nyata namun kasar di dunia maya, berarti sopannya belum menyentuh hati.
Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qāf [50]: 18)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap kata, baik yang diucapkan dengan lisan maupun diketik di layar, tetap tercatat. Dunia maya tidak membebaskan kita dari pengawasan Ilahi. Justru di sana, ujian kesantunan menjadi lebih nyata karena godaan untuk berbicara tanpa berpikir jauh lebih besar.
Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
الْكَلَامُ سُلْطَانُ الإِنْسَانِ، فَإِذَا أَحْسَنَ اسْتِعْمَالَهُ زَانَهُ، وَإِذَا أَسَاءَ أَضَرَّهُ
“Ucapan adalah kekuasaan manusia. Jika ia menggunakannya dengan baik, ucapan itu akan menghiasinya; jika ia menyalahgunakannya, ucapan itu akan mencelakakannya.”
Kutipan ini sangat relevan untuk zaman media sosial. Kata-kata, meski hanya huruf digital, bisa menjadi perhiasan atau racun bagi pemiliknya.
Etika Berbicara dan Menulis: Dua Wajah dari Satu Akhlak
Etika berbicara tidak hanya berlaku ketika kita berbincang langsung, tapi juga ketika menulis di media sosial. Di sana, setiap komentar, unggahan, dan pesan pribadi adalah bentuk komunikasi yang mencerminkan akhlak kita.
Dalam Al-Qur’an, Allah berpesan:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 83)
Kata “baik” dalam ayat ini meliputi tutur kata yang jujur, lembut, dan menenangkan. Maka, ketika seseorang menulis di dunia maya dengan kata-kata yang menyinggung, menghina, atau merendahkan orang lain, sesungguhnya ia telah melanggar perintah Allah untuk berkata baik.
Imam al-Māwardī memberi nasihat tentang adab berbicara:
أَحْسَنُ الْكَلَامِ مَا لَا يَمَلُّهُ السَّامِعُ وَلَا يَتَجَاوَزُ الْمَقْصُودَ
“Ucapan terbaik adalah yang tidak membuat pendengar bosan dan tidak melampaui tujuan.”
Dalam konteks digital, pesan ini berarti: jangan berlebihan dalam komentar, jangan menebar provokasi, dan jangan menulis hanya demi sensasi. Menulis dengan adab berarti menulis dengan tujuan yang jelas—menyebarkan kebaikan, bukan kebisingan.
Sopan di Dunia Nyata: Menjaga Tatapan, Menjaga Tindakan
Kesopanan di dunia nyata lahir dari kesadaran akan batas diri dan hak orang lain. Orang yang sopan akan berhati-hati dalam bertindak, berbicara, dan berinteraksi. Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam hal ini. Beliau dikenal sebagai sosok yang lembut, santun, dan rendah hati kepada siapa pun.
Allah berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka berkat rahmat dari Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 159)
Ayat ini menunjukkan bahwa kesopanan bukan sekadar etika sosial, tapi rahmat yang menumbuhkan kasih sayang. Jika sopan di dunia nyata adalah rahmat, maka santun di dunia maya adalah perpanjangan rahmat itu dalam wujud digital.
Orang yang menjaga sopan santun akan berusaha tidak menyakiti orang lain, baik dengan tatapan, ucapan, maupun tulisan. Ia tahu bahwa kehormatan manusia adalah hak suci yang harus dijaga.
Santun di Dunia Maya: Adab Baru bagi Generasi Baru
Santun di dunia maya berarti hadir dengan akhlak, bukan hanya dengan opini. Dunia digital bukan tempat tanpa aturan, melainkan ruang di mana nilai-nilai Islam bisa hidup dalam bentuk baru: etika mengetik, kesantunan membalas komentar, dan tanggung jawab dalam menyebarkan informasi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Hadis ini memberi inspirasi bagi pengguna media sosial. Satu unggahan yang berisi nasihat baik bisa menjadi pahala yang mengalir, sementara satu komentar yang melukai bisa menjadi dosa yang menumpuk.
Imam al-Māwardī menerangkan:
مَنْ أَصْلَحَ نَفْسَهُ صَلَحَ لَهُ النَّاسُ، وَمَنْ فَسَدَتْ نَفْسُهُ أَضَرَّ بِهِمْ
“Barang siapa memperbaiki dirinya, orang lain akan baik karenanya; dan barang siapa merusak dirinya, maka ia akan mencelakai mereka.”
Kalimat ini mengingatkan kita bahwa setiap pengguna media sosial punya tanggung jawab moral untuk memperbaiki diri sebelum menilai orang lain. Dunia maya akan menjadi lebih damai bila diisi oleh orang-orang yang telah menata hatinya.
Menyebar Kebaikan, Menyaring Keburukan
Salah satu etika penting di dunia digital adalah tabayyun—verifikasi sebelum menyebarkan informasi. Islam melarang penyebaran kabar tanpa dasar karena dapat merusak kehormatan orang lain dan menebar kebencian.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurāt [49]: 6)
Ayat ini sangat relevan dalam konteks era digital yang penuh hoaks dan fitnah. Menyebarkan berita tanpa memastikan kebenarannya adalah bentuk ketidaksantunan intelektual dan moral.
Orang yang santun di dunia maya tidak tergesa-gesa menulis, tidak mudah menilai, dan tidak ringan menyebar. Ia sadar bahwa jari-jarinya bisa menjadi saksi di hari pengadilan.
Adab Digital sebagai Cermin Iman
Etika digital bukan sekadar sopan santun sosial, tetapi manifestasi dari iman. Orang yang beriman tidak hanya menjaga ibadahnya, tapi juga tutur katanya, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks modern, “tangan” di sini bisa berarti keyboard atau smartphone. Maka, seorang Muslim sejati adalah yang tidak menyakiti orang lain dengan tulisannya, komentarnya, atau unggahannya.
Imam al-Māwardī berkata:
مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الْعِلْمِ وَالْأَدَبِ فَقَدْ اسْتَكْمَلَ الْفَضْلَ
“Barang siapa menggabungkan ilmu dan adab, maka ia telah menyempurnakan keutamaan.”
Maka, pengguna media sosial yang berilmu tapi tak beradab belum sempurna. Kesantunan digital adalah puncak kematangan spiritual di zaman teknologi.
Penutup: Jari yang Menulis, Hati yang Bertanggung Jawab
Pada akhirnya, dunia nyata dan dunia maya hanyalah dua sisi dari kehidupan yang sama. Di mana pun kita berada, Allah selalu hadir dan malaikat selalu mencatat. Maka, jangan biarkan jari-jarimu menulis apa yang kelak kau tangisi.
Berbicaralah dengan hati, mengetiklah dengan iman. Sopan di dunia nyata, santun di dunia maya — itulah tanda kematangan jiwa di zaman yang serba cepat.
“Kata yang baik adalah sedekah; maka jadikan setiap tulisanmu sebagai ibadah.”
*Gerwin Satria N
Pegian literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
