Surau.co. Kita hidup di zaman yang sibuk membandingkan segalanya. Media sosial membuat hidup tampak seperti ajang perlombaan tanpa ujung. Siapa yang lebih sukses, lebih bahagia, lebih cantik, atau lebih berpengaruh—semuanya seolah harus ditunjukkan dan dinilai. Padahal, dalam pandangan Islam, hidup bukan tentang saling mengalahkan, melainkan tentang saling menguatkan.
Allah tidak menciptakan manusia untuk menundukkan satu sama lain, tetapi untuk bekerja sama membangun kebaikan di muka bumi. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Māidah [5]: 2)
Ayat ini menegaskan bahwa hakikat manusia bukanlah pesaing, melainkan rekan seperjalanan menuju ridha Allah. Hidup menjadi lebih bermakna ketika dijalani bersama, bukan sendirian di puncak kesuksesan semu.
Manusia Diciptakan untuk Saling Melengkapi, Bukan Menyingkirkan
Setiap manusia punya peran, bakat, dan jalan rezekinya masing-masing. Tidak ada yang benar-benar sama. Allah ﷻ menciptakan perbedaan agar manusia saling membutuhkan dan saling melengkapi, bukan untuk saling bersaing.
وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا
“Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain.”
(QS. Az-Zukhruf [43]: 32)
Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan adalah sarana kolaborasi. Si kaya butuh si miskin, si cerdas butuh si tekun, pemimpin butuh rakyat, guru butuh murid. Semua saling mengisi, bukan saling menjatuhkan.
Namun budaya modern sering memutarbalikkan nilai itu. Kita diajarkan bahwa hidup adalah “perlombaan menuju puncak.” Padahal, di puncak itu sering kali hanya ada kesepian dan kehilangan makna. Islam justru mengajarkan yang lebih luhur: bekerja bersama untuk keberkahan, bukan kemenangan semata.
Pandangan Imam Al-Māwardi: Persaudaraan dan Kolaborasi dalam Kebaikan
Dalam karya klasik Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam Al-Māwardi menerangkan:
الصَّدَاقَةُ نِعْمَةٌ مِنَ اللَّهِ لَا تَدُومُ إِلَّا بِالتَّعَاوُنِ عَلَى الطَّاعَةِ
“Persaudaraan adalah nikmat dari Allah yang tidak akan bertahan kecuali dengan tolong-menolong dalam ketaatan.”
Bagi Al-Māwardi, kolaborasi sejati tidak berhenti pada kerja sama duniawi, tetapi juga kerja sama dalam ketaatan. Beliau menegaskan bahwa kekuatan masyarakat tidak lahir dari kompetisi, melainkan dari persatuan hati yang berlandaskan iman.
Dalam bagian lain beliau juga menerangkan:
مَنْ لَمْ يُعَاوِنْ عَلَى الْخَيْرِ، لَمْ يُرْزَقْ صَدِيقًا صَالِحًا
“Barang siapa tidak membantu dalam kebaikan, maka ia tidak akan dianugerahi sahabat yang saleh.”
Pesan ini sangat relevan di masa kini. Kolaborasi yang lahir dari niat baik akan menciptakan lingkungan yang sehat, produktif, dan saling menguatkan. Sementara kolaborasi yang berlandaskan ambisi semata hanya menumbuhkan persaingan terselubung dan saling curiga.
Kompetisi yang Sehat Boleh, Tapi Jangan Menjadi Arah Hidup
Islam tidak menolak semangat berprestasi. Kompetisi yang sehat justru bisa menjadi dorongan untuk berbuat lebih baik, selama diarahkan untuk kebaikan. Namun ketika kompetisi berubah menjadi obsesi untuk mengalahkan, maka ia menjauhkan manusia dari nilai kemanusiaan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Janganlah kalian saling iri, jangan saling menipu, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menggambarkan bagaimana Rasulullah menegakkan nilai kolaborasi di atas pondasi persaudaraan. Bersaing boleh, tapi bukan untuk menumbangkan orang lain. Setiap pencapaian hendaknya menjadi inspirasi, bukan ancaman bagi sesama.
Kolaborasi Adalah Jalan Keberkahan
Ketika manusia saling membantu dalam kebaikan, Allah menurunkan keberkahan pada usaha mereka. Dalam hadits disebutkan:
يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan (pertolongan) Allah bersama jamaah (kelompok yang bersatu).”
(HR. Tirmidzi)
Artinya, kerja sama membawa rahmat, sedangkan kesendirian sering menimbulkan kelemahan. Kita mungkin bisa berjalan cepat sendirian, tapi hanya bersama-sama kita bisa berjalan jauh.
Kolaborasi juga memperkaya pengalaman batin. Saat bekerja bersama, kita belajar mendengar, memahami, dan menghargai perbedaan. Kita juga belajar rendah hati, karena menyadari bahwa keberhasilan tidak lahir dari usaha sendiri, melainkan dari doa dan dukungan banyak pihak.
Belajar Kolaborasi dari Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ adalah teladan tertinggi dalam kolaborasi. Dalam perjuangan dakwahnya, beliau tidak pernah berjalan sendirian. Dari Abu Bakar yang setia, Umar yang tegas, Utsman yang dermawan, hingga Ali yang penuh ilmu—semuanya bekerja bersama membangun peradaban Islam yang penuh rahmat.
Ketika mendirikan Masjid Nabawi, Rasulullah ﷺ ikut mengangkat batu bersama para sahabat. Beliau tidak hanya memimpin dari atas, tetapi berkolaborasi langsung dengan umatnya. Inilah kepemimpinan sejati: pemimpin yang bekerja bersama, bukan memerintah dari jauh.
Itulah sebabnya, setiap keberhasilan umat Islam pada masa lalu lahir dari semangat kolektif, bukan ego individu. Mereka menyadari bahwa membangun dunia dengan iman membutuhkan tangan-tangan yang saling menggenggam.
Tantangan Kolaborasi di Era Modern
Zaman modern menuntut manusia bekerja cepat dan efisien, tapi sering melupakan nilai kebersamaan. Banyak orang merasa lebih mudah bekerja sendiri karena perbedaan pendapat dianggap hambatan, bukan kekayaan.
Padahal, kolaborasi justru melatih kedewasaan berpikir. Ia mengajarkan kita untuk berdialog, berbagi tanggung jawab, dan menumbuhkan empati. Dalam dunia kerja, keluarga, bahkan organisasi dakwah—kolaborasi adalah kunci harmoni.
Namun agar kolaborasi berhasil, perlu tiga hal utama: niat tulus, komunikasi terbuka, dan saling percaya. Tanpa itu, kerja sama hanya akan menjadi formalitas yang rapuh.
Menanamkan Nilai Kolaborasi Sejak Dini
Mendidik generasi muda agar tidak terjebak dalam budaya kompetisi butuh usaha sadar dari keluarga dan pendidikan. Anak perlu diajarkan bahwa keberhasilan sejati bukan mengalahkan orang lain, tetapi menumbuhkan manfaat bagi sesama.
Dalam keluarga, orang tua bisa menanamkan nilai kolaborasi lewat kebersamaan sederhana: membersihkan rumah bersama, menolong tetangga, atau berbagi rezeki dengan sesama.
Di sekolah, guru bisa menumbuhkan semangat kolaborasi lewat proyek kelompok, diskusi, dan kerja tim yang mengajarkan bahwa keberhasilan adalah hasil kerja bersama. Nilai-nilai ini akan membentuk generasi yang tidak mudah iri, tidak haus pengakuan, dan tidak takut berbagi.
Penutup: Bersama Lebih Bermakna
Hidup memang tidak selalu mudah, tapi akan lebih ringan jika dijalani bersama. Hidup bukan perlombaan di mana satu harus kalah agar yang lain menang. Ia adalah perjalanan bersama menuju kebaikan yang abadi.
Kolaborasi bukan berarti kehilangan jati diri, melainkan menemukan makna hidup melalui kebermanfaatan bagi orang lain. Sebab pada akhirnya, kemenangan sejati bukan saat kita tiba lebih cepat, tetapi saat kita tiba bersama-sama dalam ridha Allah.
Seperti biji yang tumbuh menjadi pohon karena bantuan tanah, air, dan cahaya, manusia pun hanya bisa tumbuh sempurna dengan bantuan sesama. Maka, hidup bukan kompetisi—tapi kolaborasi yang menuntun kita pada keberkahan dan ketenangan hati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
