Khazanah
Beranda » Berita » Etika Mengejar Cita-Cita: Jangan Sampai Lupa Diri

Etika Mengejar Cita-Cita: Jangan Sampai Lupa Diri

Pemuda merenungi cita-cita dengan hati yang tetap rendah hati
Seorang pemuda berdiri di puncak bukit, menatap matahari terbit dengan tangan menutup dada, seolah merenungi makna perjuangan

Surau.co. Setiap manusia punya cita-cita. Ada yang ingin jadi dokter, guru, pemimpin, atau pengusaha sukses. Cita-cita adalah bahan bakar kehidupan; ia membuat kita bergerak, belajar, dan berjuang. Namun, dalam perjalanan mengejar cita-cita, sering kali manusia tergelincir: lupa tujuan, lupa batas, bahkan lupa diri.

Ambisi yang seharusnya memuliakan justru bisa menjerumuskan jika tak disertai etika. Dalam pandangan Islam, mengejar cita-cita bukan sekadar tentang meraih prestasi, tetapi tentang menjaga adab, niat, dan keseimbangan diri. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa niat adalah akar dari segala tindakan. Niat yang lurus melahirkan cita-cita yang bersih, sementara niat yang salah bisa mengubah perjuangan menjadi kesombongan. Maka, etika dalam mengejar cita-cita menjadi penting agar semangat tidak berubah menjadi kerakusan.

Cita-Cita dalam Pandangan Islam

Islam tidak menolak ambisi atau cita-cita. Justru, Islam mendorong umatnya untuk berprestasi dan bermanfaat bagi banyak orang. Rasulullah ﷺ bersabda:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang di antara kalian melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan sempurna.” (HR. al-Baihaqi)

Cita-cita adalah ekspresi dari keinginan berbuat baik dengan kesungguhan. Namun, Islam menekankan bahwa kesungguhan harus diiringi keikhlasan dan keadilan. Cita-cita bukan untuk meninggikan diri, tapi untuk menegakkan manfaat.

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

لَا يَبْلُغُ الْمَرْءُ سَعَادَتَهُ إِلَّا بِحُسْنِ نِيَّتِهِ وَعِفَّةِ نَفْسِهِ
“Seseorang tidak akan mencapai kebahagiaan sejati kecuali dengan baiknya niat dan terjaganya kehormatan diri.”

Artinya, cita-cita sejati bukan hanya tentang hasil, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menjaga kesucian niat dan kehormatan di sepanjang prosesnya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ambisi dan Batas Kemanusiaan

Dalam dunia modern, ambisi sering dipuja. Slogan seperti “Never stop chasing your dreams” terdengar di mana-mana. Namun Islam mengingatkan bahwa mengejar cita-cita harus disertai kesadaran akan batas diri dan tanggung jawab moral.

Allah berfirman:

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan setinggi gunung.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 37)

Ayat ini bukan sekadar teguran bagi orang angkuh, tapi juga peringatan bagi mereka yang membiarkan ambisinya menelan kerendahan hati. Orang yang lupa diri dalam mengejar cita-cita sering kali tidak sadar bahwa ia sedang memperbudak dirinya sendiri.

Imam al-Māwardī memberi nasihat:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

مَنْ تَعَدَّى قَدْرَهُ أَهَانَ نَفْسَهُ
“Siapa yang melampaui batas kemampuannya, ia telah menghinakan dirinya.”

Artinya, ambisi tanpa etika justru menjerumuskan. Mengejar cita-cita tidak salah, tapi melupakan batas kemanusiaan adalah awal dari kejatuhan.

Etika dalam Proses: Niat, Usaha, dan Cara

Etika dalam mengejar cita-cita tidak hanya berbicara tentang niat, tetapi juga tentang cara mencapai tujuan. Islam menolak prinsip “tujuan membenarkan cara.” Dalam pandangan Islam, kejujuran, kesabaran, dan tanggung jawab adalah bagian dari cita-cita itu sendiri.

Allah berfirman:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu pula Rasul-Nya dan orang-orang beriman.” (QS. At-Taubah [9]: 105)

Ayat ini mengajarkan bahwa segala usaha manusia akan diperhitungkan, bukan hanya hasilnya. Maka, dalam mengejar cita-cita, kejujuran dan kesungguhan adalah ibadah, sementara manipulasi dan tipu daya adalah dosa.

Imam al-Māwardī juga menekankan pentingnya kejujuran dalam mencapai tujuan:

الصِّدْقُ زِينَةُ الْقَوْلِ، وَالْوَفَاءُ زِينَةُ الْعَمَلِ
“Kejujuran adalah perhiasan ucapan, dan kesetiaan adalah perhiasan amal.”

Cita-cita yang ditempuh dengan cara yang curang mungkin menghasilkan sukses dunia, tapi tidak akan memberi ketenangan batin. Etika dalam berjuang menjaga agar cita-cita tetap menjadi ladang pahala, bukan sumber dosa.

Ketika Cita-Cita Menjadi Berhala

Cita-cita yang mulanya niat baik bisa berubah menjadi berhala batin jika dikejar tanpa kendali. Orang yang menjadikan ambisinya sebagai pusat hidup sering kali rela mengorbankan keluarga, waktu ibadah, bahkan nilai moralnya.

Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ
“Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jāthiyah [45]: 23)

Ayat ini menyentuh hakikat terdalam manusia modern: ketika cita-cita dikendalikan oleh hawa nafsu, bukan oleh nilai. Ambisi menjadi tiran yang menuntut pengorbanan tanpa akhir.

Imam al-Māwardī menggambarkan keadaan ini dengan:

الْهَوَى أَعْمَى مِنَ الْعَمَى، وَأَضَلُّ مِنَ الضَّلَالِ
“Hawa nafsu lebih buta dari kebutaan, dan lebih sesat dari kesesatan itu sendiri.”

Mengejar cita-cita tanpa etika berarti membiarkan hawa nafsu menjadi pemimpin. Sementara dalam Islam, pemimpin sejati dari diri manusia adalah akal dan iman.

Cita-Cita dan Keseimbangan Hidup

Etika mengejar cita-cita juga mencakup keseimbangan antara dunia dan akhirat. Islam tidak mengajarkan kita untuk meninggalkan dunia, tetapi untuk menempatkannya di posisi yang benar.

Allah berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Carilah pada apa yang telah Allah berikan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” (QS. Al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini menunjukkan keseimbangan. Kita boleh berjuang untuk dunia, tapi jangan sampai melupakan akhirat. Kita boleh mengejar cita-cita tinggi, tapi jangan sampai kehilangan arah spiritual.

Imam al-Māwardī berkata:

مَنْ غَلَبَتْ دُنْيَاهُ دِينَهُ فَقَدْ خَسِرَ، وَمَنْ غَلَبَ دِينُهُ دُنْيَاهُ فَقَدْ فَازَ
“Barang siapa dunianya mengalahkan agamanya, maka ia rugi; dan barang siapa agamanya mengalahkan dunianya, maka ia beruntung.”

Etika mengejar cita-cita berarti menjaga keseimbangan ini: bekerja keras tanpa kehilangan iman, berprestasi tanpa kehilangan kemanusiaan.

Penutup: Cita-Cita yang Mendidik Jiwa

Pada akhirnya, cita-cita bukan sekadar tujuan hidup, melainkan jalan untuk mendidik jiwa. Ia mengajarkan sabar, ikhlas, dan tangguh. Namun, semua itu hanya bermakna bila kita tidak kehilangan arah dan adab.

Cita-cita yang baik adalah yang menuntun kita mendekat kepada Allah, bukan menjauh dari-Nya. Ia membentuk karakter, bukan hanya karier. Ia membangun kemuliaan, bukan kesombongan.

Maka, jangan biarkan cita-cita membuat kita lupa siapa diri kita. Jangan biarkan ambisi memadamkan nurani. Karena sejatinya, cita-cita yang paling tinggi bukanlah menjadi seseorang di mata dunia, melainkan menjadi hamba yang diridai oleh Tuhan.

“Berjuanglah setinggi langit, tapi pastikan kakimu tetap berpijak di tanah adab.”

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ Unniversity Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement