Surau.co. Dalam kehidupan publik yang semakin bising oleh opini, debat, dan ekspresi tanpa batas, adab menjadi barang langka. Kita hidup di zaman di mana kecepatan bicara lebih dihargai daripada kedalaman makna, dan keberanian bereaksi lebih dipuji daripada kesantunan berpikir. Padahal, dalam pandangan Islam, setiap tindakan publik—baik berbicara, menulis, berdiskusi, memimpin, atau mengkritik—wajib memiliki adab.
Tanpa adab, ilmu menjadi sombong, kekuasaan menjadi zalim, dan kebebasan berubah menjadi kekacauan. Adab bukan sekadar sopan santun, melainkan cara menjaga nilai kemanusiaan dan kehormatan di hadapan Allah. Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menegaskan bahwa keseimbangan hidup manusia terletak pada dua hal: pengendalian hawa nafsu dan penjagaan adab.
فَإِنَّ الْعَقْلَ يُصْلِحُ أُمُورَ الدُّنْيَا، وَالأَدَبُ يُصْلِحُ أُمُورَ الدِّينِ
“Akal memperbaiki urusan dunia, sedangkan adab memperbaiki urusan agama.”
Dari sinilah kita belajar bahwa adab adalah kunci keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat.
Adab: Fondasi Peradaban, Bukan Pelengkap Etika
Islam membangun peradaban bukan dari tumpukan hukum semata, tetapi dari adab. Dalam Al-Qur’an, adab diisyaratkan lewat banyak ayat yang mengajarkan tata cara berinteraksi. Salah satu contohnya adalah ketika Allah menegur para sahabat yang memanggil Nabi Muhammad ﷺ dengan cara yang kurang sopan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian meninggikan suara kalian di atas suara Nabi.” (QS. Al-Ḥujurāt [49]: 2)
Ayat ini bukan sekadar tentang volume suara, tetapi tentang sikap batin. Ia mengajarkan bahwa setiap tindakan publik harus berakar pada penghormatan. Dalam konteks hari ini, maknanya bisa diterapkan pada cara kita berbicara di media sosial, menulis opini, atau berkomentar di ruang publik.
Adab melindungi kebebasan dari kesewenang-wenangan. Ia membuat manusia berani tetapi tetap santun, kritis tetapi tidak kasar, tegas tetapi tidak pongah. Tanpa adab, kebebasan menjadi liarnya ego.
Imam al-Māwardī berkata:
مَنْ لَا أَدَبَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ
“Barang siapa tidak memiliki adab, maka ia tidak memiliki agama.”
Kalimat ini bukan berlebihan. Agama tanpa adab hanyalah ritual tanpa jiwa.
Tindakan Publik dan Tanggung Jawab Moral
Dalam Islam, setiap ucapan dan tindakan memiliki konsekuensi moral. Tidak ada ruang publik yang netral dari nilai. Ketika seseorang berbicara, menulis, atau berbuat sesuatu di hadapan khalayak, ia sedang memikul amanah.
Allah mengingatkan:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada satu kata pun yang diucapkan melainkan ada malaikat pengawas yang selalu siap mencatatnya.” (QS. Qāf [50]: 18)
Ayat ini menanamkan kesadaran etis: setiap pernyataan publik adalah bagian dari hisab kita di akhirat. Maka, sebelum jari mengetik komentar, sebelum lisan mengucapkan kritik, hendaknya hati bertanya—apakah ini akan menambah kemuliaan atau menambah dosa?
Tindakan publik bukan ruang bebas tanpa kendali, tetapi amanah yang menuntut keikhlasan dan keadilan. Dalam konteks kepemimpinan, adab menjadi cermin karakter. Pemimpin yang beradab akan menegakkan kebenaran tanpa menyakiti; rakyat yang beradab akan menuntut keadilan tanpa mencaci.
Adab dalam Berbeda Pendapat
Perbedaan adalah keniscayaan, tetapi cara mengelolanya menentukan kualitas masyarakat. Islam tidak menolak perbedaan, namun mengatur bagaimana menyikapinya dengan adab.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. al-Bukhari)
Akhlak adalah adab dalam bentuk tindakan. Ia menuntun kita agar berbeda tanpa bermusuhan. Di masa para ulama besar, perbedaan mazhab terjadi dengan penuh penghormatan. Imam al-Syafi‘i dan Imam Malik berdebat dalam ilmu, namun saling mendoakan di luar majelis.
Imam al-Māwardī menerangkan:
مَنْ أَخْلَفَ فِي الْمَجْلِسِ حَقَّهُ فَقَدْ أَسَاءَ أَدَبَهُ
“Siapa yang melanggar adab dalam majelis, berarti ia telah berbuat buruk terhadap dirinya sendiri.”
Artinya, kehilangan adab dalam perdebatan adalah tanda hilangnya kemuliaan diri. Maka, dalam setiap diskusi publik, kita perlu lebih dulu menjaga adab daripada sekadar memenangkan argumen.
Media Sosial dan Krisis Adab Modern
Era digital menghadirkan ruang publik baru yang terbuka tanpa batas. Siapa pun bisa berbicara, mengkritik, bahkan menghujat dengan mudah. Sayangnya, kebebasan ini sering kehilangan adab. Banyak yang lupa bahwa setiap kata tetap tercatat, meski disampaikan lewat layar.
Dalam konteks ini, prinsip adab menjadi semakin penting. Nabi ﷺ pernah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini seharusnya menjadi etika utama di dunia maya. Adab dalam berbicara di ruang digital berarti menyaring kata, memikirkan dampak, dan menghindari fitnah. Menyebar kebaikan, bukan kebencian; menyebar ilmu, bukan prasangka.
Media sosial seharusnya menjadi ladang amal, bukan arena pertikaian. Dunia maya mencerminkan siapa kita di dunia nyata. Maka, setiap unggahan, komentar, dan opini harus berangkat dari adab, bukan emosi.
Adab dalam Kepemimpinan dan Aktivitas Sosial
Kepemimpinan publik dalam Islam tidak hanya diukur dari keberhasilan administrasi, tetapi dari keteladanan adab. Pemimpin beradab adalah mereka yang memimpin dengan empati, bukan dengan amarah.
Imam al-Māwardī menerangkan
أَفْضَلُ السِّيَاسَةِ مَا كَانَ بِالْعَدْلِ مَقْرُونًا وَبِالرَّحْمَةِ مَصْلُوحًا
“Kebijakan terbaik adalah yang disertai keadilan dan diperhalus dengan kasih sayang.”
Adab melahirkan kebijakan yang berperikemanusiaan. Ia menuntun pejabat agar tidak sombong, dan rakyat agar tidak iri. Dalam konteks sosial, adab membuat gerakan kemanusiaan tidak kehilangan arah spiritual. Menolong orang lain bukan untuk popularitas, tetapi untuk keberkahan.
Adab sebagai Refleksi Akhlak Ilahi
Hakikat adab dalam Islam adalah meniru sifat-sifat Allah dalam perilaku manusia—takhalluq bi akhlāqillāh (berakhlak dengan akhlak Allah). Adab adalah cara manusia menampakkan rahmat, keadilan, kesabaran, dan kasih sayang dalam kehidupan sosial.
Allah berfirman:
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqān [25]: 63)
Adab tidak hanya terlihat dari kata, tapi dari cara berjalan, cara memandang, cara mendengar. Ia adalah bahasa batin yang mewujud dalam perilaku. Ketika seseorang beradab, ia sedang mencerminkan cahaya Tuhannya.
Penutup: Adab, Nafas dari Jiwa yang Sehat
Pada akhirnya, setiap tindakan publik adalah cermin dari batin seseorang. Adab bukan sekadar aturan sosial, melainkan cerminan dari kematangan spiritual. Dunia mungkin menghargai kepandaian, tetapi Allah menilai keindahan akhlak.
Adab adalah cara menjaga kemanusiaan di tengah hiruk-pikuk dunia. Ia menenangkan hati, menata ucapan, dan menuntun tindakan. Tanpa adab, pengetahuan menjadi pedang yang melukai; dengan adab, pengetahuan menjadi cahaya yang menerangi.
Maka, mari kita jaga adab di setiap ruang—di mimbar, di media sosial, di meja diskusi, bahkan di hati kita sendiri. Karena orang beradab bukan hanya dihormati manusia, tapi juga dicintai Tuhan.
“Adab adalah keindahan yang tak pernah usang; ia tak memudar meski zaman berubah.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
