Surau.co. Sering kali kita mendengar kalimat: “Jangan cinta dunia!” atau “Dunia hanyalah tipu daya.” Kalimat-kalimat ini benar adanya, namun sering disalahartikan. Banyak orang akhirnya menganggap dunia sebagai musuh yang harus dijauhi, padahal Islam tidak pernah memerintahkan kita untuk membenci dunia. Dunia hanyalah tempat kita berproses—tempat mencari bekal menuju kehidupan kekal di akhirat.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
“Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar. Maka janganlah kehidupan dunia memperdayakanmu.” (QS. Fāṭir [35]: 5)
Ayat ini tidak menyuruh kita meninggalkan dunia, tetapi mengingatkan agar kita tidak tertipu oleh gemerlapnya. Dunia bukan tujuan akhir; ia adalah jalan yang harus kita lalui dengan hati yang waspada.
Dunia: Amanah dan Ladang Amal
Islam memandang dunia bukan sekadar ruang hidup sementara, tetapi sebagai amanah. Setiap nikmat yang kita terima—waktu, harta, ilmu, jabatan—semua adalah sarana untuk mengabdi. Nabi ﷺ bersabda:
الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الْآخِرَةِ
“Dunia adalah ladang untuk akhirat.” (HR. Al-Baihaqi)
Kata “ladang” menggambarkan proses: menanam, merawat, dan menunggu hasil panen. Dunia tidak salah, asalkan kita tahu cara memperlakukannya. Menjadi dokter, guru, pedagang, petani, atau penulis—semua bisa menjadi ladang pahala bila diniatkan untuk ibadah.
Imam al-Māwardī dalam kitab Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
فَإِنَّ الدُّنْيَا مَطِيَّةُ الْمُتَّقِينَ وَمَزْرَعَةُ الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya dunia adalah tunggangan orang bertakwa dan ladang bagi orang saleh.”
Artinya, dunia bukan musuh, melainkan kendaraan yang mengantarkan kita menuju keridaan Allah. Barang siapa bijak menungganginya, ia akan sampai ke tujuan.
Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat
Sebagian orang mengira berfokus pada akhirat berarti harus meninggalkan urusan dunia. Padahal Islam menuntun kita untuk seimbang. Allah berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Carilah pada apa yang telah Allah berikan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” (QS. Al-Qaṣaṣ [28]: 77)
Ayat ini menjadi dasar etika hidup seimbang: mencari akhirat tanpa mengabaikan dunia. Kita perlu bekerja keras, belajar sungguh-sungguh, berkeluarga dengan baik, dan berkontribusi untuk masyarakat. Semua aktivitas duniawi bisa bernilai ukhrawi bila dilakukan dengan niat yang lurus.
Imam al-Māwardī menjelaskan:
مَنْ غَلَبَ دِينُهُ دُنْيَاهُ فَقَدْ فَازَ، وَمَنْ غَلَبَتْ دُنْيَاهُ دِينَهُ فَقَدْ خَسِرَ
“Siapa yang agamanya mengalahkan dunianya, maka ia beruntung. Namun siapa yang dunianya mengalahkan agamanya, maka ia rugi.”
Maksudnya bukan meninggalkan dunia, tetapi memastikan bahwa orientasi hidup tetap berporos pada nilai agama.
Dunia Sebagai Ujian, Bukan Tujuan
Segala yang ada di dunia ini bersifat sementara. Kekayaan, jabatan, bahkan umur adalah ujian yang menyingkap siapa yang benar-benar taat dan siapa yang lalai. Allah menegaskan:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk [67]: 2)
Ujian dunia bukan sekadar tentang kesulitan, tetapi juga kemudahan. Terkadang, nikmat justru menjadi ujian tersulit. Dalam kesenangan, manusia cenderung lupa bahwa semua itu akan ditinggalkan. Dunia bukan musuh, tapi bisa menjadi jebakan bila kita tidak berhati-hati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Hadis ini bukan berarti orang beriman tidak boleh bahagia, melainkan bahwa kebahagiaan dunia bagi mereka hanyalah permulaan. Sementara bagi yang ingkar, dunia adalah satu-satunya surga yang akan mereka rasakan.
Mengelola Dunia dengan Hati yang Merdeka
Islam mengajarkan bukan untuk menolak dunia, tetapi mengendalikan keterikatan terhadapnya. Dunia menjadi masalah ketika menguasai hati. Imam al-Māwardī menulis:
الدُّنْيَا تُخْدَمُ وَلا تُخْدَمُ، وَتُسْتَعْمَلُ وَلا تُسْتَعْمِلُ
“Dunia seharusnya digunakan, bukan menjadi penguasa; dimanfaatkan, bukan dijadikan tuan.”
Kalimat ini mengandung makna mendalam. Dunia hanyalah alat, bukan pusat hidup. Kita boleh memiliki harta, tetapi jangan sampai harta memiliki kita. Kita boleh bekerja keras, tapi jangan lupa beribadah. Dunia harus tunduk pada nilai-nilai akhirat, bukan sebaliknya.
Orang yang bijak bukan yang meninggalkan dunia, tapi yang menjadikannya tangga menuju akhirat. Ia bekerja, memberi manfaat, lalu mengembalikan semuanya kepada Allah.
Hidup Bermakna: Membangun Bekal Melalui Amal
Setiap hari, kita menambah atau mengurangi bekal akhirat. Setiap kata, niat, dan perbuatan adalah investasi. Dunia memberi ruang untuk menanam amal saleh sebanyak mungkin sebelum datang hari ketika penyesalan tak lagi berguna.
Allah mengingatkan:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ، إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu) pada hari ketika harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu‘arā [26]: 88–89)
Bekal terbaik bukan uang atau jabatan, tetapi hati yang bersih dan amal yang ikhlas. Dunia memberi kesempatan untuk memperbaikinya. Maka, selama masih hidup, gunakan dunia sebagai ruang latihan menuju kehidupan yang abadi.
Imam al-Māwardī menerangkan:
الدُّنْيَا دَارُ عِبْرَةٍ، وَالآخِرَةُ دَارُ جَزَاءٍ
“Dunia adalah tempat mengambil pelajaran, sedangkan akhirat adalah tempat pembalasan.”
Kalimat ini mengajarkan kesadaran moral. Dunia tidak salah; yang salah adalah lupa bahwa dunia hanyalah tempat belajar.
Penutup: Dunia yang Menuntun, Bukan Menyesatkan
Pada akhirnya, dunia adalah cermin hati kita. Jika kita menggunakannya dengan bijak, ia akan menuntun kita kepada Allah. Namun bila kita tertipu olehnya, ia akan menyesatkan.
Menjadi manusia yang beriman bukan berarti menolak dunia, tetapi menata hubungan dengannya. Kita hidup di dunia untuk bekerja, belajar, mencintai, memberi, dan memperbaiki. Namun semua itu harus berakar pada keyakinan bahwa kehidupan sejati ada di sisi Allah.
Maka, jangan memusuhi dunia. Jadikanlah dunia sahabat perjalanan menuju akhirat. Di setiap langkah kerja, di setiap lelah perjuangan, sematkan doa:
“Ya Allah, jadikan dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”
Karena dunia yang berada di tangan akan menjadi alat menuju surga, tapi dunia yang bersarang di hati akan menjadi tirai dari cahaya Ilahi.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
