Dawud Azh-Zhahiri, seorang tokoh besar dalam sejarah Islam, seringkali menjadi subjek diskusi karena pandangannya yang khas dan terkadang kontroversial. Namun, di balik semua perdebatan akademis mengenai metodologi fiqihnya, tersembunyi sebuah pelajaran penting tentang tawadhu’ atau kerendahan hati yang patut kita renungkan. Dawud Azh-Zhahiri adalah seorang ulama yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual luar biasa, tetapi juga menunjukkan teladan dalam bersikap.
Dawud bin Ali bin Khalaf al-Ishfahani, yang lebih dikenal dengan Dawud Azh-Zhahiri, adalah pendiri mazhab Zhahiri. Mazhab ini menekankan interpretasi tekstual secara harfiah dari Al-Qur’an dan Sunnah, menolak penggunaan analogi (qiyas) dan penalaran lain yang dianggap sebagai tafsiran subjektif. Pemikirannya ini menempatkannya dalam posisi yang unik di antara ulama-ulama sezamannya. Meskipun demikian, ia tetap dihormati karena ketekunan dan kedalaman ilmunya.
Kisah Inspiratif Tawadhu’nya
Salah satu kisah yang paling menonjol dari Dawud Azh-Zhahiri dan menunjukkan tawadhu’nya adalah ketika ia berinteraksi dengan para penentangnya. Dawud Azh-Zhahiri tidak pernah menggunakan posisinya sebagai seorang ulama terkemuka untuk merendahkan atau menyerang mereka yang berbeda pendapat dengannya. Sebaliknya, ia seringkali menunjukkan sikap hormat dan membuka diri untuk berdiskusi, meskipun ia teguh pada pendiriannya.
Sebagai contoh, banyak ulama lain pada masanya tidak setuju dengan mazhab Zhahiri. Mereka mengkritik pendekatan literalnya dan menganggapnya terlalu sempit. Namun, Dawud Azh-Zhahiri tidak membalas kritik tersebut dengan kemarahan atau kesombongan. Ia justru seringkali menunjukkan kerendahan hati dengan mendengarkan argumentasi lawan bicaranya dengan seksama, bahkan jika pada akhirnya ia tetap mempertahankan pandangannya sendiri.
Ini adalah bentuk tawadhu’ yang luar biasa. Seorang ulama dengan pengaruh sebesar Dawud Azh-Zhahiri bisa saja memilih untuk mengabaikan kritik atau bahkan menggunakan otoritasnya untuk membungkam para penentangnya. Namun, ia memilih jalan yang berbeda. Ia menunjukkan bahwa kerendahan hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan batin yang memungkinkan seseorang untuk tetap tenang dan objektif di tengah badai kritik.
Kutipan yang Menginspirasi:
Kita mungkin tidak memiliki kutipan langsung dari Dawud Azh-Zhahiri mengenai tawadhu’ secara spesifik, karena fokus utama catatan sejarah seringkali adalah pada pemikiran fiqihnya. Namun, dari narasi kehidupannya, kita dapat menarik kesimpulan tentang implementasi tawadhu’ dalam perilakunya. Para sejarawan mencatat bahwa ia adalah sosok yang berhati-hati dalam berbicara dan selalu menjaga adab dalam setiap perdebatan ilmiah.
“Sungguh, seorang ulama besar seperti Dawud Azh-Zhahiri, yang teguh dengan pendiriannya namun tetap menghormati perbedaan pendapat, adalah teladan nyata dari kerendahan hati dalam berilmu.”
Pelajaran dari Dawud Azh-Zhahiri ini sangat relevan di zaman sekarang. Di era digital, di mana setiap orang dapat menyuarakan pendapatnya dengan mudah, seringkali kita melihat perdebatan yang dipenuhi dengan ego dan kesombongan. Saling serang dan merendahkan lawan bicara menjadi pemandangan yang lazim. Padahal, seharusnya kita mencontoh Dawud Azh-Zhahiri, yang menunjukkan bahwa perbedaan pendapat tidak harus berakhir dengan permusuhan.
Tawadhu’ mengajarkan kita untuk mengakui keterbatasan diri, untuk menghargai pandangan orang lain, dan untuk selalu belajar. Bahkan seorang ulama sekelas Dawud Azh-Zhahiri, yang sangat yakin dengan metodologinya, tetap menunjukkan sikap rendah hati dalam interaksinya. Ia tidak pernah mengklaim diri paling benar dan menolak semua pendapat orang lain.
Manfaat Menerapkan Tawadhu’:
Menerapkan tawadhu’ dalam kehidupan membawa banyak manfaat. Pertama, tawadhu’ menciptakan lingkungan yang lebih harmonis. Ketika kita rendah hati, kita lebih mudah menerima masukan dan kritik, sehingga mengurangi potensi konflik. Kedua, tawadhu’ membuka pintu bagi ilmu baru. Seseorang yang rendah hati akan selalu merasa perlu belajar dan tidak pernah merasa puas dengan ilmunya. Ini memungkinkan pertumbuhan intelektual dan spiritual yang berkelanjutan. Ketiga, tawadhu’ meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia. Orang-orang akan lebih nyaman berinteraksi dengan individu yang rendah hati, bukan yang sombong dan angkuh.
Dawud Azh-Zhahiri, dengan segala keunikan pemikirannya, memberikan contoh nyata bahwa kerendahan hati adalah sifat mulia yang harus dimiliki setiap muslim. Ini adalah pondasi untuk membangun masyarakat yang beradab, di mana perbedaan dihargai dan ilmu disebarluaskan dengan penuh adab dan hormat. Marilah kita terus meneladani akhlak mulia ini dalam setiap aspek kehidupan kita.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
