Khazanah
Beranda » Berita » Arab Sebelum Islam: Potret Masyarakat Jahiliyah dan Kebutuhan akan Cahaya Hidayah

Arab Sebelum Islam: Potret Masyarakat Jahiliyah dan Kebutuhan akan Cahaya Hidayah

ilustrasi by Meta AI.

SURAU.CO – Periode sebelum kedatangan Islam di Jazirah Arab sering kita kenal sebagai era Jahiliyah. Kata Jahiliyah sendiri berarti “kebodohan” atau “ketidaktahuan.” Ini bukan merujuk pada kebodohan intelektual semata. Sebaliknya, ia lebih kepada kebodohan moral dan spiritual yang mendalam. Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya kondisi masyarakat Arab pada masa itu? Mengapa mereka sangat membutuhkan kedatangan Nabi Muhammad SAW? Mari kita selami potret kehidupan mereka secara komprehensif.

Kondisi Sosial dan Sistem Kesukuan yang Mengakar Kuat

Masyarakat Arab sebelum Islam hidup dalam sistem kesukuan yang sangat kuat. Kesetiaan terhadap suku menjadi prioritas utama, mengesampingkan ikatan yang lebih luas. Akibatnya, sering terjadi perselisihan dan peperangan antar suku. Pertikaian ini dapat berlangsung puluhan tahun, kadang hanya karena masalah sepele seperti perebutan sumber air atau kehormatan. Konsep persatuan di luar ikatan suku hampir tidak ada. Setiap suku adalah entitas mandiri dengan aturannya sendiri.

Selain itu, stratifikasi sosial sangat terlihat jelas. Kaum bangsawan dan orang kaya memiliki kedudukan tinggi dan banyak hak istimewa. Sebaliknya, budak dan kaum yang lemah hidup dalam penindasan yang tak berkesudahan. Mereka sering diperlakukan tidak manusiawi. Perempuan juga memiliki kedudukan sangat rendah dalam masyarakat. Mereka tidak memiliki hak waris yang setara dengan laki-laki, dan seringkali dianggap sebagai properti. Bahkan, praktik mengubur bayi perempuan hidup-hidup menjadi hal biasa, yang mencerminkan pandangan masyarakat terhadap nilai perempuan. Jelas sekali, masyarakat mereka jauh dari kata adil dan beradab menurut standar universal.

Tanpa Hukum Universal, Kekerasan Merajalela

Kondisi sosial yang demikian memberikan wawasan penting. Tanpa hukum universal yang berlandaskan moral dan etika, kekerasan dan ketidakadilan merajalela. Sistem kesukuan memang memberikan perlindungan bagi anggotanya dari ancaman luar. Namun demikian, di sisi lain, ia juga memicu konflik internal yang tidak berkesudahan di antara suku-suku yang berbeda.

Masing-masing suku memiliki hukum dan adatnya sendiri, seringkali tidak mengakui otoritas yang lebih tinggi. Oleh karena itu, balas dendam atau qisas (hukum balas setimpal) menjadi hal yang lumrah dan terus berputar. Konsep keadilan seringkali disamakan dengan kekuatan, di mana yang kuat dapat menindas yang lemah tanpa konsekuensi berarti. Ini menciptakan lingkaran kekerasan yang sulit diputus.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Kepercayaan dan Praktik Keagamaan: Paganisme Mendominasi dan Kekosongan Spiritual

Di bidang agama, paganisme mendominasi secara luas. Masyarakat Arab menyembah banyak berhala, yang mereka anggap sebagai perantara kepada Tuhan. Mereka menempatkan berhala-berhala ini di sekitar Ka’bah, yang ironisnya seharusnya menjadi rumah ibadah yang murni. Sebagai contoh, ada Latta, Uzza, dan Manat, yang merupakan dewi-dewi utama yang mereka sembah. Mereka mengadakan ritual dan persembahan khusus untuk berhala-berhala ini.

Meskipun demikian, masih ada sebagian kecil penganut agama Ibrahim (Hanif) yang tersebar. Mereka percaya pada Tuhan Yang Maha Esa dan menolak penyembahan berhala. Ada juga komunitas penganut Yahudi dan Nasrani yang tinggal di beberapa wilayah, seperti Madinah. Namun, ajaran asli mereka sudah banyak tercampur dengan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan wahyu awal.

Selain itu, praktik-praktik takhayul juga sangat umum. Mereka percaya pada jampi-jampi, ramalan nasib, dan sihir untuk mencari keberuntungan atau menghindari musibah. Singkatnya, kehidupan spiritual mereka penuh dengan kebingungan, ketakutan, dan tidak memiliki arah yang jelas. Kekosongan spiritual ini sangat mendalam, membuat mereka mencari pegangan yang hakiki.

Kondisi Ekonomi: Perdagangan dan Eksploitasi Riba

Secara ekonomi, Mekah adalah pusat perdagangan yang sangat penting. Kota ini berfungsi sebagai jalur perdagangan utama yang menghubungkan Yaman di selatan dengan Syam (Suriah) di utara. Oleh karena itu, kafilah-kafilah dagang sering melintasi Mekah, menjadikannya kota yang ramai dan makmur bagi sebagian kalangan.

Namun demikian, sistem ekonomi yang berlaku cenderung eksploitatif. Riba, atau praktik mengambil keuntungan berlebihan dari pinjaman, menjadi praktik umum dan diakui. Ini menyebabkan orang kaya semakin kaya, sementara orang miskin semakin terpuruk dalam kemiskinan dan jeratan utang. Selain itu, kaum budak tidak memiliki hak ekonomi apa pun. Mereka hanya dianggap sebagai alat produksi untuk kepentingan tuannya. Mereka tidak memiliki kebebasan finansial atau kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Sebuah Masa Gelap yang Menanti Cahaya Hidayah

Masyarakat Arab sebelum Islam hidup dalam kegelapan moral dan spiritual yang pekat. Kekerasan, ketidakadilan, paganisme, dan eksploitasi merajalela di setiap sendi kehidupan. Jelas sekali, mereka sangat membutuhkan cahaya hidayah dan seorang pembimbing yang mampu mengeluarkan mereka dari jurang Jahiliyah.

Pada akhirnya, kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah anugerah terbesar bagi mereka. Beliau membawa ajaran Islam yang revolusioner. Ajaran ini tidak hanya mengubah total wajah Jazirah Arab, tetapi juga memberikan solusi atas segala problematika yang mereka hadapi. Ia mengubahnya dari masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat yang beradab, beriman, dan menjunjung tinggi keadilan. Singkatnya, Islam membawa rahmat bagi seluruh alam semesta, memulai era baru yang penuh cahaya dan petunjuk.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement