iSurau.co. Dalam hiruk-pikuk kehidupan digital yang serba cepat, ketenangan sering terasa seperti kemewahan langka. Setiap notifikasi terasa mendesak, setiap kabar menjadi beban, dan setiap komentar bisa mengguncang hati. Padahal, dalam Islam, tenang itu sunnah—bukan sekadar keadaan emosional, melainkan bagian dari akhlak Rasulullah ﷺ yang mencerminkan kebijaksanaan dan kedalaman jiwa.
Ketenangan bukan tanda kelemahan, melainkan wujud kekuatan yang terkendali. Nabi Muhammad ﷺ hidup di tengah tekanan sosial dan konflik yang luar biasa, namun beliau tetap lembut, sabar, dan tidak mudah bereaksi. Dari tutur beliau lahirlah keteduhan yang menular, membuat siapa pun di sekitarnya merasa aman.
Sunnah ini, sayangnya, sering terlupakan dalam gaya hidup modern yang menuntut reaksi cepat dan penuh emosi. Padahal, ketenangan adalah bentuk ibadah tersirat—cara kita meneladani Rasul dalam menjaga hati dari gejolak dunia.
Tenang dalam Perspektif Al-Qur’an
Ketenangan dalam Islam disebut dengan istilah sakīnah (السكينة), yang berarti ketenteraman batin yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Fath [48]: 4)
Ayat ini menegaskan bahwa ketenangan adalah karunia Ilahi, bukan hasil dari pelarian duniawi. Ia hadir saat hati berpaut kepada Allah, bukan ketika segala urusan dunia selesai.
Ketenangan bukan berarti pasif. Ia justru kekuatan aktif yang lahir dari keyakinan dan pengendalian diri. Orang yang tenang mampu menimbang sebelum bertindak, memahami sebelum menilai, dan mendengar sebelum menjawab.
Dalam dunia serba cepat, sakīnah menjadi oase yang menyejukkan. Ia bukan sekadar perasaan damai, tapi bukti bahwa hati masih mampu berlabuh kepada Allah di tengah arus deras distraksi.
Keteladanan Rasulullah ﷺ dalam Menjaga Ketenangan
Rasulullah ﷺ adalah cermin paling sempurna tentang bagaimana ketenangan menjadi bagian dari kepribadian mulia. Dalam setiap situasi genting, beliau tidak terburu-buru mengambil keputusan.
Satu kisah masyhur terjadi ketika beliau difitnah oleh kaum munafik dalam peristiwa Ifk—fitnah terhadap ‘Aisyah r.a. Alih-alih marah, Rasulullah menahan diri, mencari bukti, dan berdoa kepada Allah hingga wahyu turun menjernihkan keadaan. Inilah ketenangan seorang Nabi: tidak bereaksi karena emosi, tapi bertindak dengan hikmah.
Dalam hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:
التَّأَنِّي مِنَ اللَّهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Tenang dan hati-hati itu datang dari Allah, sedangkan tergesa-gesa berasal dari setan.”
(HR. Al-Baihaqi)
Hadits ini menegaskan bahwa ketenangan bukan sekadar sifat baik, tapi juga tanda kehadiran Allah dalam hati seseorang. Orang yang tenang tidak mudah diprovokasi, karena ia menyandarkan reaksinya kepada Allah, bukan kepada nafsu.
Pandangan Imam Al-Mawardi: Adab Tenang dalam Kehidupan Dunia
Dalam karya klasik Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam Al-Māwardi menerangkan:
مِنْ آدَابِ الْعَقْلِ: السُّكُونُ عِنْدَ الْغَضَبِ، وَالتَّرَوِّي عِنْدَ الْحُكْمِ، وَالْحِلْمُ عِنْدَ الْجَهْلِ.
“Termasuk adab orang berakal adalah tetap tenang saat marah, berpikir jernih ketika memutuskan, dan bersabar saat menghadapi kebodohan.”
Terjemahan ini menegaskan bahwa ketenangan bukan hanya emosi yang tenang, tetapi manifestasi kecerdasan spiritual dan moral. Orang yang mampu menahan diri ketika marah berarti telah menguasai dirinya, bukan dikuasai emosinya.
Imam Al-Mawardi juga menambahkan bahwa ketenangan adalah kunci kehormatan diri. Orang yang mudah gusar kehilangan wibawa, sedangkan orang yang tenang akan dihormati karena kebijaksanaannya.
Tenang dalam Era Media Sosial: Sunnah yang Diuji
Di era digital, tenang menjadi ujian baru bagi umat. Kita terbiasa menanggapi segala sesuatu dengan cepat—balasan pesan, komentar panas, berita sensasional. Kita berlomba menjadi yang pertama bereaksi, bukan yang paling bijak.
Padahal, di sinilah sunnah ketenangan diuji. Menahan diri untuk tidak berkomentar saat hati panas adalah jihad kecil yang besar nilainya. Mengabaikan provokasi demi menjaga kedamaian hati adalah ibadah yang tak terlihat, tapi dirasakan.
Ketenangan di media sosial bukan berarti diam selamanya. Ia berarti menyaring niat sebelum mengetik, menimbang dampak sebelum mengunggah. Ini bentuk taqwa digital—menghadirkan Allah dalam setiap jari yang menulis.
Menumbuhkan Tenang di Tengah Kesibukan Dunia
Bagaimana agar tenang bisa menjadi gaya hidup, bukan hanya momen sesaat?
- Pertama, perbanyak dzikir. Al-Qur’an menjelaskan:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Dzikir adalah jalan cepat menuju ketenangan batin. Ia menenangkan pikiran yang bising dan menambatkan hati yang gelisah.
- Kedua, atur ritme hidup. Jangan biarkan kesibukan memadamkan waktu sunyi. Rasulullah ﷺ sering mengajarkan keseimbangan—antara bekerja dan beribadah, antara bergaul dan menyendiri.
- Ketiga, latih kesadaran diri (muraqabah)—menyadari bahwa Allah selalu melihat. Orang yang merasa diawasi akan berhati-hati, bukan karena takut manusia, tapi karena ingin menjaga kehormatan di hadapan Rabb-nya.
Ketenangan Sebagai Gaya Hidup Muslim Modern
Tenang bukan berarti lemah, tapi tanda matang. Dalam dunia kerja, ketenangan membantu kita berpikir jernih dalam tekanan. Di keluarga, ia menjadi jembatan yang meredakan pertengkaran. Dalam pertemanan, ia menjadi cermin kedewasaan.
Muslim yang tenang akan mudah dipercaya, karena tutur dan tindakannya tidak tergesa. Ia berani bersuara, tapi tidak berteriak. Ia berpendapat, tapi tidak menjatuhkan.
Gaya hidup Islami sejati bukan tentang simbol luar, tapi tentang bagaimana hati memantulkan keindahan iman. Dan tidak ada yang lebih indah dari hati yang tenang, karena di situlah Allah menurunkan sakīnah.
Penutup: Ketika Tenang Menjadi Ibadah
Menjadi tenang di zaman gaduh adalah keberanian spiritual. Ia tidak datang dari keheningan ruang, tapi dari keheningan hati. Ketenangan adalah dzikir tanpa suara, tanda bahwa jiwa masih tersambung dengan Sang Pencipta.
Jika marah datang, ingatlah sabda Nabi ﷺ:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالسُّرْعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukan yang cepat marah, tapi yang mampu mengendalikan diri ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, di antara hiruk-pikuk dunia yang bising, marilah kita rawat ketenangan sebagai sunnah, bukan pelarian. Jadikan ia gaya hidup, tanda cinta kita kepada Rasulullah ﷺ dan bukti kedewasaan iman di zaman yang penuh gejolak. Karena sejatinya, tenang itu bukan diam—tenang itu kuat.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
