Dalam khazanah keilmuan Islam, kitab Riyadhus Shalihin karya Imam An-Nawawi merupakan permata yang tak ternilai. Kumpulan hadis-hadis pilihan ini membimbing umat menuju akhlak mulia, salah satunya melalui bab Adab yang sangat krusial. Di antara berbagai adab yang diajarkan, tawadhu’ dan rendah hati menempati posisi istimewa, menjadi fondasi bagi kemuliaan seorang Muslim. Artikel ini akan mengupas tuntas esensi tawadhu’ dan rendah hati, merujuk pada mutiara hikmah dari Riyadhus Shalihin, serta relevansinya dalam kehidupan modern.
Mengapa Tawadhu’ Begitu Penting?
Tawadhu’ secara harfiah berarti merendahkan diri. Namun, ini bukan berarti menghinakan diri atau merasa inferior. Sebaliknya, tawadhu’ adalah sikap batin yang memandang orang lain lebih mulia dari diri sendiri, mengakui kelemahan diri, dan menyadari bahwa segala kebaikan datangnya dari Allah SWT. Sikap ini merupakan antitesis dari kesombongan, sifat tercela yang dapat menghancurkan amal kebaikan seorang hamba. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (An-Nahl: 23).
Imam An-Nawawi, melalui pilihan hadisnya dalam Riyadhus Shalihin, secara tegas menunjukkan pentingnya tawadhu’. Beliau menyusun bab khusus untuk adab ini, mengindikasikan bahwa tanpa tawadhu’, adab-adab lain akan sulit diinternalisasi. Seorang yang tawadhu’ akan lebih mudah menerima nasihat, berlapang dada dalam menghadapi perbedaan, dan senantiasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.
Ciri-ciri Orang yang Tawadhu’ dan Rendah Hati
Riyadhus Shalihin menggambarkan ciri-ciri orang yang tawadhu’ melalui berbagai kisah dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadis yang sering dikutip adalah, “Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim). Hadis ini mengisyaratkan bahwa tawadhu’ bukan melemahkan, justru menguatkan dan memuliakan.
Berikut beberapa ciri orang yang tawadhu’ berdasarkan ajaran Islam:
-
Menghindari Pujian Berlebihan: Orang yang tawadhu’ tidak berbangga diri ketika dipuji, bahkan cenderung merasa malu. Ia menyadari bahwa segala kelebihan adalah anugerah dari Allah, bukan semata karena usahanya.
-
Mudah Menerima Nasihat dan Kritik: Mereka tidak merasa diri paling benar. Kritik dianggap sebagai cermin untuk memperbaiki diri, bukan sebagai serangan pribadi.
-
Tidak Membeda-bedakan Orang Lain: Orang tawadhu’ memperlakukan setiap orang dengan hormat, tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau jabatan. Kesamaan derajat sebagai hamba Allah menjadi landasan utama.
-
Berbicara Lembut dan Penuh Penghargaan: Ucapan mereka jauh dari kesombongan atau merendahkan orang lain. Bahasa yang sopan dan santun senantiasa menjadi pilihan.
-
Selalu Bersyukur: Mereka menyadari bahwa semua yang dimiliki adalah titipan. Rasa syukur mendorong mereka untuk tidak merasa lebih baik dari orang lain.
-
Melayani dan Membantu Sesama: Kesediaan untuk membantu tanpa pamrih, bahkan untuk pekerjaan “rendah”, adalah manifestasi tawadhu’.
Tawadhu’ dalam Kehidupan Sehari-hari: Implementasi dari Riyadhus Shalihin
Bagaimana kita dapat mengamalkan tawadhu’ dan rendah hati dalam kehidupan sehari-hari? Riyadhus Shalihin memberikan banyak contoh praktis. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah teladan terbaik dalam tawadhu’. Beliau tidak pernah merasa lebih tinggi dari para sahabatnya, bahkan seringkali ikut serta dalam pekerjaan rumah tangga atau membantu orang yang membutuhkan.
Salah satu kutipan relevan dari Riyadhus Shalihin yang menunjukkan sikap tawadhu’ adalah kisah ketika Nabi SAW pernah menolak untuk berjalan di depan para sahabat, seraya berkata, “Biarkanlah aku berjalan di antara kalian, sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba.” Kisah ini mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah pelayan umat, bukan penguasa yang sombong.
Menerapkan tawadhu’ berarti:
-
Mendengarkan dengan Seksama: Saat berinteraksi, berikan perhatian penuh kepada lawan bicara. Jangan memotong pembicaraan atau meremehkan pendapat mereka.
-
Mengakui Kesalahan: Berani mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah tanda kerendahan hati yang agung.
-
Menghindari Pamer: Baik itu kekayaan, ilmu, atau jabatan. Keikhlasan dalam beramal lebih penting daripada pengakuan manusia.
-
Berinteraksi dengan Anak-anak dan Orang yang Lebih Lemah: Tunjukkan kasih sayang dan hormat kepada mereka, sebagaimana Nabi SAW selalu melakukannya.
-
Meninggalkan Perdebatan yang Sia-sia: Orang yang tawadhu’ lebih memilih menjaga persatuan daripada memenangkan argumen dengan cara yang merendahkan.
Pentingnya Menjauhi Kesombongan
Kontras dengan tawadhu’, kesombongan adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Ia membutakan seseorang dari kebenaran, menjauhkannya dari rahmat Allah, dan merusak hubungan sosial. Iblis adalah contoh nyata makhluk yang celaka karena kesombongannya enggan sujud kepada Adam.
Imam An-Nawawi berulang kali mengingatkan tentang bahaya kesombongan melalui hadis-hadis yang dipilihnya. Misalnya, “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan.” (HR. Muslim). Hadis ini menjadi peringatan keras agar setiap Muslim senantiasa introspeksi diri dan membuang jauh-jauh sifat angkuh.
Kesimpulan: Meraih Derajat Mulia dengan Tawadhu’
Tawadhu’ dan rendah hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan batin yang membawa pada kemuliaan sejati. Melalui ajaran-ajaran berharga dalam Riyadhus Shalihin, kita diingatkan untuk senantiasa menghiasi diri dengan akhlak mulia ini. Dengan mengamalkan tawadhu’, seorang Muslim tidak hanya akan mendapatkan kecintaan dari sesama manusia, tetapi yang lebih utama, akan meraih keridaan dan pengangkatan derajat dari Allah SWT. Marilah kita jadikan tawadhu’ sebagai mahkota kemuliaan dalam setiap langkah kehidupan kita.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
