Kisah tentang ulama-ulama salaf senantiasa menawarkan pelajaran berharga, terutama dalam hal keteladanan akhlak. Salah satu figur yang paling menonjol dengan sifat tawadhu’ atau rendah hatinya adalah Imam Malik bin Anas, seorang imam besar mazhab Maliki. Kisahnya tentang penolakan jabatan ini bukan sekadar anekdot sejarah, melainkan sebuah manifestasi nyata dari keikhlasan dan kebijaksanaan seorang alim. Mari kita telaah lebih dalam tentang bagaimana tawadhu’nya Imam Malik menjadi sebuah mercusuar bagi umat hingga kini.
Imam Malik, dengan keilmuannya yang mendalam dan kefaqihannya yang tak tertandingi, tentu saja menjadi incaran banyak penguasa untuk menduduki posisi-posisi penting. Di masanya, para penguasa seringkali ingin mendekatkan diri kepada ulama terkemuka guna mendapatkan legitimasi atau nasihat dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun, Imam Malik memiliki prinsip yang teguh. Dia sangat memahami bahwa jabatan, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan duniawi, dapat menjadi ujian berat bagi keikhlasan seseorang.
Menolak Jabatan: Sebuah Sikap yang Langka
Dalam sebuah riwayat yang masyhur, Imam Malik pernah ditawari jabatan sebagai seorang hakim. Jabatan qadhi (hakim) pada masa itu merupakan posisi yang sangat terhormat dan memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Seseorang yang menduduki jabatan ini akan memiliki wewenang untuk memutuskan perkara, menegakkan keadilan, dan menjadi rujukan hukum. Bagi kebanyakan orang, tawaran ini tentu sangat menggiurkan. Ini adalah kesempatan emas untuk meraih kemuliaan duniawi, kekayaan, dan pengaruh. Namun, Imam Malik justru memberikan respon yang sangat mengejutkan.
Beliau dengan tegas menolak tawaran tersebut. Alasannya bukanlah karena dia tidak mampu atau tidak memiliki kapasitas. Justru sebaliknya, keilmuan dan integritasnya membuat dia menjadi kandidat yang sangat ideal. Penolakannya berlandaskan pada prinsip ketawadhuan dan kehati-hatian. Imam Malik menyadari betapa beratnya amanah seorang hakim. Tanggung jawab untuk memutuskan perkara di antara manusia adalah sebuah beban yang sangat besar di hadapan Allah SWT. Kekhawatiran akan terjerumus pada kesalahan atau ketidakadilan menjadi alasan utama penolakannya.
“Saya khawatir tidak dapat berlaku adil,” mungkin inilah salah satu pemikiran yang terlintas dalam benak beliau. Seseorang yang tawadhu’ akan selalu merasa dirinya kurang dan tidak layak untuk mengemban amanah besar, meskipun sebenarnya dia adalah yang paling pantas. Rasa rendah hati ini mencegahnya dari kesombongan dan keinginan untuk menonjolkan diri.
Kutipan Inspiratif dari Imam Malik
Sebuah kutipan yang terkenal dari Imam Malik mencerminkan sikap tawadhu’nya ini: “Tidaklah seseorang itu berilmu jika dia tidak takut kepada Allah.” Kutipan ini menegaskan bahwa puncak dari ilmu adalah rasa takut kepada Allah, yang kemudian akan melahirkan ketawadhuan dan kehati-hatian dalam setiap tindakan, termasuk dalam menerima atau menolak jabatan. Beliau juga pernah berkata, “Ilmu itu adalah nur (cahaya) yang Allah letakkan di hati siapa saja yang Dia kehendaki, bukan dengan banyak meriwayatkan.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa esensi ilmu bukanlah kuantitas hafalan, melainkan kualitas pemahaman dan keikhlasan yang terpancar dalam amal perbuatan.
Pelajaran Berharga bagi Umat Islam Modern
Kisah Imam Malik ini memberikan banyak pelajaran berharga bagi kita, terutama di era modern ini.
-
Prioritas Akhirat di Atas Dunia: Imam Malik mengajarkan bahwa kemuliaan sejati bukanlah terletak pada jabatan atau harta dunia, melainkan pada ketakwaan dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah.
-
Kehati-hatian dalam Mengemban Amanah: Setiap amanah, sekecil apa pun, memiliki pertanggungjawaban di hadapan Allah. Kisah Imam Malik mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menerima sebuah jabatan atau tanggung jawab besar, apalagi jika kita merasa tidak mampu atau khawatir tidak bisa berlaku adil.
-
Tawadhu’ sebagai Kunci Keberkahan Ilmu: Ilmu yang berkah adalah ilmu yang melahirkan ketawadhuan, bukan kesombongan. Seorang alim sejati akan selalu merasa dirinya fakir ilmu di hadapan Allah.
-
Menjaga Integritas Ulama: Dengan menolak jabatan, Imam Malik secara tidak langsung menjaga independensi dan integritas keilmuannya. Beliau tidak ingin ilmunya dicemari oleh kepentingan politik atau duniawi. Ini adalah teladan penting bagi para ulama agar tetap menjadi pewaris para Nabi yang berpegang teguh pada kebenaran.
-
Memilih Jalan Keselamatan: Dalam pandangan Imam Malik, menolak jabatan yang berpotensi membawa pada fitnah atau ketidakadilan adalah memilih jalan keselamatan. Beliau lebih memilih untuk fokus pada penyebaran ilmu dan bimbingan umat, tanpa terikat pada hiruk-pikuk kekuasaan.
Kesimpulan
Ketawadhuan Imam Malik bukan sekadar sifat pribadi, melainkan sebuah prinsip hidup yang kokoh. Penolakannya terhadap jabatan adalah manifestasi dari keikhlasan, rasa takut kepada Allah, dan kebijaksanaan yang mendalam. Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa puncak kemuliaan bukanlah seberapa tinggi jabatan yang kita raih, melainkan seberapa dalam ketawadhuan dan keikhlasan yang kita miliki dalam setiap langkah kehidupan. Imam Malik telah mewariskan kepada kita sebuah teladan abadi tentang bagaimana seorang mukmin sejati seharusnya bersikap di tengah gemerlap dunia. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang beliau tunjukkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
