Khazanah
Beranda » Berita » Ngaji Hati di Tengah Timeline

Ngaji Hati di Tengah Timeline

Surau.co. Kita hidup di zaman ketika layar lebih sering menatap kita daripada kita menatap hati sendiri. Dalam setiap detik, ada notifikasi yang berdering, trending topic yang berubah, dan linimasa (timeline) yang selalu bergerak cepat. Di tengah derasnya arus informasi itu, suara hati sering tenggelam. Kita lebih sibuk membaca kabar orang lain daripada membaca kondisi batin sendiri.

“Ngaji hati” di tengah timeline menjadi ajakan untuk menengok kembali ruang terdalam dari diri kita — ruang yang sering kita abaikan di antara scroll, like, dan share. Sebab, beriman di era digital bukan hanya tentang rajin membaca ayat, tetapi juga tentang keberanian untuk berhenti sejenak dan mendengar detak jiwa.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

Dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzāriyāt [51]: 21)

Membuat Agama Islam Seperti Gado Rasa Nusantara

Ayat ini adalah undangan Ilahi untuk menatap ke dalam diri, bukan sekadar ke luar. Karena di dalam setiap hati ada cermin tempat kita bisa melihat seberapa dekat atau jauh kita dari Tuhan.

Dunia Maya dan Hati yang Lelah

Dunia digital memberi ruang tanpa batas. Kita bisa belajar, berdakwah, berjualan, bahkan menebar kebaikan dari ujung jari. Namun, di balik kemudahan itu, dunia maya juga menjadi ladang kelelahan batin. Setiap kali kita membuka timeline, kita melihat perbandingan — tentang hidup, prestasi, bahkan ibadah.

Dalam diam, hati mulai merasa kurang. Kita menakar diri dengan ukuran orang lain dan kehilangan syukur atas apa yang kita miliki. Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

وَمَنْ لَمْ يَقْنَعْ بِالْيَسِيرِ لَمْ يَسْتَرِحْ أَبَدًا

Barang siapa tidak merasa cukup dengan yang sedikit, maka ia tidak akan pernah beristirahat selamanya.

Manfaat Memahami Makna Tauhid

Kalimat ini terasa relevan bagi manusia digital. Timeline membuat kita terus membandingkan, menuntut lebih, dan lupa beristirahat dari ambisi. Padahal hati yang tidak tenang sulit untuk mengingat Tuhan dengan jernih.

Maka, ngaji hati berarti belajar berhenti sejenak — bukan dari dunia digital sepenuhnya, tetapi dari hasrat untuk terus dibandingkan.

Ngaji Hati: Membaca Diri Sebelum Membaca Dunia

Kita terbiasa membaca status, berita, dan komentar orang lain. Namun, kapan terakhir kali kita membaca kondisi hati sendiri? Ngaji hati bukan sekadar introspeksi, melainkan latihan untuk menyadari perasaan, niat, dan arah hidup kita di hadapan Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa pusat kehidupan spiritual manusia ada di hati. Dunia digital mungkin mendidik pikiran, tetapi hanya kesadaran hati yang bisa menuntun kita menuju ketenangan sejati.

Ngaji hati berarti belajar membaca getar batin: apakah kita masih ikhlas, ataukah mulai riya? Apakah kita masih berzikir karena cinta, atau karena ingin dilihat? Di tengah timeline, membaca hati menjadi ibadah yang paling sunyi, tapi juga paling jujur.

Timeline yang Berisik dan Doa yang Sunyi

Timeline adalah dunia yang bising: opini bersahutan, emosi berserakan, dan setiap orang merasa berhak bersuara. Dalam kebisingan itu, sering kali doa kehilangan ruang. Kita lebih cepat membalas komentar daripada memohon ampun. Kita lebih sering mengetik keluhan daripada menengadahkan tangan.

Namun Allah justru memanggil dalam kesunyian:

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan.” (QS. Ghāfir [40]: 60)

Ayat ini tidak hanya mengajak untuk berdoa, tetapi juga untuk menyepi. Dalam riuhnya dunia maya, hati membutuhkan ruang hening agar bisa mendengar panggilan Tuhan.

Ngaji hati di tengah timeline berarti mengembalikan keintiman spiritual yang sering terkikis. Mungkin kita masih menulis tentang Tuhan di media sosial, tapi apakah kita masih berbicara dengan-Nya di dalam sunyi?

Dakwah Digital dan Etika Hati

Banyak orang hari ini berdakwah melalui media sosial. Ini adalah hal mulia, tetapi sekaligus berisiko. Sebab, niat yang tidak dijaga bisa mengubah dakwah menjadi ajang pencitraan. Imam al-Māwardī mengingatkan:

لَا تَطْلُبِ الْمَحَامِدَ بِالْأَقْوَالِ وَتُخَالِفَهَا بِالْأَفْعَالِ

Janganlah engkau mencari pujian lewat kata-kata, sementara perbuatanmu tidak sesuai dengan itu.”

Etika hati sangat penting dalam dakwah digital. Dakwah seharusnya memanggil hati, bukan memancing debat. Ketika hati yang berbicara, pesan akan sampai dengan lembut. Tetapi jika ego yang bicara, kata seindah apa pun bisa terdengar kasar.

Maka, sebelum menulis status dakwah, barangkali perlu kita tanya: apakah ini seruan karena cinta atau karena ingin diakui? Ngaji hati membantu kita berdakwah dengan tulus, tidak untuk menang argumen, tapi untuk menebar cahaya.

Menjaga Jiwa di Era Scroll Tak Berhenti

Salah satu tantangan terbesar zaman ini adalah scroll tanpa henti. Setiap kali kita berhenti sejenak, muncul keinginan untuk menggulir layar lagi. Otak terus dijejali, hati terus terhuyung. Kelelahan spiritual ini nyata: kita terus mengonsumsi informasi, tapi jarang merenungkan makna.

Rasulullah ﷺ memberi panduan sederhana dalam hadits:

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini mengajarkan puasa informasi. Tidak semua hal di timeline harus dikomentari. Tidak semua berita perlu kita tanggapi. Ada kalanya, yang terbaik adalah diam dan menata hati.

Ngaji hati di era digital berarti menyeleksi apa yang kita lihat dan dengar. Karena apa yang masuk ke pikiran akan turun ke hati, dan apa yang mengisi hati akan memengaruhi perilaku.

Menemukan Tuhan di Antara Notifikasi

Tidak semua hal di dunia digital buruk. Jika digunakan dengan bijak, media sosial justru bisa menjadi ruang zikir modern: tempat berbagi inspirasi, ilmu, dan kebaikan. Namun, kuncinya ada pada kesadaran.

Allah berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)

Timeline bisa menjadi ladang dzikir jika kita menatanya dengan niat yang benar: mengikuti akun yang membawa kebaikan, menyebarkan kata yang menenangkan, dan menghindari ujaran yang memecah.

Dengan begitu, setiap kali kita membuka layar, kita bukan hanya melihat dunia, tapi juga belajar mendekat kepada Tuhan. Di antara notifikasi, ada kesempatan untuk menemukan makna. Di antara komentar, ada ruang untuk mengasah kesabaran.

Penutup: Hening di Antara Scroll

Ngaji hati di tengah timeline adalah perjalanan kembali ke pusat diri. Ia bukan sekadar ajakan untuk menjauh dari dunia digital, tetapi untuk menghadirkan kesadaran dalam setiap interaksi. Kita boleh hidup di dunia maya, tetapi jangan biarkan hati ikut maya. Kita boleh berbagi banyak hal, tetapi jangan sampai kehilangan kedalaman.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa banyak kita dibaca, tapi seberapa dalam kita mampu membaca hati sendiri. Ketika jempol berhenti menggulir, dan mata menutup sejenak, di sanalah hati mulai berbicara. Di tengah riuh timeline, selalu ada ruang sunyi tempat kita bisa berjumpa dengan Tuhan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.