Surau.co. Kita hidup di zaman di mana segala hal bisa jadi konten. Mulai dari secangkir kopi sampai salat malam, dari sedekah diam-diam sampai ucapan doa di media sosial. Semuanya berlomba mendapatkan perhatian, komentar, dan tentu saja — like. Dalam pusaran itu, keikhlasan beribadah seringkali menjadi korban.
Barangkali kalinat “Tuhan gak butuh captionmu, tapi hatimu” menjadi tamparan lembut di tengah euforia digital. Kalimat itu bukan ajakan untuk berhenti berdakwah di media sosial, melainkan seruan agar kita menimbang ulang niat di balik jari yang mengetikkan ayat atau menulis nasihat. Apakah kita ingin menebar kebaikan, atau sekadar ingin tampak saleh di mata manusia?
Dalam dunia yang serba visual, kesalehan mudah disamakan dengan estetika. Padahal, agama tidak pernah meminta keindahan tampilan, melainkan kebeningan hati yang ikhlas dalam beribadah.
Dari Niat ke Pamer: Pergeseran Makna Ibadah di Dunia Digital
Media sosial menciptakan ruang baru bagi ekspresi keagamaan. Namun, di sisi lain, ruang itu juga memunculkan paradoks: semakin sering kita berbagi kebaikan, semakin besar pula potensi kita untuk terjebak dalam pamer spiritual.
Rasulullah ﷺ sudah memperingatkan tentang hal ini dalam sabdanya:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa nilai suatu amal tidak terletak pada seberapa besar orang lain mengetahuinya, tapi pada seberapa tulus hati yang melakukannya. Dalam konteks digital, bisa jadi seseorang menulis doa panjang di Instagram bukan karena ingin riya’, melainkan benar-benar ingin menginspirasi. Namun, tetap saja, niat itu harus selalu dijaga, sebab setipis apapun kabut riya’ bisa menutupi cahaya keikhlasan.
Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam al-Māwardī menerangkan:
وَإِذَا صَحَّتِ النِّيَّةُ صَلُحَ الْعَمَلُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْعَمَلُ
“Apabila niat telah benar, maka amal pun menjadi baik. Namun jika niat telah rusak, amal pun ikut rusak.”
Kata-kata itu sederhana, tapi mengandung makna mendalam. Dunia digital menuntut kita untuk terus terlihat aktif, namun agama menuntut kita untuk aktif menata niat. Antara keduanya, hati menjadi medan pertarungan yang paling sunyi.
Tuhan Melihat Hati, Bukan Teks yang Kamu Ketik
Kita bisa menulis seribu caption religi, mengutip puluhan ayat, bahkan menautkan hadis setiap hari. Tapi kalau hati kita kering dari dzikir, semuanya hanya menjadi ornamen spiritual yang rapuh. Allah tidak melihat jumlah kata yang kita tulis, melainkan kedalaman niat di baliknya.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya.”
(QS. Al-Hajj [22]: 37)
Ayat ini mengajarkan bahwa bukan bentuk ibadah lahiriah yang menjadi tolok ukur, melainkan ketulusan hati. Dalam konteks kekinian, bukan jumlah ayat yang kamu unggah atau panjang caption yang kamu tulis yang membuat Allah ridha, melainkan ketulusan niat di balik tindakanmu.
Setiap kali tangan kita mengetikkan nasihat di media sosial, seharusnya kita bertanya: apakah ini untuk Allah, atau untuk pengakuan? Jika jawabannya untuk Allah, maka biarlah tulisan itu menjadi amal yang tidak perlu banyak disorot, cukup menjadi cahaya yang menembus hati pembacanya tanpa harus disertai nama penulisnya.
Pelajaran dari Al-Qur’an dan Ulama Klasik tentang Keikhlasan
Keikhlasan adalah inti dari seluruh amal. Ia seperti akar dalam pohon yang kokoh — tak terlihat, tapi menyalurkan kehidupan bagi seluruh rantingnya. Ketika akar itu patah, daun amal pun layu tanpa terasa.
Imam al-Māwardī menjelaskan lebih lanjut dalam kitabnya:
الإخلاصُ هو تصفيةُ العملِ عن ملاحظةِ المخلوقين
“Ikhlas adalah memurnikan amal dari pandangan manusia.”
Artinya, keikhlasan hanya mungkin lahir ketika kita mengalihkan pandangan dari manusia dan menujukannya kepada Allah. Dalam ruang digital yang ramai, ini adalah ujian paling berat. Sebab, setiap tindakan mudah berubah menjadi tontonan.
Namun, justru di sinilah nilai spiritual diuji. Orang yang mampu beramal tanpa butuh pengakuan, dialah yang benar-benar dekat dengan Tuhan. Ia tidak menulis untuk terlihat bijak, tidak berdoa untuk mendapat simpati, dan tidak memotret sedekahnya demi komentar manis. Ia cukup menatap langit, lalu berkata dalam hati: “Ya Allah, Engkau cukup bagiku.”
Menemukan Ketenangan dalam Kesunyian Iman
Keikhlasan itu tenang. Ia tidak menuntut disukai. Ia tidak gelisah jika tak ada yang melihat. Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, diam bisa menjadi bentuk dzikir paling dalam. Tidak semua amal perlu diumumkan, dan tidak semua kebaikan harus dibagikan.
Ketika seseorang mampu menahan diri untuk tidak memamerkan ibadahnya, itu pertanda hatinya telah matang. Ia tidak lagi mencari cahaya sorotan, karena telah menemukan cahaya dalam dirinya. Ia tahu, Allah tidak butuh bukti visual, sebab Dia telah melihat isi hatinya.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan esensi ajaran Islam: hati adalah pusat nilai seorang manusia. Ketika hati bersih, maka segala amal menjadi indah di sisi Allah, meski tidak diketahui oleh siapapun di dunia.
Penutup: Ketika Hati Bicara Tanpa Caption
Tuhan gak butuh captionmu, tapi hatimu. Kalimat ini adalah undangan untuk kembali menengok ke dalam diri. Dunia digital mengajarkan kita untuk tampil, tapi Allah mengajarkan kita untuk tenang. Dunia meminta bukti, tapi Allah meminta niat.
Keikhlasan adalah seni paling sunyi dalam beragama. Ia tidak berbentuk, tapi mengubah segalanya. Ia tidak terlihat, tapi menjadi alasan setiap amal diterima. Maka, biarlah sebagian ibadahmu tidak diunggah, sebagian nasihatmu tidak dipublikasikan, sebagian sedekahmu tidak disyukuri manusia. Karena Allah sudah cukup tahu — dan bukankah itu saja yang terpenting?
Dalam kesunyian hati yang tulus, ada keindahan yang tak bisa dipamerkan, ada kedekatan yang tak bisa dijelaskan. Saat tangan berhenti mengetik dan hati mulai berbisik, di sanalah kamu benar-benar berbicara kepada Tuhan. Tanpa caption, tanpa penonton — hanya kamu dan Dia. karena sekali lagi, Tuhan gak butuh captionmu.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
