Surau.co. Beragama adalah fitrah manusia. Namun dalam praktiknya, beragama kadang justru terasa melelahkan bagi orang lain—bukan karena ajarannya, tetapi karena sikap sebagian pemeluknya. Fenomena ini melahirkan istilah yang populer di media sosial: “beragama tapi menyebalkan.”
Kita sering menjumpai orang yang tekun ibadah, rajin berdakwah, namun tutur katanya kasar, mudah menghakimi, dan merasa paling benar. Padahal, agama tidak pernah mengajarkan cara beriman yang menjauhkan orang lain dari rahmat. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka berkat rahmat dari Allah engkau (Muhammad) bersikap lemah lembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 159)
Ayat ini menegaskan bahwa kelembutan adalah ruh dakwah dan kunci keberhasilan dalam beragama. Keimanan yang tidak menumbuhkan kelapangan hati dan empati justru kehilangan rohnya.
Menemukan Esensi: Agama untuk Ketenangan, Bukan Kekerasan
Agama hadir bukan untuk menakuti, melainkan untuk menenteramkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)Beragama tanpa menyebalkan berarti meneladani akhlak Nabi: beragama dengan hati yang ramah, bukan marah. Dalam banyak peristiwa, Rasulullah selalu memilih kelembutan daripada konfrontasi. Ketika seorang Arab Badui kencing di masjid, para sahabat marah, namun Nabi berkata tenang: “Biarkan dia, lalu siramlah tempat itu dengan air.” (HR. Bukhari).
Peristiwa sederhana ini menunjukkan bahwa keimanan yang benar tidak menambah arogansi, melainkan memperdalam kasih. Kelembutan Nabi justru membuat orang yang semula tidak tahu menjadi malu dan akhirnya beriman dengan penuh cinta.
Keseimbangan Iman dan Adab: Pelajaran dari Imam al-Māwardī
Dalam kitab klasik Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam al-Māwardī menerangkan:
وَأَفْضَلُ الْعَقْلِ مَا كَانَ مَقْرُونًا بِالْأَدَبِ، فَإِنَّ الْعَقْلَ يَهْدِي إِلَى الصَّوَابِ، وَالْأَدَبَ يَهْدِي إِلَى الْحُسْنِ.
“Akal yang paling utama adalah yang disertai adab, sebab akal menuntun pada kebenaran, sedangkan adab menuntun pada keindahan.”
Artinya, iman dan akal mesti disertai dengan keindahan adab. Orang yang cerdas beragama tapi kehilangan adab akan menyebarkan kekasaran. Sebaliknya, orang yang berilmu tapi beradab lembut akan menghadirkan kedamaian bagi sekitarnya.
Imam al-Māwardī ingin menegaskan bahwa kebenaran tanpa kelembutan akan menimbulkan kebencian. Maka, beragama tanpa menyebalkan adalah jalan tengah antara keteguhan iman dan kehalusan budi.
Wajah Sosial Keberagamaan: Dari Menasihati ke Menyayangi
Beragama bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga sosial. Ketika seseorang beragama dengan baik, seharusnya orang di sekitarnya merasa aman dan dihormati. Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa ukuran keberagamaan seseorang bukan seberapa banyak ia berbicara tentang kebenaran, melainkan sejauh mana lisannya tidak menyakiti orang lain.
Dalam era digital, tantangan ini makin besar. Banyak orang menggunakan media sosial untuk berdakwah, tetapi lupa menjaga adab. Teguran berubah menjadi celaan, nasihat berubah menjadi sindiran. Padahal, cara yang kasar sering membuat orang menjauh dari pesan yang ingin disampaikan.
Beragama tanpa menyebalkan berarti mengubah cara kita berinteraksi: dari menasihati menjadi menyayangi, dari menggurui menjadi menginspirasi. Orang yang beragama dengan cinta akan lebih mudah menyentuh hati daripada orang yang beragama dengan amarah.
Spiritualitas yang Membumi: Menghindari Keangkuhan Iman
Salah satu penyakit yang sering muncul dalam keberagamaan adalah ujub — rasa bangga berlebihan atas ketaatan sendiri. Dalam psikologi spiritual Islam, ujub bisa melahirkan sikap merendahkan orang lain yang dianggap kurang saleh.
Padahal Allah memperingatkan dalam QS. An-Najm [53]: 32:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci; Dialah yang paling mengetahui siapa yang benar-benar bertakwa.”
Ayat ini mengajarkan bahwa takwa adalah urusan batin yang hanya Allah tahu. Karena itu, beragama tanpa menyebalkan berarti tidak menjadikan ibadah sebagai alat untuk menilai orang lain.
Spiritualitas yang membumi adalah iman yang membuat seseorang rendah hati, bukan tinggi hati. Ia berusaha meneladani Nabi yang tetap tersenyum kepada siapa pun, meskipun berhadapan dengan orang yang menghina dirinya.
Beragama dengan Rasa: Menebarkan Keindahan dan Kedamaian
Beragama tanpa menyebalkan juga berarti membawa nilai estetika dalam keberagamaan: bagaimana iman diwujudkan dengan rasa, bukan hanya aturan. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl [16]: 125:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”
Ayat ini menunjukkan bahwa agama memiliki wajah indah yang harus ditunjukkan dengan cara yang indah pula. Hikmah dan kelembutan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan moral. Orang yang mampu menyampaikan kebenaran dengan cinta justru lebih berpengaruh daripada mereka yang menyampaikannya dengan kemarahan.
Dalam konteks sosial hari ini, beragama dengan rasa berarti juga peka terhadap perasaan orang lain. Tidak semua orang berada di tahap keimanan yang sama, maka pendekatan pun harus berbeda. Sebagaimana petani tidak memaksa bunga mekar sebelum waktunya, begitu pula orang beriman tidak memaksa orang lain untuk sejalan seketika.
Dakwah yang Menyentuh Hati: Dari Polemik ke Pelukan
Kita hidup di zaman yang penuh perdebatan agama. Setiap persoalan kecil bisa menjadi bahan saling serang. Padahal, dakwah sejatinya adalah mengajak, bukan memaksa. Dakwah yang menyentuh hati tidak berangkat dari niat ingin menang, melainkan ingin menenangkan.
Rasulullah ﷺ tidak pernah berdakwah dengan nada tinggi. Ketika menghadapi orang kafir Quraisy, beliau menahan amarah dan memilih doa. Ketika menghadapi orang munafik, beliau tidak membalas kebohongan dengan kebencian, melainkan dengan kebijakan.
Beragama tanpa menyebalkan berarti membawa semangat dakwah yang meneduhkan. Orang yang mendengar kita tidak merasa diserang, tetapi disapa. Orang yang berbeda pendapat tidak merasa dihakimi, tetapi didengarkan.
Dakwah seperti inilah yang membuat Islam bertahan selama berabad-abad—karena ia hadir dengan rahmat, bukan dengan ancaman.
Penutup: Menjadi Cahaya di Tengah Gelap
Beragama tanpa menyebalkan bukan berarti melemahkan prinsip, melainkan menguatkan cara. Orang yang benar-benar beriman akan menjadi cahaya di tengah gelap, bukan bara yang membakar sekitar.
Beragama bukan tentang siapa yang paling keras, tetapi siapa yang paling lembut dalam menjaga sesama. Seperti air yang menyejukkan, bukan batu yang menghantam.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ankabut [29]: 45:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”
Ibadah yang benar seharusnya memunculkan akhlak yang lembut. Bila agama membuat seseorang mudah marah dan kasar, barangkali yang salah bukan ajarannya, melainkan cara ia memahami cinta Tuhan.
Maka, marilah kita belajar beragama dengan wajah ramah — dengan iman yang lembut, dengan lisan yang menyejukkan, dan dengan hati yang luas. Karena agama yang indah adalah agama yang menghadirkan kedamaian bagi siapa pun yang melihatnya.
“Beragama bukan untuk membuktikan siapa yang paling benar, melainkan siapa yang paling membawa kebaikan.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
