Khazanah
Beranda » Berita » Beragama Bukan Tentang Siapa yang Lebih Benar

Beragama Bukan Tentang Siapa yang Lebih Benar

Dua orang berdialog damai melambangkan beragama bukan tentang siapa yang lebih benar.
Dua orang dari latar agama berbeda tersenyum dan berbincang santai di bawah sinar matahari pagi, simbol dari semangat beragama yang sehat dan rendah hati.

Surau.co. Di era ketika setiap orang memiliki panggung sendiri melalui media sosial, pembicaraan tentang agama sering kali berubah menjadi ajang adu argumen. Kita sering melihat seseorang merasa paling benar dalam memahami Tuhan, sementara yang lain dianggap keliru, sesat, bahkan kafir. Padahal, hakikat beragama yang sejati bukanlah tentang siapa yang lebih benar, melainkan tentang siapa yang lebih rendah hati dalam mencari kebenaran.

Beragama yang sehat adalah tentang perjalanan batin yang jujur, bukan perlombaan kebenaran yang kaku. Dalam kehidupan modern ini, kita perlu menata ulang cara kita memaknai iman agar tidak terjebak dalam kebanggaan spiritual yang justru menjauhkan kita dari nilai-nilai kasih dan kebijaksanaan yang diajarkan agama itu sendiri.

Menemukan Makna Beragama di Tengah Keramaian Tafsir

Setiap orang lahir di dalam tradisi tertentu, dengan pemahaman yang dibentuk oleh lingkungan, keluarga, dan budaya. Maka wajar jika cara seseorang memahami agama berbeda dari yang lain. Perbedaan ini bukan ancaman, melainkan mozaik yang memperkaya makna keberagamaan umat manusia.

Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Ilahi. Allah berfirman:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu; tetapi mereka senantiasa berselisih.” (QS. Hud: 118)

Membuat Agama Islam Seperti Gado Rasa Nusantara

Ayat ini mengajarkan bahwa perbedaan tafsir, pandangan, dan jalan spiritual adalah keniscayaan. Maka tugas manusia bukan menghapus perbedaan, melainkan mengelolanya dengan hikmah dan kasih. Imam al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

وَإِذَا تَبَيَّنَ اخْتِلَافُ النَّاسِ فِي الْفِكْرِ وَالْعَقْلِ، لَمْ يَجُزْ إِنْكَارُ مَا لَا يُعْلَمُ صِحَّتُهُ مِنْهُمْ
“Apabila telah nyata perbedaan manusia dalam berpikir dan bernalar, maka tidak pantas seseorang mengingkari pendapat orang lain yang belum ia ketahui kebenarannya.”

Terjemahan ini menegaskan adab berpikir: bahwa manusia yang berakal akan berhati-hati dalam menilai kebenaran, sebab tidak semua yang berbeda itu salah, dan tidak semua yang kita yakini pasti benar.

Antara Kebenaran dan Keberbenaran

Kebenaran hakiki adalah milik Allah semata. Yang bisa manusia lakukan hanyalah mendekati kebenaran itu dengan kejujuran niat dan kebersihan hati. Ketika seseorang beragama dengan tujuan untuk menang dalam perdebatan, bukan untuk mencari ridha Tuhan, maka ia telah kehilangan arah spiritual.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

Manfaat Memahami Makna Tauhid

مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa meninggalkan debat padahal ia di pihak yang benar, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga tertinggi.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini bukan larangan untuk berpikir kritis, tetapi peringatan agar kita tidak menjadikan debat sebagai sarana membuktikan superioritas spiritual. Karena tujuan beragama bukanlah membuktikan siapa yang paling benar di mata manusia, melainkan siapa yang paling ikhlas di hadapan Allah.

Iman yang Sehat: Antara Logika dan Cinta

Beragama dengan sehat berarti memadukan akal dan hati. Akal menuntun agar kita berpikir, sementara hati menjaga agar kita tidak sombong dalam memahami. Orang yang beragama hanya dengan logika tanpa cinta akan menjadi kering dan keras; sedangkan yang hanya beragama dengan perasaan tanpa akal akan mudah tersesat oleh emosi.

Imam al-Mawardi pernah menulis bahwa manusia tidak akan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat kecuali dengan keseimbangan antara akal dan adab. Beliau berkata:

لَا تَصْلُحُ الْحَيَاةُ إِلَّا بِالْعَقْلِ وَالْأَدَبِ، فَإِذَا فَقَدَ أَحَدَهُمَا صَارَ نَاقِصًا
“Kehidupan tidak akan menjadi baik kecuali dengan akal dan adab; jika salah satunya hilang, maka manusia menjadi kurang sempurna.”

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Kesehatan beragama bukan diukur dari seberapa keras kita menegakkan identitas, tetapi dari seberapa dalam kita memahami esensinya. Iman yang matang tidak berteriak, ia menenangkan. Ia tidak menilai orang lain, tapi menata dirinya sendiri.

Kesalahan dalam Beragama: Ketika Ego Menyamar Jadi Iman

Salah satu bahaya terbesar dalam beragama adalah ketika ego menyamar menjadi iman. Orang bisa beribadah, berdakwah, bahkan menolong orang lain, tetapi dalam hatinya terselip niat ingin dipuji.

Doa dan ibadah kehilangan makna ketika hanya menjadi sarana pembuktian sosial. Padahal, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, beragama dengan sehat berarti menata niat, bukan sekadar memperbanyak simbol. Kita tidak perlu menjadi orang paling banyak bicara tentang Tuhan, cukup menjadi orang yang paling jujur mencari Tuhan dalam diam.

Dialog, Bukan Monolog Spiritual

Dalam masyarakat modern, sering kali agama berubah menjadi monolog: kita hanya mau mendengar suara kita sendiri. Padahal agama menuntut adanya dialog — baik dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan.

Dialog dengan sesama berarti terbuka terhadap pandangan orang lain. Dialog dengan Tuhan berarti mendengarkan suara nurani yang tumbuh dari keheningan doa. Kedua dialog itu penting untuk menjaga agar keimanan tetap hidup dan manusiawi.

Al-Qur’an bahkan mengajarkan cara berdialog yang lembut. Ketika Allah memerintahkan Musa untuk berbicara kepada Firaun, yang dikenal kejam dan sombong, Allah berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44)

Jika kepada seorang Firaun saja kita diajarkan kelembutan, apalagi kepada sesama umat manusia.

Kesehatan Spiritual di Zaman Bising

Di zaman ketika agama mudah dijadikan konten, beragama dengan sehat menjadi tantangan tersendiri. Banyak orang membangun citra saleh di depan kamera, tapi lupa membangun keikhlasan di hadapan Tuhan.

Beragama yang sehat menuntut keseimbangan antara tampilan dan substansi, antara aktivitas sosial dan perenungan batin. Dalam dunia yang bising ini, diam bisa menjadi bentuk doa yang paling dalam.

Kita perlu kembali belajar mendengarkan — bukan hanya mendengar khotbah, tetapi juga mendengar hati kita sendiri. Karena sering kali, Tuhan berbicara lewat suara hati yang paling halus, yang hanya bisa didengar ketika kita berhenti ingin terlihat benar.

Penutup: Agama Adalah Jalan Pulang

Beragama bukan tentang siapa yang lebih benar, tapi siapa yang lebih tulus berjalan menuju kebenaran. Kebenaran bukan trofi yang bisa dipegang, tapi cahaya yang terus kita kejar dengan rendah hati.

Agama adalah jalan pulang — bukan arena lomba. Di ujung perjalanan, kita tidak akan ditanya seberapa sering kita memenangkan perdebatan, tapi seberapa dalam kita berusaha menjadi manusia yang baik.

Maka, mari beragama dengan tenang, dengan cinta, dan dengan kejujuran. Sebab pada akhirnya, yang akan mengenal siapa yang benar hanyalah Dia, Sang Maha Benar.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.