Khazanah
Beranda » Berita » Membahas Tuhan Jangan Karena Trending Topic

Membahas Tuhan Jangan Karena Trending Topic

Ilustrasi seorang pria yang merenung di depan layar laptop bertuliskan “Tuhan”, melambangkan perenungan mendalam tentang makna ketuhanan
Seorang pria duduk di depan laptop di ruangan gelap, dengan satu cahaya lembut menerangi wajahnya yang termenung. Di layar, tampak tulisan "Tuhan" bersinar lembut. Gambar menggambarkan refleksi, bukan sensasi.

Surau.co. Dalam era media sosial yang bising, nama Tuhan semakin sering muncul dalam obrolan publik — dari cuitan, podcast, hingga konten video. Ironisnya, sebagian pembahasan tentang Tuhan bukan lagi lahir dari keinginan mendalam untuk mengenal-Nya, melainkan sekadar mengikuti arus trending topic.

Kalimat “membahas Tuhan jangan karena trending topic” bukan sekadar nasihat moral, tapi peringatan etis. Sebab, membicarakan Tuhan tanpa ilmu dan adab bisa berujung pada kesalahpahaman, bahkan pelecehan terhadap nilai-nilai ketuhanan itu sendiri.

Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isra [17]: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa berbicara tentang sesuatu — apalagi tentang Tuhan — tanpa ilmu adalah kesalahan serius. Karena setiap kata yang keluar tentang-Nya bukan sekadar pendapat, tetapi cerminan keyakinan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Membahas Tuhan Bukan untuk Viral

Masyarakat digital hari ini cenderung mengukur nilai suatu ide dari seberapa banyak likes dan views yang didapat. Tak jarang, bahkan topik yang seharusnya sakral — seperti Tuhan, iman, dan agama — dijadikan bahan diskusi ringan untuk menarik perhatian publik.
Padahal, membahas Tuhan bukan tentang siapa yang paling berani berspekulasi, tapi siapa yang paling rendah hati dalam memahami-Nya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ قَالَ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَقَدْ كَفَرَ
“Barang siapa berbicara tentang Allah tanpa ilmu, maka sungguh ia telah kafir.”
(HR. Ahmad)

Hadis ini tidak dimaksudkan untuk menakuti, tetapi untuk menanamkan rasa tanggung jawab. Tuhan bukan topik debat; Ia adalah sumber makna hidup. Maka, membicarakan Tuhan hanya demi viralitas sama saja dengan mempermainkan kesucian.

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn berkata:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

وَمِنْ سُوءِ الأَدَبِ أَنْ يَتَكَلَّمَ الْمَرْءُ فِي مَا لَا يُحْسِنُهُ
“Termasuk keburukan adab adalah seseorang berbicara tentang sesuatu yang tidak ia pahami.”

Berbicara tentang Tuhan tanpa pemahaman mendalam berarti menghapus adab ilmu itu sendiri.

Ketika Ilmu Digantikan Opini

Salah satu gejala zaman ini adalah menganggap semua orang berhak bicara tentang segalanya. Ruang digital memanjakan kita untuk berkomentar cepat tanpa berpikir panjang. Namun, dalam hal ketuhanan, kebebasan bicara tidak bisa menggantikan kedalaman ilmu.
Membahas Tuhan tanpa ilmu ibarat mengukur lautan dengan genggaman tangan. Kita hanya menangkap setetes, lalu merasa tahu segalanya.

Padahal, para ulama terdahulu mempelajari teologi dengan penuh kehati-hatian. Mereka memulai dengan adab, bukan perdebatan. Dalam Islam, berbicara tentang sifat-sifat Allah memerlukan ketundukan, bukan keberanian semata.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

تَفَكَّرُوا فِي خَلْقِ اللَّهِ وَلَا تَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ فَإِنَّكُمْ لَنْ تَقْدِرُوا قَدْرَهُ
“Renungkanlah ciptaan Allah, tetapi janganlah kalian memikirkan (hakikat) Dzat Allah, karena kalian tidak akan mampu menjangkaunya.”
(HR. Abu Nu‘aim)

Hadis ini menunjukkan bahwa membahas Tuhan bukan wilayah spekulasi bebas. Ada batas antara berpikir dan berandai-andai. Menyentuh wilayah ketuhanan tanpa panduan ilmu seperti menatap matahari langsung — silau dan menyesatkan.

Bahaya Menjadikan Tuhan Sebagai Konten

Ketika pembicaraan tentang Tuhan dipakai untuk membangun popularitas, nilai-nilai keikhlasan mulai terkikis. Kata-kata tentang iman kehilangan ruh, berubah menjadi wacana yang dangkal. Banyak yang berbicara seolah tahu hakikat Tuhan, padahal tidak paham siapa diri mereka sendiri.

Allah ﷻ berfirman:

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia, sedang mereka lalai terhadap kehidupan akhirat.”
(QS. Ar-Rum [30]: 7)

Ayat ini menggambarkan manusia yang cerdas secara teknis, tapi miskin makna. Mereka bisa berbicara panjang tentang konsep ketuhanan, namun tanpa rasa tunduk.

Di titik ini, kita perlu bertanya: apakah tujuan membahas Tuhan untuk mencari kebenaran atau sekadar perhatian? Sebab, di antara keduanya ada jurang besar — yang satu mengantar pada cahaya, yang lain menjerumuskan ke kesombongan.

Tuhan Tidak Butuh Dibela, Tapi Dipahami

Banyak orang membela Tuhan di media sosial dengan emosi tinggi. Namun, membela Tuhan tanpa pemahaman hanya akan memperkeruh suasana. Allah tidak butuh pembelaan, karena Dia Mahakuasa. Justru manusialah yang butuh belajar bagaimana beradab dalam membicarakan-Nya.

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

مِنْ حُسْنِ الدِّينِ أَنْ يَكُونَ الْعَقْلُ مِفْتَاحَ الْفَهْمِ وَالْعِلْمُ دَلِيلَ التَّعَبُّدِ
“Termasuk kesempurnaan agama adalah menjadikan akal sebagai kunci pemahaman dan ilmu sebagai penuntun dalam beribadah.”

Artinya, membahas Tuhan seharusnya mengantarkan kita kepada kekaguman dan penyembahan, bukan perdebatan kosong. Ketika seseorang memahami Tuhan dengan hati dan ilmu, ia tidak akan sibuk mempersoalkan siapa yang benar, tapi lebih sibuk memperbaiki dirinya.

Menjaga Adab dalam Bicara tentang Tuhan

Berbicara tentang Tuhan adalah bentuk ibadah. Maka, sebagaimana ibadah, ia harus dilakukan dengan adab. Para ulama terdahulu selalu memulai pembicaraan tentang Allah dengan dzikir dan kerendahan hati. Mereka sadar, kata-kata bisa membawa pahala atau dosa.

Allah ﷻ berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”
(QS. Qaf [50]: 18)

Artinya, setiap kalimat tentang Tuhan harus melewati dua penyaringan: pengetahuan dan keikhlasan. Jangan hanya karena ingin terlihat bijak atau relevan, lalu berani bicara tentang yang tidak dipahami.

Dalam Islam, diam karena tidak tahu sering kali lebih mulia daripada bicara tanpa ilmu. Orang yang berilmu sejati justru takut salah menyebut nama Tuhan, karena ia sadar betapa besar tanggung jawab di baliknya.

Ngaji Dulu Sebelum Bicara tentang Tuhan

Membahas Tuhan butuh bimbingan. Itulah mengapa dalam tradisi Islam, seseorang tidak belajar teologi langsung dari buku, tetapi melalui guru yang memahami sanad keilmuan. Tujuannya bukan untuk membatasi berpikir, tetapi untuk menjaga agar pembahasan tetap dalam koridor adab.

Ulama besar seperti Imam al-Ghazali, al-Maturidi, dan al-Ash‘ari mengajarkan bahwa mengenal Tuhan bukan semata soal logika, tapi juga soal hati yang dibersihkan dari kesombongan. Tanpa adab hati, ilmu setinggi apa pun hanya melahirkan debat, bukan kedekatan dengan Allah.

Allah ﷻ berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. An-Nahl [16]: 43)

Ayat ini bukan hanya perintah bertanya, tapi juga anjuran untuk belajar dari sumber yang benar. Ngaji — belajar dengan niat memahami, bukan mengomentari — adalah jalan terbaik untuk membahas Tuhan dengan hormat.

Penutup: Mengenal Tuhan, Bukan Menjadi Ahli Bicara Tentang-Nya

Membahas Tuhan bukan tentang mencari kata yang paling indah, tapi tentang mencari kedekatan yang paling tulus. Dalam setiap diskusi tentang-Nya, yang utama bukan siapa yang menang berdebat, tapi siapa yang semakin tunduk dan beradab.

Tuhan tidak menuntut kita menjadi pakar retorika, melainkan menjadi hamba yang jujur dalam mencari kebenaran. Maka, sebelum membahas Tuhan karena trending topic, tanyakan dulu pada diri sendiri: apakah aku ingin dikenal orang, atau ingin dikenal oleh Tuhan?

“Semakin dalam seseorang mengenal Tuhan, semakin ia memilih diam. Sebab dalam diamnya ada pengakuan: bahwa yang terbatas takkan mampu menjangkau Yang Maha Tak Terbatas.”

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement