SURAU.CO-Imam Malik tampil sebagai penjaga Tradisi Madinah dan pelita adab dalam fiqih Islam. Imam Malik membangun otoritas keilmuan melalui penghormatan mendalam kepada sunnah, sehingga tradisi hidup Nabi melekat kuat dalam pemikiran beliau. Sejak awal, beliau menolak memisahkan hukum dari akhlak, karena menurutnya aturan agama menuntun karakter, bukan sekadar membentuk perilaku legalistik. Oleh sebab itu, beliau menekankan bahwa hati yang jernih dan adab yang halus merupakan syarat untuk memahami hukum Allah secara penuh. Dengan begitu, murid-murid beliau menyaksikan langsung bagaimana ilmu bersinar melalui keteladanan, bukan hanya melalui naskah.
Sejak muda, beliau belajar dari tabi’in yang mewarisi ilmu sahabat, sehingga jalur keilmuannya bersambung secara autentik kepada generasi awal Islam. Karena itu, pendekatannya menonjolkan kehati-hatian, ketelitian sanad, dan penghargaan mendalam terhadap praktik masyarakat Madinah. Selain itu, beliau memadukan penalaran fiqih dengan jiwa spiritual, sehingga ilmu tidak berdiri kaku, melainkan mengalir lembut dalam kehidupan umat. Ketika menyusun Al-Muwaththa, beliau menyaring ribuan riwayat dan hanya memilih yang memenuhi standar hadis serta praktik Madinah. Dengan demikian, karya itu menjadi rujukan otoritatif yang memancarkan keseimbangan antara ketegasan hukum dan kelembutan adab.
Selain menonjolkan kedalaman ilmiah, beliau juga menampilkan integritas moral luar biasa. Ketika dunia ilmiah waktu itu penuh perdebatan dan kebisingan argumentatif, Imam Malik tetap menjaga ketenangan dan kehormatan majelis ilmu. Bahkan, beliau selalu berwudhu dan mengenakan pakaian terbaik sebelum mengajar hadis, seperti sedang bertemu Rasulullah. Selain menjaga etika lahiriah, beliau melatih murid agar menghormati sesama, menahan ego, serta memilih kata yang santun dalam diskusi. Dengan cara itu, suasana ilmu terasa teduh dan penuh khidmat, sehingga setiap orang merasakan syiar kemuliaan akhlak dalam belajar agama.
Tradisi Madinah dan Prinsip Hukum Mazhab Maliki
Lebih jauh lagi, beliau menolak ketergesa-gesaan dalam berfatwa. Meskipun banyak orang meminta pendapatnya, beliau sering mengatakan “Aku tidak tahu” untuk menjaga amanah ilmu. Karena kesadaran itu, masyarakat menghargai keteguhan beliau dan memahami bahwa kehati-hatian lebih mulia daripada keberanian tanpa dasar. Sikap ini mengajarkan bahwa kebenaran bukan hanya tentang jawaban cepat, tetapi juga tentang ketepatan, ketulusan, dan kejujuran ilmiah. Oleh karenanya, warisan beliau melampaui teks dan memasuki wilayah etika spiritual dalam beragama.
Dengan menjadikan praktik penduduk Madinah sebagai dasar hukum, beliau memastikan fiqih tidak terlepas dari kehidupan nyata umat. Pendekatan Tradisi Madinah memastikan ajaran Nabi mengalir dalam perilaku sehari-hari, bukan hanya tertulis di kitab. Selain itu, metode ini menciptakan harmoni antara teks suci dan sosial budaya, sehingga agama terasa hidup dan selaras dengan masyarakat. Karena pendekatan ini terbukti efektif, mazhab Maliki berkembang di wilayah yang menekankan keseimbangan moral, seperti Afrika Utara dan Andalusia.
Adab Ilmu dan Relevansi Zaman Modern
Beliau juga mempertahankan kebebasan ilmiah ketika penguasa ingin menyeragamkan syariat melalui satu kitab resmi negara. Dengan penuh keberanian, beliau menolak permintaan itu dan mengatakan bahwa keragaman pendapat adalah rahmat. Karena sikap itu, umat memahami pentingnya pluralitas dalam berpikir, serta bahaya pemaksaan dalam urusan agama. Sampai sekarang, sikap beliau menjadi teladan bagi siapa pun yang menginginkan kebebasan intelektual dalam Islam. Selain mempertahankan prinsip, beliau mengajarkan strategi elegan: tegas, tetapi tetap sopan dan tanpa konflik destruktif.
Melalui ajaran tentang ketenangan, kesantunan, dan penghormatan kepada ilmu, Imam Malik membentuk murid yang tidak hanya cerdas, tetapi juga lembut hati. Karena relevansinya, prinsip beliau menginspirasi pembentukan karakter masyarakat Muslim masa kini yang menghadapi tekanan digital, kecepatan informasi, dan ketegangan sosial. Selain itu, umat dapat mengambil hikmah bahwa pemahaman agama membutuhkan kejernihan batin, bukan sekadar hafalan. Dengan demikian, fiqih hadir sebagai jalan peradaban, bukan alat untuk menang berdebat. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
