Surau.co. Beragama adalah kebutuhan dasar manusia, bukan sekadar identitas sosial atau simbol keanggotaan kelompok. Di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi pandangan keagamaan, muncul pertanyaan penting: bagaimana cara beragama yang sehat? Sehat dalam konteks ini bukan hanya bebas dari fanatisme sempit, tetapi juga berarti beragama dengan kesadaran, keseimbangan, dan kasih sayang.
Beragama yang sehat tidak diukur dari seberapa keras seseorang bersuara tentang kebenaran, melainkan seberapa dalam ia memahami esensi ibadah, kemanusiaan, dan akhlak. Dalam masyarakat modern yang serba cepat, kesehatan beragama menjadi fondasi penting agar manusia tidak kehilangan arah spiritual di tengah hiruk-pikuk dunia.
Beragama Sebagai Jalan Kesadaran
Beragama yang sehat berawal dari kesadaran, bukan sekadar kebiasaan. Kesadaran ini tumbuh ketika manusia memahami bahwa agama bukan beban, melainkan petunjuk hidup yang membebaskan dari kesesatan batin.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
﴿ لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ﴾
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Ayat ini menegaskan bahwa keberagamaan harus tumbuh dari hati yang sadar, bukan dari tekanan sosial atau rasa takut. Ketika seseorang beragama dengan sadar, ia memahami bahwa setiap ibadah memiliki makna yang menyehatkan jiwa: shalat mendidik disiplin, zakat menumbuhkan empati, puasa menata hawa nafsu, dan haji menguatkan kesetaraan.
Kesadaran spiritual ini menjadikan agama bukan alat untuk menilai orang lain, tetapi cermin untuk memperbaiki diri. Orang yang beragama dengan sehat tidak sibuk menghakimi, tetapi sibuk menata batin agar tetap jernih.
Menjaga Keseimbangan antara Ibadah dan Kehidupan
Beragama yang sehat juga berarti menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Banyak orang salah paham bahwa semakin banyak ibadah ritual otomatis berarti semakin tinggi derajat spiritual. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan antara dimensi lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, tubuhmu memiliki hak atasmu, dan keluargamu memiliki hak atasmu. Maka berikanlah kepada setiap yang berhak akan haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah tidak berarti menafikan kebutuhan jasmani atau hubungan sosial. Orang yang sehat secara spiritual tidak mengabaikan keluarga demi ibadah, dan tidak pula meninggalkan ibadah karena sibuk dengan dunia. Ia mengatur waktunya agar ibadah menjadi sumber energi dalam bekerja dan berinteraksi.
Imam al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menjelaskan:
وَأَفْضَلُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا، فَإِنَّ كُلَّ إِفْرَاطٍ مَذْمُومٌ، وَكُلَّ تَفْرِيطٍ مَحْظُورٌ
“Yang paling utama dari segala urusan adalah yang berada di tengah-tengahnya, karena setiap sikap berlebihan tercela, dan setiap kekurangan terlarang.”
Terjemahan ini menunjukkan bahwa keseimbangan adalah kunci dalam menjalani kehidupan beragama. Tidak ekstrem, tidak pula acuh.
Menyembuhkan Diri dari Fanatisme
Salah satu penyakit yang merusak cara beragama adalah fanatisme buta. Fanatisme muncul ketika seseorang mencintai kelompok atau pandangannya melebihi kebenaran itu sendiri. Ia menutup telinga dari pandangan lain dan menolak berdialog.
Fanatisme membuat seseorang kehilangan empati dan menjadikan agama sebagai alat perpecahan, bukan persatuan. Padahal, Allah berfirman:
﴿ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ﴾
“Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran [3]: 103)
Ayat ini mengingatkan bahwa kekuatan umat terletak pada persaudaraan dan saling menghormati, bukan pada kemenangan ego kelompok.
Beragama yang sehat berarti mampu menerima perbedaan tanpa kehilangan prinsip. Ia tidak menilai keimanan orang lain hanya dari simbol, melainkan dari perilaku dan akhlaknya. Orang yang sehat imannya tahu bahwa rahmat Allah lebih luas dari tafsirannya sendiri.
Menumbuhkan Akhlak Sebagai Wujud Iman
Beragama tanpa akhlak ibarat tubuh tanpa jiwa. Akhlak adalah bukti nyata dari keimanan. Orang yang rajin beribadah tapi kasar dalam ucapan, mudah marah, atau sombong, sesungguhnya sedang kehilangan esensi agama itu sendiri.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Hadits ini menegaskan bahwa inti dari risalah kenabian adalah pembentukan karakter yang baik. Orang yang beragama secara sehat tidak hanya berbicara tentang halal dan haram, tetapi juga tentang adab, kejujuran, dan kasih sayang.
Dalam kehidupan modern, akhlak yang baik menjadi bentuk dakwah paling efektif. Satu tindakan jujur, satu senyum tulus, atau satu kebaikan kecil seringkali lebih kuat dari seribu ceramah.
Beragama di Era Digital
Di era digital, cara beragama sering kali terjebak dalam tampilan. Banyak orang menilai kesalehan dari seberapa sering seseorang membagikan ayat, kutipan, atau foto ibadah di media sosial. Padahal, agama tidak menuntut publikasi, tetapi penghayatan.
Sehat dalam beragama di era digital berarti mampu menahan diri dari riya dan menjaga niat tetap murni. Kita boleh menggunakan teknologi untuk menyebarkan kebaikan, tetapi tidak untuk mencari pengakuan.
Imam al-Mawardi mengingatkan dalam kitabnya:
وَالنِّيَّةُ سِرٌّ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ، لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهَا أَحَدٌ
“Niat adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.”
Kesehatan spiritual di zaman ini ditentukan oleh kemampuan menjaga niat. Orang yang beragama dengan niat yang tulus akan tetap tenang, meski tak terlihat sibuk di layar dunia maya.
Menjaga Ketenangan, Menghindari Keras Hati
Ciri lain dari beragama yang sehat adalah hati yang lembut. Orang yang terlalu keras dalam beragama biasanya kehilangan kelembutan, padahal kelembutan adalah bagian dari iman.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu melainkan menghiasinya, dan tidak dicabut dari sesuatu melainkan memperburuknya.” (HR. Muslim)
Orang yang beragama secara sehat tidak menegur dengan marah, tidak mengajar dengan ejekan, dan tidak menasihati dengan caci maki. Ia memahami bahwa agama tumbuh dalam hati yang lembut, bukan dalam ketakutan.
Kelembutan inilah yang menjadi tanda orang beriman sejati. Ia tidak sibuk memperlihatkan kesalehan, tetapi diam-diam menanam kebaikan.
Penutup: Menyembuhkan Iman, Menyehatkan Jiwa
Beragama yang sehat bukan soal banyaknya hafalan atau lamanya ibadah, melainkan soal keseimbangan, ketulusan, dan kelembutan hati. Orang yang beragama dengan sehat sadar bahwa agama bukan beban, tetapi jalan menuju ketenangan.
Ia beribadah bukan untuk terlihat suci, melainkan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Ia berdialog tanpa menghina, menasihati tanpa menggurui, dan menolong tanpa pamrih.
Di akhir hari, beragama yang sehat akan memantulkan ketenangan pada wajah dan kesejukan dalam hati. Karena sejatinya, iman yang sehat bukan hanya membuat seseorang dekat dengan Tuhan, tetapi juga menjadikannya rahmat bagi sesama.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
