Khazanah
Beranda » Berita » Kalau Sabar Itu Berat, Ya Emang

Kalau Sabar Itu Berat, Ya Emang

Seorang Muslim duduk tenang di tengah hujan, melambangkan beratnya sabar yang penuh makna.
Seorang laki-laki duduk di bawah pohon saat hujan, dengan tenang meski badai datang. Cahaya lembut menerobos awan, menggambarkan harapan di tengah kesabaran.

Surau.co. Setiap kali seseorang mengalami ujian, nasihat yang paling sering terdengar adalah: “Sabar, ya.” Kata itu sederhana, tapi bebannya kadang luar biasa. Sabar bukan sekadar menahan diri dari marah atau mengeluh, tapi juga menjaga hati agar tetap tenang di tengah badai. Maka benar saja, kalau sabar itu berat — ya memang berat.

Allah sendiri tidak pernah menggambarkan sabar sebagai perkara mudah. Dalam Al-Qur’an, sabar selalu dikaitkan dengan ujian, penderitaan, dan keteguhan. Allah berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh, Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)

Ayat ini tegas: sabar bukan hadiah yang datang di awal, tapi buah dari ujian panjang. Maka ketika sabar terasa berat, itu tanda bahwa kita sedang benar-benar belajar menjadi kuat.

Sabar: Antara Ujian dan Kedewasaan

Sabar bukan sekadar bertahan, tapi juga cara mendewasakan diri. Orang yang sabar tidak hanya menunda amarah, tapi juga menata batin agar tidak dikendalikan oleh luka. Dalam sabar, seseorang belajar bahwa tidak semua harus diselesaikan dengan tergesa. Ada hal-hal yang butuh waktu, seperti pohon yang baru berbuah setelah akar menancap dalam.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

وَالصَّبْرُ مِنْ أَشْرَفِ أَخْلَاقِ النُّفُوسِ، لِأَنَّهُ يَكُفُّهَا عَنِ الْجَزَعِ وَيَحْمِلُهَا عَلَى التَّحَمُّلِ.
“Sabar termasuk akhlak jiwa yang paling mulia, karena ia menahan diri dari keluh kesah dan mengajarkan keteguhan dalam menghadapi beban.”

Sabar bukan soal tidak merasakan sakit, tapi kemampuan untuk tidak diperbudak oleh rasa sakit itu. Ketika seseorang bisa tetap tenang di tengah kesedihan, ia sedang membangun kedewasaan spiritual. Sabar, dengan demikian, adalah latihan jiwa — bukan sekadar kemampuan bertahan, melainkan kesanggupan untuk tetap berbuat baik ketika hidup tidak bersahabat.

Kalau Sabar Itu Berat, Ya Karena Pahala-Nya Besar

Tidak ada yang gratis dalam hidup, apalagi dalam ibadah. Sabar terasa berat justru karena nilainya sangat tinggi. Allah menegaskan dalam firman-Nya:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan diberi pahala tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ayat ini menjadi pelipur lara bagi siapa pun yang sedang menahan perih. Pahala sabar tidak terukur karena kesulitannya pun tak terukur. Maka wajar jika sabar itu berat, sebab yang ringan tidak akan mengantar seseorang pada derajat tinggi.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beratnya sabar justru menjadi tanda kemuliaannya. Seperti emas yang harus dibakar agar bersinar, manusia pun diuji agar sabarnya menjadi cahaya. Siapa pun yang sabar sedang memahat jiwanya sendiri menjadi lebih kuat dan berharga.

Menahan Bukan Berarti Diam

Banyak orang salah paham: mengira sabar berarti diam. Padahal, sabar bukan pasrah tanpa usaha. Sabar adalah menahan diri dari reaksi emosional, sembari tetap berbuat sesuai kebenaran. Orang sabar tidak berhenti berjuang; ia hanya memilih cara yang bijak untuk melangkah.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Sabar tidak bertentangan dengan tindakan. Nabi Yusuf عليه السلام adalah contoh nyata. Saat difitnah dan dipenjara, beliau tidak membalas dengan kebencian, tapi terus menunjukkan kebaikan dan integritas. Dari kesabarannya, Allah membalikkan keadaan: dari tahanan menjadi penguasa Mesir.

Itulah makna sejati sabar — menahan diri dari keburukan, bukan dari kebaikan. Sabar menuntut kita untuk bertindak dengan kepala dingin dan hati bersih, bukan diam dalam keputusasaan. Karena itu, sabar sejati adalah harmoni antara menahan dan melangkah.

Sabar dalam Tiga Dimensi Kehidupan

Para ulama menjelaskan bahwa sabar terbagi dalam tiga bentuk utama:

  1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah,
  2. Sabar dalam menjauhi maksiat, dan
  3. Sabar menghadapi takdir yang menyakitkan.

Ketiganya saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan spiritual.

Sabar dalam ketaatan berarti konsisten beribadah meski tubuh lelah dan hati kadang malas. Sabar dalam menjauhi maksiat berarti menahan diri dari godaan yang menggoda mata dan hati. Sedangkan sabar terhadap takdir adalah menerima dengan lapang dada hal-hal yang tidak bisa kita ubah.

Imam al-Māwardī menerangkan:

وَكَمَا يَكُونُ الصَّبْرُ عَنْ الْمَكْرُوهِ فَضْلًا، فَالصَّبْرُ عَلَى الطَّاعَةِ أَفْضَلُ.
“Sebagaimana sabar atas hal yang tidak disukai adalah kemuliaan, maka sabar dalam menjalankan ketaatan adalah kemuliaan yang lebih tinggi.”

Jadi, sabar tidak hanya dibutuhkan ketika kita sedang terluka, tapi juga saat kita menapaki jalan kebaikan. Kadang sabar yang paling berat justru bukan saat kita jatuh, tapi saat kita harus terus berjalan dalam kebaikan meski tak ada yang melihat.

Mengelola Rasa, Bukan Menyembunyikannya

Sabar bukan menekan emosi hingga mati rasa. Justru, sabar mengajarkan kita untuk mengenali emosi tanpa dikuasai olehnya. Orang sabar tetap bisa sedih, marah, atau kecewa, tetapi ia tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam.

Rasulullah ﷺ adalah teladan dalam hal ini. Beliau juga pernah bersedih, marah, dan menangis. Namun, beliau tidak membiarkan emosinya menguasai akal dan akhlaknya. Dalam satu hadis disebutkan:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِندَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, tetapi yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sabar sejati adalah kemampuan mengelola perasaan tanpa kehilangan arah. Orang sabar tahu kapan harus melangkah, kapan harus menunggu, dan kapan harus berserah. Ia tidak menolak kenyataan, tapi juga tidak tenggelam di dalamnya. Itulah seni hidup yang halus dan dalam.

Ketika Sabar Jadi Jalan Pulang

Setiap ujian hidup, sekeras apa pun, sebenarnya adalah undangan lembut dari Tuhan untuk mendekat. Kesulitan membuat kita menengadah, luka membuat kita berdoa, dan kesabaran mengembalikan kita ke jalan pulang.

Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153)

Kalimat pendek ini mengandung penghiburan besar: ketika semua orang pergi, Allah tetap ada bagi yang sabar. Maka, sabar bukan hanya tentang menahan, tapi juga tentang merasa ditemani. Beratnya sabar menjadi ringan ketika disertai keyakinan bahwa Allah tidak pernah jauh.

Sabar juga mengajarkan keikhlasan. Dalam diam dan air mata, seseorang belajar menyerahkan yang tak bisa dikendalikan. Ia berhenti bertanya “kenapa aku?” dan mulai berkata “karena Engkau, ya Allah.” Saat itu, sabar berubah menjadi cinta.

Penutup: Sabar, Sebuah Keindahan yang Tersembunyi

Kalau sabar itu berat, ya memang. Tapi di balik beratnya, tersimpan keindahan yang tidak terlihat oleh mata, hanya bisa dirasakan oleh hati. Sabar adalah seni menundukkan ego, seni mempercayai waktu, dan seni menyembuhkan diri dengan harapan.

Kesabaran membuat manusia lembut tanpa kehilangan kekuatan. Ia mengajarkan kita bahwa tidak semua harus segera dimengerti, cukup dijalani dengan iman.

“Karena sabar bukan berarti diam tanpa harap, tapi berjalan pelan menuju cahaya, meski kaki gemetar oleh luka.”

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement