Khazanah
Beranda » Berita » Biar Gak Cuma Salat, Tapi Juga Selamat

Biar Gak Cuma Salat, Tapi Juga Selamat

Seorang Muslim bersujud dalam cahaya lembut, melambangkan salat yang membawa keselamatan.
Seorang Muslim sedang sujud di ruang sederhana dengan cahaya matahari pagi menembus jendela, memantul lembut di lantai. Nuansa hangat, damai, dan reflektif. Gaya: Realistik, nyeni, bernuansa spiritual-filosofis.

Surau.co. Kita semua tahu pentingnya salat. Lima kali sehari kita rukuk dan sujud, menundukkan diri di hadapan Sang Pencipta. Tapi, apakah cukup dengan itu? Banyak orang salat, tapi tak semua menemukan keselamatan dalam hidupnya. Karena ternyata, tidak semua yang salat, benar-benar “selamat” dari perangai buruk, kebohongan, atau kesombongan.

Salat bukan hanya kewajiban ritual, melainkan latihan spiritual agar manusia hidup lebih baik. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 45)

Ayat ini menjadi tolok ukur sederhana: kalau salat kita belum mencegah keburukan, berarti masih ada yang kurang. Maka, beragama bukan sekadar “melakukan gerakan”, tapi juga membangun kesadaran agar kita benar-benar selamat — dari ego, dosa, dan kelalaian.

Salat yang Hidup, Bukan Sekadar Gerak

Salat yang hidup bukan sekadar serangkaian bacaan dan gerakan, tapi pengalaman rohani yang menumbuhkan kesadaran diri. Orang yang salatnya hidup akan merasa diawasi Allah dalam setiap langkahnya. Ia tidak mudah marah, tidak tergesa menghakimi, dan selalu berusaha jujur dalam ucapan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ
“Barang siapa yang salatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka tidak ada salat baginya.” (HR. Ath-Thabrani)

Hadis ini menampar kita dengan lembut. Ia tidak bermaksud merendahkan ibadah, tetapi mengingatkan: salat tanpa kesadaran hanyalah gerak tanpa arah. Ibadah yang sejati adalah ketika hati ikut rukuk bersama badan, ketika jiwa ikut sujud bersama dahi.

Salat yang hidup akan mengubah cara seseorang berinteraksi. Ia tidak hanya tekun berdoa di sajadah, tetapi juga berbuat baik di jalan, di tempat kerja, dan di rumah. Itulah salat yang menuntun menuju keselamatan — bukan hanya di masjid, tapi juga di kehidupan nyata.

Dari Ritual ke Etika: Jalan Keselamatan Sejati

Banyak orang mengira bahwa keselamatan cukup dengan banyaknya ibadah. Padahal, ibadah tanpa akhlak adalah rumah tanpa pondasi. Nabi ﷺ menegaskan:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)

Ibadah seharusnya melahirkan akhlak, bukan kesombongan. Orang yang benar-benar memahami salat tidak akan menilai orang lain hanya dari tampilan luar, tetapi dari kebaikan yang ia tebarkan. Keselamatan sejati tidak berhenti di tikar sajadah, tetapi meluas di dunia nyata — di pasar, di sekolah, di media sosial, dan dalam setiap interaksi manusia.

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

لَا تَكْمُلُ سَعَادَةُ الْمَرْءِ فِي دِينِهِ حَتَّى يَكْمُلَ عَقْلُهُ وَيَسْتَقِيمَ خُلُقُهُ.
“Kebahagiaan seseorang dalam agamanya tidak akan sempurna hingga akalnya matang dan akhlaknya lurus.”

Artinya, keselamatan bukan hanya tentang hubungan dengan Tuhan, tetapi juga hubungan dengan sesama. Salat tanpa akhlak ibarat pohon tanpa buah: rindang tapi tak memberi manfaat.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Salat sebagai Cermin Integritas

Salat lima waktu mengajarkan disiplin, kejujuran, dan ketepatan. Orang yang menepati waktu salat seharusnya juga menepati janji dan tanggung jawabnya. Maka, jika seseorang rajin salat tapi masih suka menipu, salatnya belum benar-benar menembus hati.

Salat juga mengajarkan kesetaraan. Dalam rukuk dan sujud, semua manusia sama di hadapan Allah. Tidak ada pejabat, rakyat, kaya, atau miskin — semua menunduk di tanah yang sama. Maka, orang yang benar-benar memahami salat tidak akan sombong, karena setiap hari ia mengingat bahwa semua manusia berasal dan akan kembali ke tanah.

Namun sayangnya, banyak orang salat tapi lupa maknanya. Mereka tekun di sajadah, tapi lalai di masyarakat. Padahal, jika salat dilakukan dengan hati yang hadir, setiap gerakannya adalah pengingat untuk berlaku adil, sabar, dan rendah hati.

Ketulusan: Nafas Ibadah yang Menyelamatkan

Keselamatan dalam beragama lahir dari ketulusan. Ibadah tanpa ketulusan hanyalah rutinitas kosong. Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

Ketulusan menjadikan ibadah terasa ringan, bukan beban. Orang yang tulus beribadah tidak salat karena takut neraka atau berharap pujian, tetapi karena rindu pada Tuhannya. Ia merasa aman di hadapan Allah, karena tahu, yang dinilai bukan banyaknya gerakan, tapi kedalaman makna.

Imam al-Māwardī mengingatkan:

إِذَا صَلَحَتِ النِّيَّةُ صَلَحَ الْعَمَلُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْعَمَلُ.
“Jika niatnya baik, maka amalnya baik; jika niatnya rusak, maka amalnya pun rusak.”

Keselamatan sejati lahir dari niat yang jernih. Salat yang tulus akan memancar menjadi perilaku yang menyejukkan, bukan hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi sesama.

Dari Sajdah ke Sosial: Menghidupkan Spirit Salat

Salat bukan sekadar hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tapi juga jembatan horizontal antar manusia. Orang yang benar-benar salat akan membawa nilai-nilai ibadahnya ke kehidupan sosial. Ia menolong yang lemah, menegakkan keadilan, dan menebarkan kasih sayang.

Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan orang yang celaka bukan karena tidak salat, tetapi karena melupakan makna sosial dari ibadahnya:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ، الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ، وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) yang lalai dari salatnya, yang berbuat riya, dan enggan menolong dengan barang yang berguna.” (QS. Al-Ma‘ūn [107]: 4–7)

Ayat ini bukan celaan terhadap orang yang salat, tapi peringatan bahwa salat tanpa kepedulian sosial adalah kehilangan ruh. Karena itu, keselamatan dalam beragama harus terwujud dalam tindakan nyata: peduli, jujur, dan empatik.

Menemukan Selamat Lewat Makna, Bukan Sekadar Gerak

Kita hidup di zaman serba cepat. Orang salat tergesa, dzikir sekadar formalitas, dan doa dilakukan sambil menatap layar. Padahal, keselamatan tidak akan datang dari kecepatan, tapi dari kedalaman makna. Salat lima menit bisa membawa ketenangan berjam-jam jika dikerjakan dengan hati.

Beragama bukan soal seberapa banyak amal, tapi seberapa dalam kesadaran. Salat yang benar akan menumbuhkan rasa syukur, menenangkan amarah, dan menuntun seseorang untuk berbuat adil. Itulah makna “biar gak cuma salat, tapi juga selamat.”

Selamat di sini bukan hanya dari siksa akhirat, tapi juga dari kesengsaraan batin. Karena orang yang benar-benar mengenal Tuhannya akan menemukan ketenangan dalam setiap sujud, dan keselamatan dalam setiap langkah.

Penutup: Sujud yang Menyelamatkan

Salat adalah perjalanan pulang. Setiap takbir adalah pengingat untuk meninggalkan kesombongan, setiap rukuk mengajarkan kerendahan hati, dan setiap sujud menuntun kita pada makna kepasrahan.

Keselamatan tidak datang karena banyaknya gerakan, tapi karena kedalaman makna yang dihayati. Maka, mari berusaha agar salat kita tidak hanya menjadi rutinitas, tetapi jalan keselamatan — bagi diri, keluarga, dan semesta.

 

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement