Khazanah
Beranda » Berita » Beriman di Tengah Notifikasi

Beriman di Tengah Notifikasi

Ilustrasi pemuda Muslim berzikir di depan layar ponsel yang menyala, simbol iman di era digital.
Seorang pemuda Muslim duduk di ruangan temaram dengan cahaya layar ponsel menyinari wajahnya. Di sampingnya, mushaf terbuka, dan tampak notifikasi ponsel yang menyala. Ekspresinya tenang, seolah menimbang antara dunia digital dan keheningan batin.

Surau.co. Setiap beberapa menit, ponsel kita bergetar. Notifikasi masuk — pesan grup, berita politik, komentar media sosial, promo belanja. Di sela-sela adzan yang berkumandang, kadang terdengar pula bunyi “pling” yang menuntut perhatian. Dalam hiruk-pikuk dunia digital, pertanyaan muncul: bagaimana cara beriman di tengah notifikasi?

Zaman ini menuntut kita untuk terus terhubung, tapi sering kali membuat kita kehilangan keterhubungan yang sejati — yaitu hubungan dengan Allah. Kecepatan informasi melahirkan kegelisahan baru; kita takut ketinggalan kabar, tapi abai terhadap panggilan Tuhan. Dalam konteks inilah, iman bukan hanya keyakinan dalam hati, tetapi kemampuan menjaga kesadaran spiritual di tengah distraksi yang tak henti.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.”
(QS. Al-Ahzab [33]: 41)

Ayat ini adalah panggilan agar iman tak sekadar diam di hati, tetapi hidup dalam aktivitas sehari-hari — bahkan di tengah dering notifikasi yang tiada henti.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Iman yang Terfragmentasi: Ketika Diri Terbagi ke Banyak Layar

Kehidupan modern membuat manusia seolah hidup dalam banyak “ruang” sekaligus. Satu tangan menggulir layar, satu mata melihat status teman, sementara pikiran berkelana ke dunia maya. Dalam keadaan ini, iman sering kali menjadi fragmentasi — tersebar, tidak fokus, kehilangan pusat.

Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menggambarkan pentingnya kestabilan hati dalam menghadapi hiruk-pikuk dunia. Beliau menerangkan:

“مِنْ كَمَالِ الْعَقْلِ سُكُونُ الْقَلْبِ عِندَ تَزَاحُمِ الْأَشْغَالِ، وَثَبَاتُ النَّفْسِ فِي مَواجِهِ الْبَلَاوَى.”
“Termasuk kesempurnaan akal adalah ketenangan hati di tengah tumpukan urusan, dan keteguhan jiwa ketika menghadapi berbagai ujian.”

Dalam konteks digital, ajaran Al-Mawardi ini menjadi sangat relevan. Ia seolah berbicara kepada generasi yang hidup di tengah notifikasi — agar tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus informasi. Iman menuntut fokus; hati yang terlalu sering berpindah tidak akan mampu merasakan kehadiran Ilahi dengan utuh.

Notifikasi sebagai Ujian Modern

Notifikasi pada dasarnya bukan musuh, tetapi ujian. Ia adalah bentuk modern dari godaan ghaflah (kelalaian). Dulu, manusia diuji dengan harta dan kekuasaan; kini, manusia diuji dengan perhatian yang terserak. Ketika setiap suara ponsel memanggil kita lebih cepat dari panggilan adzan, maka perjuangan iman tidak lagi berada di medan perang, tetapi di dalam genggaman tangan kita sendiri.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ اهْتَدَى
“Setiap amal memiliki masa semangat dan masa lemah. Barang siapa di masa lemahnya tetap berpegang pada sunnahku, maka ia telah mendapat petunjuk.”
(HR. Ahmad)

Hadits ini bisa dibaca ulang di zaman digital. “Masa lemah” itu kini hadir dalam bentuk kehilangan fokus karena gangguan notifikasi. Maka, menjaga iman berarti juga menjaga ritme perhatian — bagaimana agar perhatian kita kembali kepada Allah setelah sempat terpecah pada hal-hal kecil yang fana.

Keseimbangan antara Dunia Maya dan Dunia Batin

Tidak realistis jika kita diminta untuk meninggalkan ponsel sepenuhnya. Dunia digital telah menjadi bagian dari kehidupan. Namun, yang perlu dikuatkan adalah keseimbangan antara dunia maya dan dunia batin.

Iman tidak menolak teknologi, tetapi menuntut manusia untuk tetap memegang kendali spiritual atasnya. Dalam bahasa Al-Mawardi, keseimbangan ini disebut hikmah amal dan niat. Beliau menerangkan:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“الْعَقْلُ يَهْدِي إِلَى تَدْبِيرِ الدُّنْيَا، وَالدِّينُ يَهْدِي إِلَى سَعَادَةِ الْآخِرَةِ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ ظَفِرَ بِالْفَضْلَيْنِ.”
“Akal membimbing kepada pengelolaan dunia, dan agama membimbing kepada kebahagiaan akhirat. Barang siapa menggabungkan keduanya, ia telah memperoleh dua kemuliaan.”

Kalimat itu terasa hidup ketika dibaca di era ini. Beriman di tengah notifikasi berarti mengelola dunia digital dengan akal yang jernih, sambil menjaga hati tetap tertambat pada Allah. Teknologi boleh mempercepat waktu, tetapi imanlah yang menjaga arah.

Dzikir Digital: Membawa Nama Allah ke Dunia Notifikasi

Ada cara-cara baru untuk berzikir di tengah dunia digital. Zikir tidak selalu berarti duduk dengan tasbih, tapi juga bisa berarti menjaga kesadaran bahwa Allah hadir dalam setiap momen, termasuk saat jempol kita menggulir layar.

Mungkin seseorang sedang menulis komentar penuh adab, membagikan ayat Al-Qur’an, atau menahan diri dari membalas hujatan — semua itu adalah bentuk dzikir dalam tindakan. Sebagaimana firman Allah:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)

Di tengah dunia yang berisik, ketenangan batin menjadi karunia yang mahal.
Beriman di tengah notifikasi bukan berarti menolak dunia digital, tetapi menghadirkan Allah dalam setiap getarannya.

Puasa Digital: Menyucikan Perhatian

Sebagaimana tubuh butuh puasa dari makanan, pikiran pun butuh puasa dari notifikasi.
Puasa digital bukan hanya tren, melainkan cara menjaga tawajjuh — arah hati yang tertuju kepada Allah.

Sejenak mematikan notifikasi bukan bentuk pelarian, tetapi langkah untuk kembali. Dengan begitu, kita belajar mengatur perhatian, mengembalikan kendali pada diri, dan membuka ruang hening tempat iman bernafas.

Ketika seseorang sengaja menjauh dari layar untuk menenangkan diri, ia sebenarnya sedang menjalankan zuhud versi modern — meninggalkan kelebihan agar bisa merasakan kehadiran yang lebih murni.
Imam Al-Mawardi menerangkan:

“الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا لَيْسَ بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ، وَلَكِنْ بِتَرْكِ مَا يَشْغَلُ عَنِ اللهِ.”
“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal, tetapi meninggalkan hal-hal yang melalaikan dari Allah.”

Maka, meninggalkan notifikasi sejenak bisa menjadi bentuk zuhud digital — cara baru untuk merawat iman dalam kehidupan yang serba cepat.

Menemukan Ketenangan di Tengah Koneksi

Ada paradoks yang menarik: semakin banyak koneksi digital yang kita miliki, semakin sedikit kedalaman hubungan yang kita rasakan. Manusia bisa terhubung ke seluruh dunia, tapi kehilangan koneksi dengan dirinya sendiri.

Iman hadir untuk mengembalikan kedalaman itu. Ia mengajarkan manusia untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam diri, dan bertanya: kepada siapa hati ini benar-benar tersambung?.

Beriman di tengah notifikasi berarti menyadari bahwa “online” sejati adalah ketika hati tersambung kepada Sang Pencipta. Koneksi digital bisa putus, sinyal bisa hilang, tapi hubungan dengan Allah selalu tersedia — asal hati mau mengetuknya dengan doa.

Penutup: Iman yang Tenang di Tengah Getaran

Hidup modern tidak akan berhenti memberi bunyi. Notifikasi akan terus berdenting, layar akan terus menyala. Namun, di tengah itu semua, iman bisa tetap tumbuh — jika kita mau memberi ruang bagi keheningan, menghadirkan Allah dalam setiap getar yang datang.

Seperti secangkir kopi di pagi hari yang menghangatkan, iman di tengah notifikasi memberi rasa damai yang menenangkan. Ia tidak membungkam dunia, tapi menuntun kita untuk mendengarnya dengan hati yang lebih lapang. Sebab di balik setiap getar layar, selalu ada kesempatan baru untuk mengingat bahwa Allah senantiasa hadir, bahkan dalam keheningan antara dua notifikasi.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement