Khazanah
Beranda » Berita » Tawakal Tapi Tetap Ngopi

Tawakal Tapi Tetap Ngopi

Ilustrasi pemuda Muslim bertawakal sambil menikmati kopi di pagi hari
Seorang pemuda duduk di kafe sederhana, secangkir kopi di tangan kanan, mushaf kecil di meja, dan cahaya pagi masuk lewat jendela. Wajahnya tenang, reflektif, antara dunia dan akhirat.

Surau.co. Di sudut warung kopi yang ramai, obrolan tentang hidup sering lebih dalam daripada seminar motivasi. Di tengah riuh cangkir dan aroma arabika, muncul kalimat yang entah serius atau berseloroh: “Yang penting tawakal, Bro, tapi tetap ngopi.” Kalimat itu terdengar sederhana, tapi menyimpan makna mendalam — tentang keseimbangan antara pasrah kepada Allah dan tetap berikhtiar dalam kehidupan.

Tawakal sering disalahpahami sebagai sikap pasif — menyerah total tanpa usaha. Padahal, dalam Islam, tawakal justru adalah buah dari usaha yang sungguh-sungguh. Nabi ﷺ bersabda:

إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah untamu, lalu bertawakallah.”
(HR. Tirmidzi)

Hadits singkat ini menegaskan: tawakal bukan alasan untuk malas, melainkan bentuk keimanan yang matang — ketika manusia berusaha sebaik mungkin, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Maka, tawakal tapi tetap ngopi bukan hanya lelucon khas anak muda zaman sekarang, melainkan filosofi hidup yang layak direnungi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hikmah dari Imam Al-Mawardi: Usaha dan Ketergantungan kepada Allah

Imam Al-Mawardi dalam karya agungnya Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menjelaskan keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal secara sangat indah. Beliau menerangkan:

“مِنْ آدَابِ الدُّنْيَا أَنْ يَأْخُذَ الإِنْسَانُ بِالأَسْبَابِ فِي طَلَبِ مَعَاشِهِ، وَيُفَوِّضَ النَّتِيجَةَ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ.”
“Termasuk adab dunia adalah seseorang mengambil sebab-sebab dalam mencari penghidupan, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala.”

Al-Mawardi menegaskan bahwa ketergantungan kepada Allah tidak boleh menghapus tanggung jawab manusia untuk berusaha. Dalam bahasa sekarang, ini berarti seseorang tidak bisa hanya berdoa untuk rezeki tanpa bergerak, sebagaimana tidak layak pula menggantungkan diri pada kerja keras tanpa mengingat Allah.

Kopi — simbol aktivitas dan gairah — dalam konteks ini bisa menjadi metafora dari “usaha”. Sedangkan tawakal adalah ketenangan batin yang tumbuh setelah seseorang menjalani proses itu dengan ikhlas.

Tawakal dalam Kacamata Al-Qur’an: Antara Doa dan Daya

Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya tawakal sebagai puncak keimanan. Allah berfirman:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang beriman bertawakal.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 122)

Namun dalam ayat lain, Allah juga memerintahkan untuk bergerak, beramal, dan berjuang. Tawakal tidak mungkin lahir dari kemalasan. Ia tumbuh dari pertemuan antara doa dan daya.

Generasi muda Muslim hari ini — terutama mereka yang akrab dengan budaya “ngopi” — bisa menemukan makna baru dalam ayat ini. Nongkrong di kafe bukan hanya soal gaya hidup, tapi bisa menjadi ruang kontemplatif: bagaimana menyeimbangkan kerja keras dengan kesadaran spiritual. Bagaimana laptop, zikir, dan cangkir kopi bisa berdampingan dalam satu meja.

Fenomena Gen Z: Spiritualitas di Era Digital dan Cangkir Kopi

Generasi Z dikenal sebagai generasi yang dinamis, multitasking, dan melek teknologi. Mereka belajar dari YouTube sambil mendengar podcast tafsir, bekerja dari kafe sambil membaca ayat “fa idzā faraghta fanshab” (apabila engkau telah selesai, maka bersungguh-sungguhlah lagi). Dalam dinamika ini, konsep tawakal menemukan bentuk barunya.

Tawakal tidak berarti meninggalkan dunia. Ia justru menjadi kekuatan batin untuk tetap tenang di tengah dunia yang cepat berubah. Saat rencana gagal, ketika proyek tidak berjalan sesuai harapan, atau ketika algoritma media sosial tak berpihak — di sanalah tawakal diuji.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Budaya ngopi menjadi metafora menarik. Di setiap seduhan kopi, ada proses: biji dipilih, disangrai, digiling, diseduh. Tidak ada yang instan. Seperti itu pula usaha manusia. Tawakal bukan berarti melewatkan proses, tapi menyadari bahwa hasil akhirnya tidak sepenuhnya di tangan kita.

Ikhtiar yang Tidak Menghapus Tawakal

Dalam kehidupan modern, sering muncul dilema antara “berusaha keras” dan “pasrah kepada takdir.” Padahal keduanya bukan lawan, melainkan dua sisi dari satu iman yang utuh. Imam Al-Mawardi kembali mengingatkan dalam bagian lain dari kitabnya:

“مَنْ رَكَنَ إِلَى التَّقْدِيرِ فَقَدْ أَبْطَلَ الحِكْمَةَ، وَمَنْ أَعْرَضَ عَنِ التَّقْدِيرِ فَقَدْ أَنْكَرَ القُدْرَةَ.”
“Barang siapa hanya bersandar pada takdir, maka ia meniadakan hikmah Allah; dan barang siapa menolak takdir, maka ia menolak kekuasaan Allah.”

Pernyataan ini sangat relevan bagi generasi yang hidup dalam dunia serba cepat dan penuh ketidakpastian. Manusia perlu sadar bahwa kerja keras adalah bagian dari ibadah, sementara hasil adalah wilayah ketetapan Ilahi. Maka, bekerja sungguh-sungguh di kantor, menulis artikel, berdagang, belajar — semuanya bagian dari ikhtiar yang bertawakal.

Makna “Ngopi” sebagai Simbol Kesadaran

Kopi, dalam budaya kita, bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol perenungan. Di balik pahitnya, tersimpan rasa yang jujur; di balik aromanya, ada kehangatan yang mengikat manusia dalam percakapan. “Ngopi” bukan sekadar gaya hidup, tapi cara manusia meluangkan waktu untuk berpikir, berdialog, dan menenangkan diri.

Ketika seseorang berkata “tawakal tapi tetap ngopi”, sebenarnya ia sedang menegaskan bahwa iman tidak membuatnya berhenti hidup. Ia tetap belajar, bekerja, bergaul, dan menikmati kehidupan — sembari memelihara kesadaran bahwa semua ini hanyalah titipan Allah.

Dengan cara seperti ini, budaya ngopi bisa menjadi ruang spiritual baru: tempat zikir diam-diam, refleksi setelah kerja keras, dan jembatan antara dunia nyata dan batin.

Tawakal sebagai Energi Produktif

Menariknya, penelitian modern tentang mindfulness dan resiliensi menunjukkan bahwa ketenangan batin meningkatkan fokus dan produktivitas. Dalam Islam, hal ini telah diajarkan sejak awal melalui konsep tawakal. Orang yang tawakal tidak terbebani oleh kecemasan berlebih; ia sudah melakukan yang terbaik dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Maka, tawakal bukan pasrah, tapi percaya diri yang beriman. Ia menggerakkan, bukan melemahkan. Dalam konteks generasi produktif masa kini, “tawakal tapi tetap ngopi” adalah ajakan untuk hidup dengan kesadaran penuh — bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi tidak kehilangan ketenangan spiritual.

Penutup: Pahit yang Menenangkan

Hidup kadang pahit seperti kopi tanpa gula, tapi pahit itu pula yang membuatnya bermakna. Tawakal bukan berarti menyerah pada rasa pahit, tapi menikmati setiap tegukan dengan kesadaran bahwa semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Sebagaimana kata Al-Mawardi, manusia hidup di antara dua kesadaran: usaha dan penyerahan. Maka, dalam setiap cangkir kopi yang kita minum, biarlah kita belajar: tentang sabar, tentang proses, dan tentang keyakinan bahwa hidup ini akan lebih indah bila dijalani dengan tawakal tapi tetap ngopi.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement