Surau.co. Konsep jihad dalam Islam sering kali disalahpahami oleh sebagian masyarakat modern yang menganggapnya semata sebagai tindakan kekerasan. Padahal, menurut Imām Mālik ibn Anas melalui karya agungnya Al-Muwaṭṭa’, jihadjustru merupakan bentuk pembelaan dan pengorbanan yang berakar pada nilai keadilan, kasih sayang, serta kehormatan manusia.
Sebagai imam besar Madinah, Imām Mālik hidup pada masa ketika Islam telah berkembang pesat, namun tantangan politik dan sosial tetap mengguncang. Karena itu, pembahasan tentang jihad dalam Al-Muwaṭṭa’ menghadirkan keseimbangan yang menakjubkan antara keberanian fisik dan keluhuran moral.
Makna Jihad dalam Kerangka Mālikī
Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik membuka bab tentang jihad dengan pendekatan hukum sekaligus spiritual. Ia menjelaskan bahwa jihad berarti berjuang di jalan Allah melalui harta, jiwa, dan lisan untuk meninggikan kalimat-Nya. Dengan demikian, jihad tidak berhenti pada perang fisik, tetapi juga mencakup perjuangan moral melawan hawa nafsu dan kezaliman.
Lebih jauh, riwayat pertama yang dikutipnya menampilkan dimensi sosial dan spiritual jihad:
“Bepergianlah maka kalian akan sehat, berjihadlah maka kalian akan memperoleh kemenangan, dan berhajilah maka kalian akan menjadi cukup.”
(HR. Abu Hurairah dalam Al-Muwaṭṭa’)
Makna hadits ini melampaui sekadar kemenangan militer. Imām Mālik menafsirkan jihad sebagai sarana penyucian diri dan masyarakat — sebuah keseimbangan antara kekuatan dan kebersihan hati. Karena itu, jihad berfungsi sebagai proses memperbaiki diri sekaligus memperbaiki dunia.
Etika dalam Perang: Tidak Menyentuh yang Tak Bersalah
Mazhab Mālikī menonjol karena menekankan adab al-qitāl (etika perang). Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik meriwayatkan pesan Abu Bakar as-Ṣiddīq kepada para tentaranya:
“Janganlah kalian membunuh wanita, anak kecil, atau orang tua; dan jangan menebang pohon yang berbuah.”
Prinsip ini menunjukkan bahwa jihad sejati harus tunduk pada nilai kemanusiaan. Ia tidak boleh menjadi alat dendam, apalagi ekspansi tanpa arah. Dengan kata lain, jihad harus dijalankan secara disiplin dan etis, demi melindungi kehidupan, bukan menghancurkannya.
Menariknya, nilai-nilai tersebut muncul jauh sebelum dunia modern menetapkan konvensi internasional tentang hak sipil dalam perang. Karena itu, fiqh Mālikī dapat dianggap sebagai pionir dalam etika kemanusiaan global.
Tujuan Jihad: Menegakkan Keadilan, Bukan Kekuasaan
Menurut Imām Mālik, jihad merupakan bagian dari sistem keadilan sosial Islam. Beliau meriwayatkan sabda Nabi ﷺ kepada pasukannya:
“Berangkatlah di jalan Allah, jangan berkhianat, jangan mutilasi, dan jangan membunuh anak kecil.”
(HR. Ibn ‘Abbās dalam Al-Muwaṭṭa’)
Pesan ini menegaskan bahwa jihad bertujuan menegakkan keadilan dan menghapus penindasan. Kemenangan yang hakiki bukan berasal dari kekuatan militer, melainkan dari keteguhan moral seorang Muslim.
Selain itu, dalam konteks masa kini, jihad dapat dimaknai lebih luas: melawan kemiskinan, kebodohan, dan korupsi. Semua perjuangan untuk menegakkan kebenaran serta menghindarkan manusia dari kezaliman termasuk dalam makna jihad yang sejati.
Jihad Jiwa: Perang yang Tak Pernah Usai
Imām Mālik juga menekankan dimensi batin dari jihad. Ia mengutip sabda Nabi ﷺ:
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.”
Walaupun sanad hadits ini dinilai lemah oleh sebagian ulama, Imām Mālik memahaminya secara hikmah. Jihad besarberarti perjuangan melawan hawa nafsu — perang yang tak pernah selesai.
Dalam praktik sehari-hari, jihad batin ini hadir dalam berbagai bentuk: menahan amarah, menegakkan keadilan di rumah, menolak korupsi di tempat kerja, serta menjaga amanah dalam tanggung jawab sosial. Dengan demikian, jihad menjadi latihan moral yang terus menerus, bukan sekadar momen heroik di medan perang.
Menegakkan Nilai Kemanusiaan dalam Perjuangan
Etika moral mazhab Mālikī menjadikan jihad sebagai laku kemanusiaan, bukan tindakan brutal. Semangatnya dapat diterjemahkan dalam dunia modern sebagai kerja keras menciptakan keadilan sosial — dari pendidikan, ekonomi, hingga lingkungan.
Allah Swt. berfirman:
“Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 190)
Ayat ini menegaskan batas moral dalam jihad: peperangan hanya dibenarkan untuk membela diri, bukan menyerang. Karena itu, jihad sejati memadukan cinta terhadap kebenaran dan kasih kepada sesama manusia.
Refleksi Akhir: Jihad sebagai Etika Hidup
Bagi Imām Mālik, jihad adalah jalan untuk menegakkan nilai ilahi di bumi. Ia menekankan bahwa kemenangan sejati lahir dari hati yang beriman dan akal yang tercerahkan. Maka, jihad tidak hanya menuntut keberanian, tetapi juga memerlukan kasih sayang dan pengampunan.
Bagi masyarakat modern, membaca kembali Al-Muwaṭṭa’ membantu memahami bahwa jihad bukan tentang pertempuran semata. Ia adalah perjuangan moral menegakkan kebaikan di setiap lini kehidupan.
Akhirnya, jihad menurut Imām Mālik merupakan janji peradaban yang hidup — saat iman dan akal berjalan berdampingan untuk menjaga kemanusiaan dan menegakkan keadilan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
