Khazanah
Beranda » Berita » Nazr dan Sumpah dalam Pandangan Mālikī: Janji di Hadapan Allah

Nazr dan Sumpah dalam Pandangan Mālikī: Janji di Hadapan Allah

Muslim berdoa merenungkan janji dan sumpah di hadapan Allah.
Ilustrasi suasana hening seorang mukmin yang merenungkan nazar dan sumpahnya, simbol introspeksi dan kejujuran spiritual.

Surau.co. Dalam khazanah fikih Islam, nazr (nazar) dan yamīn (sumpah) menempati posisi unik sebagai bentuk janji spiritual antara manusia dan Allah. Dalam Kitab Al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik ibn Anas, dua hal ini tidak hanya dipahami sebagai hukum lahiriah yang menuntut pemenuhan syarat, tetapi juga sebagai cerminan kedalaman iman dan tanggung jawab moral seorang Muslim.

Sebagai seorang Imam Madinah yang dikenal dengan kejujuran sanad dan kedalaman akal, Imām Mālik memandang bahwa nazar dan sumpah bukan sekadar perkara hukum, tetapi juga pengikat ruhani yang menguji keikhlasan niat seorang hamba. Dalam masyarakat modern yang sering kali menjadikan janji sebagai formalitas, pandangan Mālikī ini kembali relevan untuk direnungkan.

Nazr: Janji Sukarela yang Menjadi Kewajiban

Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik mengutip banyak riwayat tentang nazar — janji seseorang kepada Allah untuk melakukan sesuatu jika suatu kondisi terpenuhi. Nazar adalah janji sukarela, tetapi ketika terucap, ia berubah menjadi kewajiban moral dan hukum.

Beliau meriwayatkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ.”
(Dari ‘Āisyah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa bernazar untuk menaati Allah, maka hendaklah ia menaati-Nya; dan barang siapa bernazar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah ia melakukannya.”)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Makna dari riwayat ini sangat jelas: nazar bukan permainan kata, tetapi komitmen suci. Dalam mazhab Mālikī, nazar yang berisi ketaatan menjadi wajib dilaksanakan karena mengandung unsur iltizām, pengikatan diri kepada Allah. Namun, jika nazar mengandung maksiat, maka ia batal secara otomatis karena tidak boleh ada ketaatan dalam dosa.

Fenomena sehari-hari sering menunjukkan bahwa manusia kerap bernazar dalam keadaan genting — sakit, ujian, atau musibah. Nazar muncul dari hati yang cemas dan berharap. Tetapi, begitu keinginan terkabul, sebagian orang melupakannya. Dalam pandangan Imām Mālik, pelanggaran terhadap nazar bukan sekadar kelalaian etika, melainkan bentuk ingkar terhadap perjanjian spiritual.

Sumpah: Disiplin Lisan dan Keteguhan Iman

Sumpah (yamīn) dalam hukum Mālikī juga dijelaskan dengan rinci. Ia adalah bentuk penguatan ucapan dengan menyebut nama Allah sebagai saksi. Imām Mālik menulis:

قَالَ مَالِكٌ: “لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْلِفَ بِاللَّهِ كَاذِبًا، وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ.”
(Mālik berkata: “Tidak halal bagi siapa pun bersumpah atas nama Allah dengan dusta. Barang siapa melakukannya, maka ia kembali dengan kemurkaan Allah.”)

Sumpah palsu dalam pandangan Mālik adalah dosa besar, karena ia menodai kehormatan nama Allah. Dalam masyarakat yang kerap menganggap sumpah sekadar formalitas di pengadilan atau transaksi, nasihat Mālik terasa menampar kesadaran spiritual kita.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Islam memberi ruang bagi sumpah yang benar untuk memperkuat kejujuran, bukan untuk menutupi kebohongan. Karena itu, sumpah yang diucapkan dengan dusta tidak hanya merusak kepercayaan sosial, tetapi juga merusak hubungan dengan Allah.

Tebusan dan Kesadaran Diri

Dalam Al-Muwaṭṭa’, Mālik juga menjelaskan hukum kaffārah (tebusan) bagi sumpah yang dilanggar. Beliau meriwayatkan dari Zaid bin Thābit:

أَنَّهُ قَالَ فِي مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ ثُمَّ نَدِمَ: “يُكَفِّرُ عَنْ يَمِينِهِ، وَيَعْمَلُ بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ.”
(Zaid bin Thābit berkata tentang orang yang bersumpah lalu menyesal: “Hendaklah ia menebus sumpahnya dan mengerjakan yang lebih baik.”)

Imām Mālik menyetujui pandangan ini. Dalam mazhab Mālikī, tebusan tidak hanya berbentuk materi (memberi makan, pakaian, atau puasa), tetapi juga dimaknai sebagai bentuk tazkiyah an-nafs — penyucian diri dari kelalaian hati.

Di sini tampak kebijaksanaan Mālik: ia tidak memandang pelanggaran sumpah hanya dari sisi hukuman, tetapi juga dari sisi pembinaan jiwa. Ia melihat bahwa manusia bisa tergelincir, tetapi harus sadar dan kembali kepada Allah dengan penebusan yang tulus.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Janji yang Menghidupkan Integritas

Janji, baik berupa nazar maupun sumpah, adalah cermin integritas. Dalam kehidupan modern yang penuh kontradiksi, menepati janji kepada Allah berarti menumbuhkan etika tanggung jawab yang lebih dalam.

Imām Mālik mencatat riwayat penting yang menggambarkan nilai ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: “الْيَمِينُ عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ.”
(Dari Abdullah bin Umar, Nabi ﷺ bersabda: “Sumpah itu mengikuti niat orang yang memintanya.”)

Maknanya, sumpah tidak boleh dijadikan alat manipulasi. Ia harus lahir dari kejujuran batin. Dalam pandangan Mālik, janji yang benar akan menuntun pada kemuliaan, sedangkan janji yang dipermainkan akan menjerumuskan pada kehinaan.

Seperti sabda Rasulullah ﷺ dalam Al-Muwaṭṭa’, keimanan yang sejati adalah yang menepati janji, bahkan ketika tidak ada saksi duniawi.

Refleksi: Janji di Hadapan Allah

Setiap janji yang terucap sejatinya adalah kesaksian antara hamba dan Tuhannya. Dalam mazhab Mālikī, menjaga nazar dan sumpah bukan hanya urusan hukum, tetapi laku spiritual yang menghidupkan kejujuran, kesungguhan, dan ketundukan.

Imām Mālik, dengan kebeningan ilmunya, ingin menanamkan kesadaran bahwa Allah mendengar setiap kata yang keluar dari lisan, dan mencatat setiap janji yang diucapkan. Dalam dunia yang sibuk dan penuh klaim, sikap seperti ini menjadi oase integritas yang langka.

Sebagaimana firman Allah:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ
“Dan penuhilah janji kepada Allah apabila kamu berjanji.” (QS. An-Naḥl [16]: 91)

Ayat ini menegaskan pesan Imām Mālik: janji bukan sekadar ucapan, tetapi perjanjian antara nurani dan Tuhan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement