Khazanah
Beranda » Berita » Kalau Ilmu Bikin Kamu Riuh, Coba Tambah Adabnya

Kalau Ilmu Bikin Kamu Riuh, Coba Tambah Adabnya

Pemuda muslim merenung di antara buku dan cahaya lembut, simbol ilmu yang disucikan oleh adab.
Ilmu yang disertai adab menenangkan hati dan menerangi kehidupan.

Surau.co. Ilmu adalah cahaya, tapi cahaya itu bisa redup jika hati yang menampungnya keruh. Banyak orang berilmu, tapi tidak semua beradab. Banyak yang pandai berbicara, namun tak semuanya tahu kapan harus diam. Ilmu tanpa adab ibarat pedang di tangan anak kecil—tajam, tapi membahayakan. Maka, kalau ilmu membuatmu riuh, sombong, atau mudah menyalahkan orang lain, barangkali yang kurang bukan pengetahuan, melainkan adabnya.

Adab adalah napas dari ilmu. Ia menjadikan ilmu bukan alat pamer, melainkan jalan menuju kebijaksanaan. Dalam tradisi Islam klasik, para ulama selalu menekankan bahwa adab harus mendahului ilmu. Sebab, tanpa adab, ilmu justru menjauhkan seseorang dari cahaya kebenaran.

Ilmu yang Riuh, Hati yang Tak Tenang

Belajar seharusnya menenangkan hati. Namun kini, banyak orang justru semakin gaduh setelah berilmu. Mereka cepat menghakimi, mudah membandingkan, dan sering merasa paling benar. Fenomena ini bukan hal baru. Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

مَنْ لَمْ يُؤَدِّبْ نَفْسَهُ لَمْ يَنْتَفِعْ بِعِلْمِهِ
“Barang siapa tidak mendidik dirinya dengan adab, maka ia tidak akan mendapat manfaat dari ilmunya.”

Kalimat itu sederhana tapi dalam. Belajar bukan hanya memperluas wawasan, melainkan memperhalus jiwa. Ketika seseorang belajar hanya untuk menang debat atau terlihat unggul, maka ilmu itu akan membuat hatinya riuh. Sebaliknya, orang yang menuntut ilmu dengan adab akan merasa semakin tenang dan rendah hati.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Al-Qur’an pun menegaskan pentingnya ketenangan dalam mencari ilmu. Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ
“Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang yang beriman, agar keimanan mereka bertambah di atas keimanan mereka.” (QS. al-Fath [48]: 4).

Ketenangan adalah buah dari adab. Bila belajar membuat hati gaduh, itu tanda kita belum menanamkan adab di dalamnya.

Adab: Kunci Agar Ilmu Tidak Menyombongkan

Adab menahan ilmu dari menjadi kesombongan. Orang yang beradab tahu bahwa ilmu bukan alat untuk memamerkan diri, tetapi amanah untuk menebar manfaat. Ia memahami bahwa semakin dalam ilmunya, semakin besar tanggung jawabnya di hadapan Tuhan.

Imam al-Māwardī menjelaskan,

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

الْعِلْمُ يَزِينُ الْإِنْسَانَ، وَالْأَدَبُ يُصْلِحُهُ
“Ilmu memperindah manusia, sedangkan adab memperbaikinya.”

Ilmu bisa menjadikan seseorang tampak cerdas di mata manusia. Tetapi hanya adab yang menjadikannya mulia di sisi Allah. Adab membatasi kesombongan, mengingatkan bahwa di atas setiap orang berilmu, selalu ada yang lebih tahu.

Firman Allah:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan, ada yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 76).

Ayat ini menundukkan ego. Tak peduli setinggi apa ilmu seseorang, ia tetap berada di bawah pengetahuan Tuhan. Maka, jika ilmu membuat kita meninggi, itu tanda kita belum cukup beradab.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Menambah Adab, Menjernihkan Hati

Adab bukan sekadar sopan santun di depan guru, tapi keadaan batin yang jernih. Ia mengajarkan kepekaan—bagaimana bersikap ketika berbeda pendapat, bagaimana menjaga lisan, dan bagaimana menerima kebenaran dengan lapang dada.

Seseorang bisa tahu banyak, tetapi tanpa adab, pengetahuannya menjadi beban. Sebaliknya, orang yang mungkin belum banyak tahu, tapi memiliki adab yang baik, akan selalu tumbuh. Karena adab membuka hati untuk terus belajar.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukhārī).

Hadis ini menegaskan bahwa akhlak, yang di dalamnya termasuk adab, adalah puncak dari seluruh ilmu. Tak ada gunanya ilmu yang tidak membentuk perilaku. Maka, menambah adab berarti memperindah ilmu dengan amal.

Ketika Ilmu Tanpa Adab Menggerus Makna

Zaman sekarang, kita hidup di tengah limpahan informasi. Semua orang bisa berbicara tentang apa saja. Namun, tidak semua mengerti batas antara pengetahuan dan kesopanan. Ilmu tanpa adab melahirkan perdebatan tanpa arah, saling menuding, dan kehilangan rasa hormat pada yang berbeda.

Imam al-Māwardī menerangkan:

مَنْ جَهِلَ مَقَادِيرَ النَّاسِ فَقَدْ جَهِلَ مَقَادِيرَ نَفْسِهِ
“Barang siapa tidak menghargai kedudukan orang lain, maka ia sebenarnya tidak mengenal kedudukan dirinya sendiri.”

Orang yang tidak beradab akan kehilangan kesadaran tentang siapa dirinya. Ia merasa lebih tinggi dari yang lain, padahal sesungguhnya sedang kehilangan arah. Maka, menambah adab bukan sekadar etika sosial, tetapi kebutuhan spiritual agar ilmu kembali menenangkan.

Adab Membuat Ilmu Menjadi Cahaya

Adab adalah pelita bagi ilmu. Ia menuntun bagaimana ilmu digunakan, kepada siapa ia disampaikan, dan kapan seseorang harus diam. Dalam adab, ada kebijaksanaan untuk menimbang, ada kesabaran untuk mendengar, dan ada keikhlasan untuk mengakui kesalahan.

Tanpa adab, ilmu seperti cahaya yang silau tapi membakar. Namun dengan adab, ilmu menjadi cahaya yang hangat dan menuntun. Sebab, adab memurnikan niat dan membersihkan hati dari ambisi pribadi.

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujādilah [58]: 11).

Namun, derajat itu tidak otomatis diberikan kepada siapa pun yang berilmu, melainkan kepada mereka yang menghiasi ilmunya dengan iman dan adab.

Adab Sebagai Cermin Ketulusan Belajar

Adab adalah tanda bahwa seseorang belajar karena Allah, bukan karena ambisi duniawi. Ia menjadi cermin keikhlasan: apakah kita belajar untuk memahami, atau hanya ingin dikenal sebagai orang pintar.

Seseorang yang beradab tidak tergesa-gesa mengoreksi orang lain. Ia mendengar lebih banyak daripada berbicara, dan menghormati sebelum menilai. Dalam keheningan dan kesabaran itu, ilmu tumbuh lebih subur.

Dalam tradisi pesantren, adab bahkan lebih diutamakan dari ilmu. Para santri diajarkan untuk mencium tangan guru, menjaga lisannya, dan menundukkan pandangan ketika berbicara. Semua itu bukan formalitas, melainkan latihan mengasah hati. Sebab, ilmu yang turun kepada hati yang kasar tidak akan bertahan lama.

Kalau Ilmu Membuatmu Riuh, Berhentilah Sejenak

Kadang, ketika ilmu membuat hati kita riuh—mudah marah, merasa benar sendiri, sulit menerima kritik—itu pertanda bahwa kita butuh berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tapi untuk menata niat dan menambah adabnya.

Berhentilah sejenak, tarik napas, dan tanyakan pada diri sendiri: “Apakah aku menuntut ilmu untuk mencari kebenaran, atau untuk mencari kemenangan?” Pertanyaan sederhana itu bisa mengembalikan arah belajar kita.

Imam al-Māwardī menerangkan dengan lembut:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِلنَّفْسِ نَفَعَهُ، وَمَنْ طَلَبَهُ لِلدُّنْيَا أَضَرَّهُ
“Barang siapa mencari ilmu untuk memperbaiki dirinya, ilmu itu akan bermanfaat baginya. Tapi barang siapa mencarinya demi dunia, ilmu itu akan mencelakakannya.”

Maka, jika ilmu membuatmu gelisah, bukan berarti kamu salah belajar. Mungkin kamu hanya lupa menambah adab di dalamnya.

Penutup: Adab Itu Menenangkan, Ilmu Itu Menerangi

Ilmu tanpa adab adalah nyala api yang liar. Tapi ilmu dengan adab adalah cahaya yang menenteramkan. Belajar bukan sekadar soal tahu lebih banyak, tetapi tentang menjadi manusia yang lebih lembut dan rendah hati.

Di hadapan ilmu, kita semua murid yang tak pernah lulus. Maka, jangan berhenti belajar, tapi jangan lupa untuk menundukkan hati. Sebab, ilmu sejati adalah yang membuat manusia semakin mengenal Tuhannya, dan adab adalah jalan untuk mencapainya.

Kadang, yang kita butuhkan bukan tambahan buku, tapi tambahan adab. Karena ilmu tanpa adab membuat kita riuh, sedangkan adab tanpa ilmu menjadikan kita hening namun bijaksana.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement