SURAU.CO– Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyatakan seorang hamba tidak akan mampu mewujudkan makna Iyyaka Na‘budu kecuali dengan dua dasar utama: mengikuti ajaran Rasulullah Saw. dan beribadah dengan ikhlas semata karena Allah. Dengan dua dasar tersebut, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan manusia dapat dibagi menjadi empat golongan.
Orang yang Ikhlas karena Allah dan Mengikuti Sunnah Rasulullah
Golongan pertama adalah orang-orang yang benar-benar menghayati makna Iyyaka Na‘budu. Mereka melakukan segala ucapan dan perbuatan semata-mata karena Allah. Mereka memberi karena Allah, menahan diri karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah.
Setiap bentuk hubungan mereka — baik lahir maupun batin — mereka niatkan untuk mencari keridhaan Allah semata, bukan demi pujian, kedudukan, simpati, atau keuntungan duniawi. Mereka menganggap manusia tidak lebih dari makhluk lemah yang tidak memiliki kekuatan memberi manfaat atau menolak mudarat.
Mereka sama sekali tidak mengenal perbuatan yang dimaksudkan untuk mencari kedudukan atau keuntungan pribadi.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh pernah berkata,
“Amal yang baik adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar.”
Ketika orang bertanya kepadanya, “Wahai Abu ‘Ali, apa maksud amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?”
Beliau menjawab,
“Jika amal itu ikhlas tetapi tidak benar, maka Allah tidak akan menerimanya. Jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, Allah juga tidak akan menerimanya. Amal yang diterima adalah amal yang ikhlas dan benar. Ikhlas berarti karena Allah, dan benar berarti sesuai dengan Sunnah Rasulullah Saw.”
Hal ini sejalan dengan firman Allah:
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(Al-Kahfi: 110)
Orang yang Tidak Ikhlas dan Tidak Mengikuti Sunnah
Golongan kedua adalah orang-orang yang tidak ikhlas dan tidak pula mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. Amal mereka tidak sejalan dengan syariat, dan niat mereka tidak tertuju kepada Allah, seperti orang yang beramal hanya untuk pamer atau mencari perhatian manusia.
Mereka termasuk golongan yang paling buruk dan paling dibenci Allah. Allah menggambarkan mereka dalam firman-Nya:
“Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang telah mereka lakukan dan suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan akan terlepas dari azab; bagi mereka azab yang pedih.”
(Ali ‘Imran: 188)
Orang yang Ikhlas tetapi Tidak Mengikuti Sunnah
Golongan ketiga adalah orang-orang yang beribadah dengan niat yang tulus, namun mereka tidak mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasulullah Saw.Golongan ini mencakup sebagian ahli ibadah yang kurang berilmu, orang-orang yang condong kepada kehidupan zuhud ekstrem, atau mereka yang beribadah kepada Allah dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat.
Mereka mungkin ikhlas, tetapi ketidaksesuaian dengan perintah Allah menjadikan amal mereka tidak diterima. Sebab, keikhlasan tanpa kebenaran dalam tuntunan syariat tidak memiliki nilai di sisi Allah.
Orang yang Mengikuti Sunnah tetapi Tidak Ikhlas
Golongan keempat adalah orang-orang yang secara lahiriah amalnya sesuai dengan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah Saw., namun tujuan mereka bukan untuk mencari ridha Allah.
Sebagai contoh, seseorang berjihad untuk menunjukkan keberanian atau patriotismenya, menunaikan haji demi pujian orang lain, atau membaca Al-Qur’an agar disanjung. Walaupun secara lahiriah amal mereka tampak sesuai dengan syariat, namun karena niatnya tidak murni karena Allah, maka amal itu tidak tergolong saleh.
Orang-orang yang benar-benar mengamalkan makna Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘in memiliki pandangan yang berbeda tentang ibadah yang paling utama, paling bermanfaat, dan paling layak untuk diprioritaskan. Dalam hal ini, para ahli ibadah terbagi menjadi empat pandangan utama.
Ibadah yang Paling Sulit dan Berat
Sebagian orang berpendapat bahwa ibadah yang paling utama adalah ibadah yang paling sulit dan berat untuk dilakukan. Menurut mereka, ibadah yang menuntut pengorbanan besar adalah yang paling jauh dari hawa nafsu, dan pahala akan sebanding dengan kesulitan yang dihadapi.
Namun, pandangan ini sering membuat mereka berlaku keras terhadap diri sendiri. Mereka juga menganggap bahwa meninggalkan kesenangan dunia dan bersikap zuhud total merupakan bentuk ibadah tertinggi. Mereka bahkan bersandar pada hadis yang tidak memiliki dasar kuat:
“Amal yang paling utama adalah yang paling berat dilakukan.”
Ibadah yang Paling Banyak Manfaatnya untuk Orang Lain
Sebagian lain berpendapat bahwa ibadah yang paling utama adalah amal yang memberikan manfaat luas bagi orang lain. Menurut mereka, membantu orang miskin, memenuhi kebutuhan masyarakat, dan memberikan tenaga serta harta untuk menolong sesama adalah bentuk ibadah tertinggi. Mereka beralasan, amal seorang ahli ibadah hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, sedangkan amal seseorang yang menolong orang lain membawa kebaikan bagi banyak pihak.
Mereka mengutip hadis yang menunjukkan bahwa pahala bagi pelaku kebaikan akan terus mengalir kepada orang yang meneladani amalnya.
Ibadah yang Sesuai Waktu dan Kondisi
Kelompok ketiga berpandangan bahwa ibadah terbaik adalah ibadah yang paling sesuai dengan waktu, keadaan, dan tanggung jawab yang sedang dihadapi.
Misalnya, ketika tiba waktu jihad, maka berjihad menjadi ibadah yang paling utama, meskipun harus meninggalkan salat malam atau puasa. Saat tamu datang, memuliakan tamu menjadi ibadah terbaik. Di waktu sahur, berzikir, berdoa, dan membaca Al-Qur’an menjadi ibadah yang paling utama. Dengan demikian, nilai utama sebuah ibadah bergantung pada konteks waktu, situasi, dan keperluannya.
Ibadah yang Tidak Terbatas pada Jenis Tertentu
Golongan keempat adalah ahli ibadah yang tidak membatasi diri pada satu jenis ibadah tertentu. Tiga golongan sebelumnya cenderung terikat pada satu bentuk ibadah yang mereka anggap paling mulia. Jika mereka meninggalkan ibadah itu, mereka merasa kurang atau seolah kehilangan arah.
Sebaliknya, golongan keempat ini menempatkan keridhaan Allah sebagai tujuan tertinggi. Mereka berpindah dari satu bentuk ibadah ke bentuk lainnya sesuai dengan tuntunan dan kesempatan yang Allah berikan.
Ketika berada di tengah para ulama, mereka belajar bersama. Saat berada di antara para ahli ibadah, mereka ikut berzikir. Di medan jihad, mereka berjuang bersama mujahidin. Saat ada kesempatan bersedekah, mereka memberi dengan ikhlas.
Mereka tidak membatasi diri dengan bentuk ibadah tertentu, karena tujuan mereka bukan jenis amalnya, melainkan keridhaan Allah semata. Inilah golongan hamba yang benar-benar mewujudkan makna Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘in secara menyeluruh dan konsisten.
Empat pembagian ini menunjukkan bahwa kesempurnaan ibadah terletak pada keseimbangan antara keikhlasan, kesesuaian dengan Sunnah, dan penyerahan diri kepada Allah. Hamba yang sempurna adalah mereka yang menegakkan dua dasar ibadah — ikhlas dan ittiba‘ — serta menyeimbangkan antara berbagai bentuk amal sesuai dengan kehendak dan waktu yang Allah tetapkan.(St.Diyar)
Referensi: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
