Surau.co. Dalam perjalanan menuntut ilmu, sering kali seseorang merasa sedang berlomba dengan teman sekelasnya. Nilai yang tinggi, hafalan yang cepat, atau penghargaan dari guru seakan menjadi tanda siapa yang “lebih unggul.” Padahal, sejatinya teman belajar bukanlah rival, melainkan cermin.
Seorang teman belajar hadir agar kita dapat mengenal diri sendiri lebih dalam. Ia bukan saingan yang harus dikalahkan, tapi pantulan diri yang membantu kita memahami kelemahan dan potensi yang belum terlihat. Ketika hati mulai melihat teman sebagai cermin, bukan lawan, maka belajar menjadi jalan bersama menuju kematangan jiwa, bukan arena saling menundukkan.
Ilmu Bukan Ajang Lomba, Tapi Perjalanan Kolektif
Dalam dunia pendidikan, terutama di pesantren dan madrasah, sering muncul perasaan ingin lebih hebat dari teman. Naluri itu manusiawi, tapi bila dibiarkan tanpa adab, ia berubah menjadi api persaingan yang membakar keikhlasan.
Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn memberi nasihat yang relevan:
وَمَنْ أَرَادَ بِعِلْمِهِ الدُّنْيَا فَقَدْ خَسِرَ نَصِيبَهُ مِنَ الدِّينِ
“Barang siapa menuntut ilmu untuk mencari dunia, maka ia telah kehilangan bagian dari agamanya.”
Kalimat itu menjadi pengingat bahwa tujuan utama ilmu bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas diri sendiri. Bila ilmu dijadikan perlombaan, maka ego akan tumbuh lebih cepat daripada hikmah.
Belajar seharusnya menumbuhkan rasa syukur, bukan iri. Karena setiap teman belajar membawa karunia yang berbeda. Ada yang cepat memahami, ada yang kuat menghafal, ada pula yang sabar dalam mengulang. Bila kita mampu menghargai keunikan itu, maka suasana belajar menjadi taman kebersamaan, bukan medan kompetisi.
Teman Adalah Cermin, Bukan Saingan
Setiap kali kita merasa iri dengan kemampuan teman, sebenarnya kita sedang melihat bagian diri yang ingin berkembang. Teman belajar adalah cermin yang memperlihatkan kekurangan kita, agar kita tahu di mana harus memperbaiki diri.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menjadi dasar etika sosial yang luhur. Dalam pergaulan ilmiah, teman adalah pantulan moral dan intelektual. Ketika ia rajin, kita ikut termotivasi. Ketika ia malas, kita belajar untuk tidak meniru. Dalam cermin itu, kita menemukan refleksi diri yang jujur.
Melihat teman sebagai cermin juga melatih keikhlasan. Kita tidak lagi iri ketika ia berhasil, sebab keberhasilannya menjadi bukti bahwa jalan menuju kebaikan memang bisa ditempuh. Kita tidak lagi rendah diri saat tertinggal, sebab setiap orang memiliki waktunya untuk berproses.
Adab Bersama Teman Belajar Menurut Imam al-Māwardī
Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam al-Māwardī menulis tentang pentingnya memilih teman yang berakhlak baik, karena dari merekalah seseorang belajar tentang kesabaran, kejujuran, dan keikhlasan. Beliau berkata:
لَا صَاحِبَ خَيْرٍ مَنْ لَمْ يَكُنْ صَدِيقًا فِي الدِّينِ
“Tidak ada teman yang lebih baik daripada sahabat yang jujur dalam agama.”
Maksudnya, teman terbaik bukan yang membuat kita merasa unggul, tapi yang menuntun kita menuju kebenaran. Ia bisa menegur dengan lembut, menasihati tanpa menggurui, dan mendorong kita untuk tetap istiqamah dalam belajar.
Persahabatan dalam ilmu membutuhkan dua hal: ketulusan dan kesediaan untuk saling menasihati. Bila keduanya hilang, maka hubungan belajar akan berubah menjadi kompetisi kosong yang melelahkan.
Dari Persaingan Menuju Persaudaraan Ilmu
Ilmu yang sejati tumbuh dalam kebersamaan. Sejarah Islam mencatat bahwa para ulama besar tidak belajar sendirian. Mereka berdiskusi, saling menguji pendapat, dan belajar dari kesalahan masing-masing. Imam asy-Syafi’i, misalnya, dikenal sangat menghormati gurunya Imam Malik meski terkadang berbeda pandangan. Perbedaan itu justru memperkaya pemahaman, bukan menimbulkan kebencian.
Ketika seseorang memandang teman sebagai rival, ia menutup pintu saling belajar. Tapi ketika ia melihatnya sebagai saudara sejalan, maka setiap pertemuan menjadi pertukaran cahaya pengetahuan. Kita tumbuh karena melihat cahaya dalam diri orang lain, bukan karena memadamkannya.
Imam al-Māwardī menekankan pentingnya musyarakah (kebersamaan) dalam ilmu. Dalam pandangannya, orang berakal akan selalu mencari teman belajar, karena hanya dengan itu akal bisa terasah dan hati bisa lembut.
Menghindari Racun Iri dan Dengki dalam Belajar
Rasa iri adalah musuh halus dalam dunia ilmu. Ia bisa membuat seseorang rajin belajar bukan karena cinta ilmu, tapi karena ingin mengalahkan orang lain. Padahal, semangat seperti itu hanya menumbuhkan kegelisahan, bukan kebahagiaan.
Allah berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah karuniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.” (QS. An-Nisā’ [4]: 32)
Ayat ini bukan sekadar larangan moral, tapi petunjuk psikologis. Iri membuat hati lelah dan menutup pintu syukur. Bila kita bisa mensyukuri kelebihan teman, maka Allah akan melapangkan rezeki ilmu kita sendiri.
Sebaliknya, ketika iri menguasai hati, maka yang lahir adalah kebencian yang menyamar sebagai ambisi. Kita belajar bukan lagi untuk memahami, tapi untuk menandingi. Di situlah ilmu kehilangan berkahnya.
Belajar untuk Saling Menyembuhkan
Teman belajar adalah penyeimbang dalam perjalanan mencari ilmu. Saat kita lemah, ia menguatkan. Saat kita sombong, ia menegur. Dalam relasi itu, kita saling menyembuhkan kekurangan masing-masing.
Imam al-Māwardī menerangkan:
مَنْ صَحِبَ الْأَخْيَارَ سَعِدَ وَمَنْ صَحِبَ الْأَشْرَارَ شَقِيَ
“Barang siapa bersahabat dengan orang baik, ia akan berbahagia; dan barang siapa bersahabat dengan orang buruk, ia akan celaka.”
Teman yang baik akan membuat hati tenang dan pikiran jernih. Ia tidak menuntut kita untuk selalu sempurna, tapi menuntun kita agar terus belajar. Dalam pandangan Islam, persahabatan yang dibangun di atas keikhlasan akan berlanjut hingga akhirat, sebagaimana disebut dalam firman Allah:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Pada hari itu, teman-teman karib akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 67)
Persahabatan yang lahir dari takwa menjadikan belajar sebagai ibadah, bukan perlombaan.
Penutup: Cermin yang Menuntun pada Cahaya
Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan merasa lebih hebat dari orang lain. Setiap teman belajar adalah karunia yang memperlihatkan wajah diri kita sendiri—ada yang mencerminkan kesabaran, ada yang memperlihatkan keikhlasan, ada pula yang menunjukkan sisi lemah yang perlu diperbaiki.
Ketika kita melihat teman sebagai cermin, bukan rival, maka kita tidak akan pernah sendirian dalam belajar. Kita akan berjalan bersama, saling menuntun menuju cahaya. Karena ilmu sejati bukan milik mereka yang menang, tapi milik mereka yang mau tumbuh bersama.
Jadi, jangan jadikan temanmu lawan. Jadikan ia cermin. Sebab dalam pantulan dirinya, Tuhan sedang memperlihatkan caramu untuk menjadi lebih baik.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
