Surau.co. Kita hidup di zaman yang disebut era informasi, di mana pengetahuan dapat diakses hanya dengan sentuhan jari. Namun, paradoksnya, semakin banyak orang berilmu, semakin sering kita menyaksikan kekacauan moral dan spiritual. Ada yang menguasai teori kebaikan, tapi sulit berbuat baik. Ada yang fasih bicara etika, tapi gagal menjaga adab. Di titik inilah kita perlu bertanya dengan jujur: kapan ilmu menjadi cahaya, dan kapan ia berubah menjadi beban?
Dalam pandangan Islam, ilmu bukan sekadar tumpukan pengetahuan, tetapi jalan menuju kebijaksanaan dan ketundukan kepada Allah. Ilmu sejati seharusnya menerangi hati, bukan menambah kesombongan. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama (orang-orang berilmu).”
(QS. Fāṭir [35]: 28)
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu yang benar akan melahirkan rasa takut kepada Allah, bukan kesombongan atau kebutaan moral. Artinya, ilmu hanya menjadi cahaya bila ia menuntun kepada takwa.
Ilmu Sebagai Cahaya: Petunjuk Menuju Kebenaran
Ilmu dalam Islam selalu diasosiasikan dengan nur (cahaya). Sebab, cahaya memberi arah, mengusir kegelapan, dan membimbing langkah manusia agar tidak tersesat. Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa ilmu bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi perjalanan spiritual menuju kebenaran. Cahaya ilmu menuntun manusia mengenal dirinya dan Tuhannya. Ia membuat seseorang rendah hati, sadar akan keterbatasan, dan haus akan makna.
Dalam kehidupan sehari-hari, cahaya ilmu tampak pada orang yang menjadikan pengetahuannya sebagai alat untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Seorang guru yang ikhlas mendidik tanpa pamrih, seorang ilmuwan yang meneliti untuk kemaslahatan umat, atau seorang penulis yang menebar kebaikan melalui kata—semua itu contoh nyata ilmu yang menjadi cahaya. Ilmu yang menyinari tidak hanya otak, tetapi juga hati dan amal.
Ilmu yang Berubah Jadi Beban: Saat Pengetahuan Menyombongkan
Namun, tidak semua ilmu membawa cahaya. Ada ilmu yang justru menimbulkan kegelapan batin. Ketika seseorang menuntut ilmu hanya untuk gengsi, kekuasaan, atau kebanggaan diri, maka ilmunya berubah menjadi beban berat di dunia dan akhirat.
Rasulullah ﷺ memperingatkan:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، أَوْ يُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Barang siapa menuntut ilmu untuk berdebat dengan ulama, untuk membodohi orang bodoh, atau untuk menarik perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”
(HR. Ibnu Mājah)
Ilmu menjadi beban ketika hilang keikhlasan. Orang yang belajar hanya demi reputasi akan terus haus pengakuan, merasa paling benar, dan sulit menerima kebenaran dari orang lain. Pengetahuan yang seharusnya menuntun malah menjeratnya dalam kesombongan.
Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِغَيْرِ الْعَمَلِ، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللَّهِ إِلَّا بُعْدًا
“Barang siapa menuntut ilmu tanpa niat untuk diamalkan, maka ia tidak akan bertambah dekat kepada Allah kecuali semakin jauh.”
Betapa tajam peringatan ini. Ilmu yang tidak diiringi amal bukan saja sia-sia, tapi bisa menjauhkan seseorang dari Allah. Karena ilmu tanpa keikhlasan hanya menambah beban tanggung jawab moral yang tak terbayar.
Ketika Cahaya Ilmu Redup oleh Ego
Cahaya ilmu bisa padam bukan karena ilmunya salah, tapi karena ego yang membungkusnya. Ketika seseorang merasa paling tahu, ia berhenti belajar. Padahal, kerendahan hati adalah syarat utama ilmu tumbuh. Imam Malik pernah berkata, “Semakin aku belajar, semakin aku sadar bahwa aku tidak tahu.”
Fenomena ini terlihat nyata hari ini. Banyak orang lebih gemar berdebat daripada memahami, lebih sibuk menunjukkan kepintaran daripada mengasah kebijaksanaan. Media sosial memperparahnya: setiap orang bisa bicara apa saja, merasa benar sendiri, tanpa proses refleksi mendalam. Akhirnya, ilmu yang seharusnya mencerahkan berubah menjadi alat penyerangan dan penghakiman.
Ilmu yang menjadi beban sering melahirkan arogansi intelektual. Ia membuat manusia lupa bahwa di atas setiap orang berilmu masih ada yang lebih berilmu. Allah ﷻ berfirman:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas setiap orang yang berilmu masih ada yang lebih mengetahui.”
(QS. Yūsuf [12]: 76)
Ayat ini mengajarkan kesadaran akan keterbatasan diri. Ilmu yang sejati tidak membuat sombong, tetapi membuat seseorang semakin tunduk dan beradab.
Ilmu dan Adab: Dua Sisi yang Tak Terpisahkan
Dalam tradisi Islam, ilmu selalu diiringi dengan adab. Adab adalah cara seseorang memperlakukan ilmu dengan hormat: kepada guru, kepada sesama, dan kepada kebenaran itu sendiri. Tanpa adab, ilmu akan kehilangan ruhnya.
Imam Al-Mawardi menulis dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang melahirkan amal dan memperindah akhlak. Beliau berkata:
العِلْمُ يَدْعُو إِلَى العَمَلِ، فَإِنْ أُجِيبَ إِلَيْهِ وَإِلَّا ارْتَحَلَ
“Ilmu akan mengajak kepada amal. Jika ajakannya ditolak, maka ilmu itu akan pergi.”
Artinya, ilmu yang tidak diamalkan akan kehilangan keberkahan. Seorang pelajar yang berilmu tapi tidak berakhlak sejatinya telah kehilangan separuh makna dari ilmu itu sendiri.
Ketika seseorang berilmu tanpa adab, ia mudah meremehkan, menuduh, bahkan menyakiti dengan kata-kata. Tetapi orang yang berilmu dengan adab, ia menebar kesejukan. Ilmunya menjadi cahaya bagi sekitarnya, bukan bara yang membakar.
Ilmu dan Keikhlasan: Pondasi Agar Tetap Bersinar
Setiap cahaya butuh sumber energi. Cahaya ilmu pun demikian — sumbernya adalah niat yang ikhlas. Tanpa niat yang benar, ilmu akan padam, meninggalkan kegelapan hati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ
“Barang siapa mempelajari ilmu yang seharusnya dicari untuk mencari ridha Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk memperoleh keuntungan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga.”
(HR. Abu Dawud)
Keikhlasan menjadikan ilmu ringan, karena tujuannya bukan lagi pujian manusia, melainkan keridhaan Allah. Orang yang ikhlas dalam belajar akan merasa bahagia bahkan saat gagal, sebab yang ia cari bukan hasil duniawi, melainkan keberkahan.
Refleksi: Dari Pengetahuan Menuju Kebijaksanaan
Ada perbedaan besar antara mengetahui banyak hal dan menjadi bijaksana. Pengetahuan hanya mengisi kepala, sedangkan kebijaksanaan mengisi hati. Ilmu yang sejati bukan yang membuat seseorang bangga, tetapi yang membuatnya sadar dan lembut terhadap sesama.
Belajar seumur hidup berarti menapaki jalan cahaya yang tak pernah usai. Setiap kali ilmu datang, ia harus disambut dengan kerendahan hati dan rasa syukur. Karena tanpa itu, cahaya ilmu bisa berbalik menjadi beban yang menghancurkan.
Penutup: Menjaga Cahaya Agar Tak Redup
Ilmu adalah anugerah. Tapi seperti api, ia bisa menghangatkan sekaligus membakar. Semua bergantung pada niat, adab, dan keikhlasan dalam menjaganya.
Kapan ilmu jadi cahaya? Saat ia mendekatkan kita kepada Allah dan menumbuhkan kebaikan. Kapan ia jadi beban? Saat ia menjauhkan kita dari amal dan menumbuhkan kesombongan.
Mari kita jaga ilmu agar tetap menjadi pelita, bukan bara. Sebab, sebagaimana cahaya menerangi gelap malam, ilmu yang ikhlas akan menerangi langkah hidup menuju ridha-Nya.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ عِلْمَنَا نُورًا وَزِدْنَا هُدًى
“Ya Allah, jadikanlah ilmu kami sebagai cahaya dan tambahkanlah kami petunjuk.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqrp’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
