Khazanah
Beranda » Berita » Empat Golongan Manusia dalam Makna Ibadah dan Isti‘anah Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Empat Golongan Manusia dalam Makna Ibadah dan Isti‘anah Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Ilustrasi seorang hamba yang bersujud pada pencipta.
Ilustrasi seorang hamba yang bersujud pada pencipta.

SURAU.CO– Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, menuiskan terkait pembagian manusia menjadi empat golongan berdasarkan dua dasar utama: ibadah dan isti‘anah (memohon pertolongan).

Golongan Ahli Ibadah dan Isti‘anah kepada Allah

Golongan pertama adalah mereka yang beribadah sekaligus memohon pertolongan kepada Allah. Inilah kelompok manusia yang paling mulia dan paling tinggi derajatnya. Mereka menjadikan ibadah kepada Allah sebagai tujuan hidup, dan mereka terus memohon agar Allah menolong serta memberi taufik untuk melaksanakan ibadah itu dengan sempurna.

Oleh karena itu, doa yang paling utama adalah permohonan agar Allah menolong seseorang dalam beribadah sesuai dengan keridhaan-Nya. Rasulullah Saw. mengajarkan doa ini kepada sahabat yang beliau cintai, Mu‘adz bin Jabal r.a., seraya bersabda:

“Wahai Mu‘adz, demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau lalai untuk mengucapkan seusai setiap salat: ‘Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik.’”

Doa ini menggambarkan keseimbangan antara penghambaan (ubudiyah) dan ketergantungan (isti‘anah) — dua hal yang menjadi inti hubungan seorang hamba dengan Tuhannya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Golongan yang Tidak Beribadah dan Tidak Memohon Pertolongan kepada Allah

Sebaliknya, golongan kedua adalah mereka yang tidak mengenal ibadah dan tidak mau memohon pertolongan kepada Allah. Mereka menjadi lawan dari golongan pertama. Ketika mereka berdoa atau memohon sesuatu kepada Allah, tujuan mereka bukan untuk mencari keridhaan-Nya, melainkan untuk memuaskan hawa nafsu.

Padahal, semua makhluk — bahkan makhluk yang paling Allah benci, yaitu Iblis — tetap memohon sesuatu kepada-Nya. Allah memang mengabulkan permohonan siapa pun yang Dia kehendaki. Namun, jika permohonan itu tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, maka pengabulan itu justru menjadi sumber penderitaan dan kesesatan.

Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh menilai kemuliaan dirinya dari terkabul atau tidaknya doa. Allah bisa saja mengabulkan permintaan seorang hamba sebagai ujian, bukan sebagai bentuk kemuliaan. Sebaliknya, Allah juga bisa menahan permintaan seorang hamba sebagai tanda kasih sayang dan perlindungan-Nya.

Manusia yang berpikir dangkal sering berprasangka buruk kepada Allah ketika doanya tidak terkabul. Padahal, pemberian dan penolakan dari Allah sama-sama merupakan ujian. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:

“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, ia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Tetapi apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, ia berkata: ‘Tuhanku telah menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.”
(Al-Fajr: 15–16)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Dengan ayat ini, Allah menolak anggapan bahwa kekayaan menunjukkan kemuliaan dan kemiskinan menandakan kehinaan. Allah memberikan harta melimpah kepada orang kafir bukan karena Dia memuliakannya, dan Allah membatasi harta bagi orang beriman bukan karena Dia menghinakannya.

Karena itu, kebahagiaan sejati — baik di dunia maupun di akhirat — tetap bergantung pada makna Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘in: beribadah hanya kepada Allah dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya.

Golongan yang Beribadah tetapi Tidak Menghendaki Isti‘anah

Kategori ketiga adalah orang-orang yang beribadah, tetapi tidak mengandalkan pertolongan Allah.  Golongan ini terbagi menjadi dua kelompok: pertama, kelompok Qadariyah, yang berpendapat bahwa Allah telah memberikan segala sarana bagi manusia untuk beramal — berupa akal, kemampuan, dan petunjuk — sehingga manusia tidak perlu lagi memohon pertolongan kepada Allah. Menurut mereka, setelah Allah menciptakan alat, menunjukkan jalan, dan mengutus para rasul, manusia cukup mengandalkan kemampuannya sendiri.

Kemudian ada kelompok yang memang beribadah, namun tidak sepenuhnya bertawakal dan bersandar kepada Allah. Mereka tidak mengaitkan gerak usaha dengan Dzat yang menggerakkannya. Mereka juga tidak menghubungkan sebab dengan Pembuat sebab, atau alat dengan Pemilik kekuatan.

Kedua kelompok ini kehilangan makna sejati dari isti‘anah, padahal ibadah yang benar hanya bisa tegak dengan pertolongan Allah.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Golongan yang Menyaksikan Kekuasaan Allah tetapi Tidak Taat kepada-Nya

Golongan keempat adalah mereka yang meyakini bahwa hanya Allah yang memberi manfaat dan mudarat, bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dan tidak ada yang mampu menolak takdir-Nya. Namun sayangnya, keyakinan ini tidak mendorong mereka untuk melakukan perbuatan yang Allah cintai dan ridai. Mereka berhenti pada pengakuan terhadap kekuasaan Allah, tetapi tidak melangkah menuju penghambaan dan ketaatan kepada-Nya.

Dengan demikian, mereka tidak mencapai tujuan penciptaan manusia yang sesungguhnya — yaitu beribadah kepada Allah dengan penuh cinta dan ketundukan, serta senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya.

Akhirnya, kebahagiaan hakiki hanya dimiliki oleh mereka yang menegakkan dua pilar kehidupan spiritual: “Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”(St.Diyar)

Referensi: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement