Surau.co. Di zaman ketika pujian terasa lebih mudah diterima daripada kritik, banyak murid—baik di sekolah, pesantren, atau universitas kehidupan—yang menolak ditegur. Padahal, menolak teguran berarti menolak tumbuh. Seseorang bisa tampak cerdas, rajin, dan percaya diri, tapi bila hatinya tertutup dari nasihat, maka semua itu hanya lapisan tipis yang menutupi kebekuan batin.
Belajar sejatinya bukan hanya menghafal ilmu, melainkan melatih jiwa untuk menerima cermin. Karena itu, murid sejati adalah dia yang senang ditegur, bukan dia yang ingin selalu terlihat benar. Teguran adalah cara Tuhan menyapa manusia lewat lisan orang lain, agar manusia tahu di mana ia perlu memperbaiki diri.
Ilmu Tak Akan Bertahan di Hati yang Menolak Nasihat
Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menulis sebuah peringatan halus namun dalam:
وَمَنْ لَمْ يَقْبَلِ النَّصِيحَةَ لَمْ يَنْتَفِعْ بِالْعِلْمِ
“Barang siapa yang tidak mau menerima nasihat, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat dari ilmunya.”
Kalimat itu seperti menampar lembut siapa pun yang merasa cukup dengan kepandaiannya. Menurut al-Māwardī, ilmu tanpa adab adalah kesia-siaan, dan adab tertinggi seorang pelajar adalah kesiapan untuk dikoreksi. Dalam pandangannya, manusia yang menolak nasihat akan kehilangan arah, sebab hatinya menutup pintu bimbingan sebelum hidayah sempat masuk.
Ilmu, sejatinya, adalah cahaya. Tapi cahaya itu hanya bisa masuk ke hati yang bersih dari kesombongan. Setiap kali seseorang menolak ditegur, sebetulnya ia sedang menolak cahaya yang hendak menerangi dirinya sendiri.
Teguran Adalah Bentuk Kasih Sayang, Bukan Penghinaan
Dalam kehidupan pesantren atau ruang belajar mana pun, teguran sering dianggap sebagai bentuk penghinaan. Padahal, bagi yang berjiwa lembut, teguran adalah tanda perhatian. Jika seorang guru mau menegur muridnya, itu artinya sang guru masih peduli pada masa depan murid itu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama itu adalah nasihat.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa nasihat—termasuk teguran—adalah bagian inti dari kehidupan beragama. Seorang murid yang menolak dinasihati berarti menolak inti dari agama itu sendiri. Dalam hubungan spiritual, menolak nasihat sama saja dengan menolak kasih sayang.
Teguran ibarat obat. Rasanya pahit, tapi menyembuhkan. Orang yang berani menegur adalah dokter bagi jiwa kita. Ia mungkin membuat kita tidak nyaman, tapi di balik itu ada niat tulus agar kita sembuh dari kesombongan, lupa diri, atau kebiasaan buruk.
Menolak Teguran, Menyimpan Racun
Ada banyak orang yang tampak baik di luar, tapi batinnya pelan-pelan rusak karena menolak dikritik. Hati yang keras tak bisa disembuhkan oleh ilmu sebanyak apa pun. Ia seperti tanah kering yang tak bisa menumbuhkan benih meskipun air hujan turun terus-menerus.
Imam al-Māwardī menyebutkan bahwa di antara tanda kebodohan adalah ketika seseorang menolak dinasihati karena gengsi atau malu. Dalam satu bagian beliau menulis:
وَمَنْ أَخَذَ الْعِلْمَ مِنْ غَيْرِ تَأَدُّبٍ فَقَدِ اسْتَفْسَدَ بِهِ
“Barang siapa mengambil ilmu tanpa adab, maka ia akan rusak karenanya.”
Menolak teguran berarti mengambil ilmu tanpa adab. Ia mengira sedang belajar, padahal sedang membangun tembok di antara dirinya dan kebenaran. Orang seperti itu mungkin fasih bicara tentang akhlak, tapi sulit sekali mendengarkan kritik yang menyinggung egonya.
Dalam konteks sosial hari ini, banyak yang lebih suka mendengar pujian di media sosial daripada menerima masukan di dunia nyata. Kita hidup di era validasi, bukan evaluasi. Padahal, evaluasi adalah ruang tumbuh, sementara validasi hanya ruang pamer.
Hati yang Terbuka Adalah Kunci Kedewasaan
Setiap murid yang berjiwa besar tahu, teguran bukan musuh, tapi guru tersembunyi. Ia hadir untuk memperluas wawasan kita tentang diri sendiri. Orang yang terbuka terhadap teguran sedang melatih kerendahan hati—dan itu tanda kedewasaan spiritual.
Allah berfirman:
فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ الذِّكْرَى
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzāriyāt [51]: 55)
Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada para dai, tapi juga kepada siapa pun yang ingin menapaki jalan ilmu. Seorang murid yang beriman akan selalu memetik manfaat dari teguran, sekecil apa pun.
Dalam dunia tasawuf, murid yang baik bukan yang selalu paham pelajaran, tapi yang hatinya lembut saat dimarahi gurunya. Kesediaan untuk ditegur adalah bentuk penyerahan diri yang paling indah: penyerahan kepada kebenaran.
Ketika Teguran Menjadi Cermin Diri
Ada momen dalam hidup ketika teguran terasa menyakitkan. Tapi sering kali, rasa sakit itu adalah sinyal bahwa kita sedang berhadapan dengan kebenaran yang belum kita terima sepenuhnya.
Mungkin guru menegur karena kita malas, teman mengingatkan karena kita mulai sombong, atau orang tua menasihati karena kita lupa arah. Semua teguran itu adalah cermin. Jika kita menatapnya dengan hati lapang, kita akan menemukan versi terbaik diri sendiri.
Imam al-Māwardī menulis bahwa orang berakal adalah mereka yang mau memperbaiki diri sebelum ditegur, namun lebih berakal lagi bila setelah ditegur ia tidak marah. Karena di situlah letak kekuatan moral seorang penuntut ilmu—ia tidak menolak kebenaran meski datang dalam bentuk yang keras.
Adab Menerima Teguran: Antara Tunduk dan Tumbuh
Dalam kitabnya, al-Māwardī mengingatkan bahwa adab bukan sekadar tata krama lahiriah, tapi kesediaan batin untuk tunduk pada kebenaran. Teguran, dalam pandangan beliau, adalah latihan batin agar seseorang tidak terjebak dalam kebanggaan diri.
مَنْ لَمْ يُؤَدِّبْ نَفْسَهُ لَمْ يَنْتَفِعْ بِعِلْمِهِ
“Barang siapa tidak mendidik dirinya, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya.”
Kalimat ini menjelaskan bahwa pendidikan sejati bukan sekadar penguasaan teori, tetapi penaklukan ego. Saat seseorang mampu menahan amarah ketika ditegur, sesungguhnya ia sedang mendidik dirinya agar ilmu yang ia miliki menjadi berkat, bukan beban.
Menerima teguran berarti melatih kesabaran. Dan kesabaran adalah pintu kebijaksanaan. Dari situlah tumbuh karakter murid yang beradab—ia tidak cepat tersinggung, tidak mudah marah, dan selalu mengingat bahwa ilmu adalah amanah, bukan panggung kebanggaan.
Penutup: Jadilah Murid yang Lapang Dada
Teguran adalah tanda cinta yang sering disalahpahami. Tuhan menegur manusia lewat banyak cara: dari mulut guru, tulisan seorang teman, bahkan dari kesalahan yang kita buat sendiri. Setiap kali kita mau menerima teguran, sesungguhnya kita sedang membuka ruang bagi Tuhan untuk menata hati kita kembali.
Maka jangan jadi murid yang tidak mau ditegur. Jadilah murid yang siap diperbaiki, sebab dari sanalah tumbuh kebaikan. Jangan takut salah, tapi takutlah bila tak mau dibenarkan. Karena kesalahan yang disadari akan menjadi ilmu, sedangkan kesombongan yang dipertahankan hanya akan menjadi hijab antara kita dan kebenaran.
Teguran bukan aib, tapi anugerah. Dan jiwa yang mau ditegur adalah jiwa yang sedang tumbuh menuju kematangan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
