Khazanah
Beranda » Berita » Muamalah dalam Al-Muwaṭṭa’: Etika Dagang di Kota Nabi

Muamalah dalam Al-Muwaṭṭa’: Etika Dagang di Kota Nabi

Pasar Madinah tempo dulu dalam perspektif muamalah Al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik.
Lukisan realis menggambarkan suasana pasar di masa Nabi ﷺ dengan nuansa damai, memperlihatkan etika jual beli dalam budaya Islam awal.

Surau.co. Muamalah dalam Al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik ibn Anas tidak hanya berbicara soal transaksi dan keuntungan, tetapi tentang ruh moral di balik setiap pertukaran barang dan jasa. Bagi Imām Mālik, ekonomi bukan ruang kosong dari nilai-nilai, melainkan bagian dari ibadah sosial yang harus dijaga kejujuran, keadilan, dan kehalalannya. Dalam konteks Kota Madinah—pusat spiritual sekaligus pusat perdagangan pada masa Nabi ﷺ—muamalah menjadi cermin keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Etika Dagang Sebagai Wujud Keimanan

Imām Mālik memulai pembahasan muamalah dengan menempatkannya sebagai ekspresi iman. Dagang, bagi beliau, bukan sekadar aktivitas mencari rezeki, tetapi ladang ujian akhlak. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan hadis yang menunjukkan pentingnya kejujuran dalam bisnis:

قَالَ مَالِكٌ: بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ»
Imām Mālik berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Buyū‘)

Hadis ini menegaskan bahwa perdagangan yang dijalankan dengan kejujuran mengandung nilai spiritual yang tinggi. Keuntungan dalam pandangan Islam bukan hanya hasil hitung-hitungan pasar, tetapi buah dari integritas moral.

Fenomena sehari-hari pun memperlihatkan relevansi ajaran ini. Di era digital sekarang, banyak bisnis terjebak pada pencitraan palsu dan manipulasi harga. Imām Mālik seakan mengingatkan, di balik setiap transaksi ada tanggung jawab terhadap Allah, bukan hanya terhadap pembeli.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Keadilan dan Larangan Eksploitasi

Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik menguraikan berbagai bentuk transaksi yang dilarang karena mengandung unsur ketidakadilan, seperti gharar (ketidakjelasan), riba (bunga), dan penipuan. Beliau menegaskan bahwa pasar yang sehat adalah yang bebas dari praktik manipulatif.

قَالَ مَالِكٌ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Imām Mālik berkata: Rasulullah ﷺ melarang jual beli yang mengandung ketidakjelasan (gharar).
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Buyū‘)

Makna larangan ini amat luas: seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang belum jelas kualitas, kuantitas, atau keberadaannya. Prinsip ini mencerminkan perlindungan konsumen yang sangat modern—menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam transaksi.

Konteks Madinah sebagai kota dagang memperlihatkan betapa aturan ini membentuk tatanan sosial ekonomi yang adil. Dalam masyarakat modern, semangat ini relevan untuk mencegah praktik spekulatif seperti investasi bodong atau manipulasi harga digital yang sering terjadi di platform daring.

Pasar sebagai Ruang Etika Kolektif

Imām Mālik tidak memandang pasar semata sebagai tempat transaksi, melainkan ruang sosial tempat nilai-nilai Islam diuji. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

قَالَ مَالِكٌ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَدْخُلُ السُّوقَ، فَيَقُولُ: «مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا»
Imām Mālik berkata: Rasulullah ﷺ biasa masuk ke pasar dan bersabda: “Barang siapa menipu kami, maka ia bukan dari golongan kami.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Buyū‘)

Hadis ini memperlihatkan bahwa Nabi ﷺ tidak hanya berdakwah di masjid, tetapi juga di pasar—tempat pertemuan antara moral dan realitas ekonomi. Etika dagang dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari spiritualitas, karena keduanya saling melengkapi: ibadah menanamkan kejujuran, dan kejujuran menghidupkan ibadah.

Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip ini bisa diterapkan dalam bisnis kecil maupun besar. Seorang penjual makanan di pinggir jalan yang menakar dengan benar sejatinya sedang meneladani sunnah Nabi ﷺ sebagaimana diajarkan oleh Imām Mālik. Sementara perusahaan besar yang transparan dan adil terhadap pekerja dan pelanggan sedang menjalankan prinsip muamalah yang luhur.

Larangan Monopoli dan Kepedulian Sosial

Dalam sistem ekonomi Islam, kebebasan pasar bukan berarti kebebasan tanpa batas. Imām Mālik menentang keras praktik ihtikār (monopoli) yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Beliau meriwayatkan hadis:

قَالَ مَالِكٌ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ الِاحْتِكَارِ
Imām Mālik berkata: Rasulullah ﷺ melarang perbuatan menimbun (barang dagangan).
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Buyū‘)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Monopoli, dalam pandangan Imām Mālik, bukan hanya pelanggaran ekonomi, tetapi juga kejahatan sosial. Ia merusak keseimbangan rezeki yang seharusnya terbagi secara adil. Larangan ini sejalan dengan firman Allah:

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.”
(QS. Asy-Syu‘arā’ [26]: 183)

Etika dagang dalam fiqh Mālikī tidak berhenti pada soal halal-haram, tetapi juga menumbuhkan empati sosial. Pedagang yang menolak menimbun barang di tengah kelangkaan sejatinya telah menghidupkan ruh kasih sayang dan keadilan yang menjadi inti ajaran Islam.

Spiritualitas dalam Transaksi: Menghidupkan Keberkahan

Imām Mālik menekankan bahwa keberkahan harta lebih penting daripada jumlahnya. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau menulis:

قَالَ مَالِكٌ: بَارَكَ اللَّهُ فِي التِّجَارَةِ مَا لَمْ تَكُنْ فِيهَا خِيَانَةٌ أَوْ حَلِفٌ كَاذِبٌ
Imām Mālik berkata: “Allah memberkahi perdagangan selama tidak ada kecurangan atau sumpah palsu di dalamnya.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Buyū‘)

Barakah, dalam pandangan beliau, tidak diukur dari besarnya laba, melainkan dari ketenangan hati dan kebermanfaatan bagi orang lain. Pedagang yang jujur akan merasa tenteram karena tahu bahwa setiap keuntungan diperoleh tanpa menzalimi siapa pun.

Fenomena modern memperlihatkan bahwa banyak orang kaya tetapi hatinya gelisah karena rezeki diperoleh dari cara yang curang. Sebaliknya, pedagang kecil yang bertransaksi dengan jujur hidupnya penuh ketenangan. Inilah makna barakah yang diajarkan dalam Al-Muwaṭṭa’.

Penutup: Meneladani Pasar Madinah dalam Zaman Modern

Muamalah dalam Al-Muwaṭṭa’ adalah pelajaran tentang bagaimana iman membentuk etika ekonomi. Imām Mālik menghadirkan panduan hidup yang tidak hanya relevan di pasar Madinah abad ke-8, tetapi juga di dunia global abad ke-21. Prinsip keadilan, kejujuran, dan kepedulian sosial tetap menjadi fondasi bagi perekonomian yang beradab.

Di tengah dunia yang serba cepat dan kompetitif, ajaran Imām Mālik mengingatkan bahwa keberhasilan sejati bukan diukur dari laba, tetapi dari keberkahan. Karena sejatinya, dagang bukan sekadar mencari dunia, melainkan jalan untuk menegakkan nilai-nilai akhirat di tengah hiruk pikuk pasar manusia.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement