Surau.co. Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik ibn Anas menulis dengan ketenangan seorang ahli ilmu dan kedalaman seorang sufi. Beliau memahami bahwa pernikahan tidak selalu berakhir dengan kebahagiaan yang abadi. Ada kalanya cinta yang dulu menghangatkan menjadi dingin, dan keakraban berubah menjadi jarak. Namun, dalam pandangan fiqh Mālikī, bahkan perpisahan pun harus dijalani dengan adab dan etika yang dijaga. Talaq bukanlah ruang untuk dendam, melainkan ujian bagi kedewasaan spiritual.
Makna Talaq dalam Timbangan Syariat
Talaq dalam Al-Muwaṭṭa’ dipahami bukan sebagai alat kekuasaan laki-laki, tetapi sebagai rukhṣah—kelonggaran hukum dalam keadaan tertentu. Imām Mālik memandang talaq sebagai langkah terakhir ketika semua upaya rekonsiliasi telah gagal. Beliau meriwayatkan:
قَالَ مَالِكٌ: الطَّلَاقُ الْمُرَاجَعَةُ مَرَّتَانِ، فَإِذَا طَلَّقَهَا الثَّالِثَةَ فَلَا تَحِلُّ لَهُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Imām Mālik berkata: “Talaq yang masih dapat dirujuk itu dua kali. Apabila suami menjatuhkan talaq yang ketiga, maka tidak halal baginya (rujuk) hingga istrinya menikah dengan suami lain.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb ath-Thalāq)
Keterangan ini menunjukkan bahwa Islam tidak menjadikan talaq sebagai permainan emosi. Ia terikat pada aturan moral dan hukum yang ketat agar manusia tidak mudah mempermainkan ikatan suci. Imām Mālik mengingatkan bahwa talaq adalah pilihan paling berat yang harus diambil dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Fenomena Sehari-hari: Emosi dan Keputusan yang Tergesa
Di masa kini, perpisahan sering kali terjadi karena ego yang tak terkendali. Media sosial memperlihatkan banyak pasangan saling membuka aib, menjadikan perceraian sebagai drama publik. Padahal, dalam fiqh Mālikī, perceraian dilakukan dengan penuh keheningan dan kesadaran spiritual.
Imām Mālik meriwayatkan:
قَالَ مَالِكٌ: مَنْ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهُوَ غَضْبَانُ لَا يُمْلِكُ نَفْسَهُ، فَلَا يَنْفُذُ طَلَاقُهُ
Imām Mālik berkata: “Barang siapa menjatuhkan talaq kepada istrinya dalam keadaan sangat marah hingga ia tidak menguasai dirinya, maka talaqnya tidak sah.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb ath-Thalāq)
Hadis ini memberi pelajaran penting: talaq tidak boleh diucapkan di tengah badai emosi. Islam mengajarkan bahwa keputusan besar harus lahir dari akal yang jernih, bukan dari ledakan amarah. Karena perpisahan, bila dijalankan tanpa kesadaran, hanya meninggalkan luka batin dan penyesalan panjang.
Rekonsiliasi: Jalan Tengah yang Penuh Hikmah
Salah satu keindahan ajaran fiqh Mālikī adalah penekanannya pada ishlāḥ—upaya rekonsiliasi sebelum perceraian final. Imām Mālik memandang bahwa setiap rumah tangga masih memiliki peluang untuk sembuh selama niat baik masih hidup.
Beliau meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «إِنَّ أَبْغَضَ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ»
Rasulullah ﷺ bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb ath-Thalāq)
Makna hadis ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mengingatkan bahwa Allah mencintai perdamaian lebih daripada perpisahan. Imām Mālik kemudian menegaskan bahwa jika masih ada ruang untuk dialog dan maaf, maka rekonsiliasi lebih utama daripada talaq. Bahkan dalam proses talaq pun, seorang suami dianjurkan memperlakukan istrinya dengan lembut dan penuh kehormatan.
Etika dalam Perpisahan: Menjaga Martabat dan Rahmah
Salah satu prinsip etika talaq dalam Al-Muwaṭṭa’ adalah menjaga rahmah—kasih sayang—bahkan di tengah perpisahan. Imām Mālik mengutip firman Allah sebagai panduan etis:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir masa iddahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 231)
Bagi Imām Mālik, ayat ini adalah pedoman moral yang harus dipegang setiap mukmin. Perceraian bukan alasan untuk menelanjangi aib, menebar kebencian, atau memutus silaturahmi. Talaq bi ma‘rūf berarti menjaga akhlak hingga akhir hubungan, karena kehormatan seseorang tetap dijaga di hadapan Allah.
Dimensi Sosial dari Etika Talaq
Fiqh Mālikī memahami talaq bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga persoalan sosial. Perceraian bisa menimbulkan dampak luas terhadap anak, keluarga besar, dan masyarakat. Oleh karena itu, Imām Mālik menekankan pentingnya syahādah (saksi) dalam proses talaq agar keabsahan dan keadilannya terjamin.
Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau menulis:
قَالَ مَالِكٌ: لَا بُدَّ مِنَ الشُّهُودِ فِي الطَّلَاقِ، وَهُوَ مِنْ أَسْبَابِ الْعَدْلِ بَيْنَ النَّاسِ
Imām Mālik berkata: “Wajib adanya saksi dalam talaq, karena hal itu termasuk bagian dari keadilan di antara manusia.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb ath-Thalāq)
Dengan begitu, perceraian tidak menjadi urusan sembunyi-sembunyi, melainkan proses hukum dan moral yang diatur agar tidak melahirkan fitnah atau ketidakadilan.
Belajar dari Keheningan: Ketika Cinta Menemukan Jalan Lain
Dalam kehidupan modern, banyak pasangan yang berpisah tanpa bimbingan spiritual. Namun, Imām Mālik menunjukkan bahwa bahkan dalam perpisahan, ada ruang untuk kedewasaan iman. Perpisahan yang dijalani dengan ikhlas bisa menjadi jalan untuk menemukan kembali makna kasih, bukan sebagai akhir dari cinta, melainkan bentuk baru dari kasih yang matang dan tenang.
Islam, menurut fiqh Mālikī, tidak hanya mengatur tentang bersatunya dua insan, tetapi juga bagaimana mereka berpisah dengan kehormatan. Seorang mukmin tidak menutup pintu kasih, bahkan kepada orang yang pernah meninggalkan luka. Karena dalam pandangan Allah, rahmah lebih tinggi dari amarah, dan maaf lebih kuat dari dendam.
Penutup: Menjaga Adab dalam Setiap Akhir
Imām Mālik mengajarkan bahwa talaq adalah ujian bagi iman. Ia menguji apakah manusia masih mampu berlaku adil di tengah kecewa, apakah masih sanggup menjaga rahmah meski cinta telah pudar. Dalam Al-Muwaṭṭa’, talaq tidak pernah dimuliakan, tetapi juga tidak diharamkan—ia sekadar ruang bagi manusia untuk belajar tentang batas cinta dan kebesaran hati.
Etika talaq menurut fiqh Mālikī bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang bagaimana manusia menjaga dirinya agar tetap mulia bahkan di saat kehilangan. Karena sejatinya, perpisahan yang dilakukan dengan adab adalah bentuk tertinggi dari cinta yang telah matang.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
