Khazanah
Beranda » Berita » Nikah dalam Al-Muwaṭṭa’: Antara Akad, Kasih, dan Tanggung Jawab

Nikah dalam Al-Muwaṭṭa’: Antara Akad, Kasih, dan Tanggung Jawab

Pasangan muslim merefleksikan makna nikah dalam Al-Muwaṭṭa’ karya Imam Mālik.
Gambar ini menggambarkan pasangan yang sedang merenung bersama, simbol keseimbangan antara cinta dan tanggung jawab sebagaimana diajarkan dalam Al-Muwaṭṭa’.

Surau.co. Pernikahan selalu menjadi bab istimewa dalam kehidupan manusia. Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik ibn Anas menulis dengan penuh kebijaksanaan tentang bagaimana nikah bukan sekadar akad legal, tetapi juga perjanjian sakral yang mengandung kasih dan tanggung jawab. Dalam pandangan beliau, pernikahan bukan hanya urusan dua insan, melainkan juga urusan kehormatan, kemanusiaan, dan pengabdian kepada Allah.

Akad: Simbol Kesakralan dan Tanggung Jawab

Nikah dalam Al-Muwaṭṭa’ digambarkan sebagai akad yang menghadirkan makna spiritual mendalam. Akad bukan hanya ijab dan qabul di hadapan wali dan saksi, melainkan pernyataan kesungguhan antara dua jiwa untuk hidup bersama dalam ridha Allah. Imām Mālik menekankan pentingnya niyyah (niat) dan maslahah (kebaikan) dalam setiap pernikahan.

Dalam salah satu riwayat yang diriwayatkan beliau:

قَالَ مَالِكٌ: سُنَّةُ النِّكَاحِ الْإِعْلَانُ وَالْوَلِيمَةُ
Imām Mālik berkata: “Sunnah dalam pernikahan adalah pengumuman dan walimah.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb an-Nikāḥ)

Maknanya, pernikahan bukan peristiwa yang disembunyikan, tetapi disyiarkan sebagai bentuk penghormatan terhadap sunnah Rasulullah ﷺ. Dengan pengumuman dan walimah, masyarakat menjadi saksi atas lahirnya ikatan yang halal, menghapus dugaan buruk, dan menumbuhkan keberkahan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kasih yang Menghidupkan Rumah Tangga

Kasih adalah napas dari sebuah pernikahan. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak pasangan yang memulai rumah tangga dengan cinta yang berapi-api, namun redup oleh rutinitas. Imām Mālik memandang kasih sebagai sesuatu yang tidak hanya lahir dari emosi, tetapi juga dari rahmah—belas kasih yang bersumber dari iman.

Dalam riwayat lain disebutkan:

بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»
Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb an-Nikāḥ)

Kasih dalam pandangan Imām Mālik bukanlah kelembutan yang lemah, melainkan kekuatan untuk memahami, memaafkan, dan memelihara. Ia lahir dari kesadaran spiritual bahwa pasangan adalah amanah. Inilah yang menjadikan pernikahan bukan sekadar romantisme, tetapi ibadah yang menuntun menuju ketenangan (sakinah).

Antara Hak dan Kewajiban: Menyemai Tanggung Jawab

Dalam Al-Muwaṭṭa’, tanggung jawab suami-istri dibahas secara seimbang. Suami memikul amanah untuk memberi nafkah lahir dan batin, sementara istri menjaga kehormatan rumah tangga. Namun, keduanya tidak berjalan secara kaku. Imām Mālik menekankan prinsip ‘adl (keadilan) dan ihsān (kebaikan).

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Beliau meriwayatkan:

قَالَ مَالِكٌ: لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَامْرَأَتِهِ إِلَّا بِالْعَدْلِ
Imām Mālik berkata: “Tidak boleh dipisahkan antara suami dan istrinya kecuali dengan keadilan.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb at-Ṭalāq)

Pesan moralnya jelas: tanggung jawab tidak berhenti pada pernikahan yang berjalan baik. Bahkan ketika hubungan harus berakhir, keadilan dan adab harus tetap dijaga. Inilah cerminan Islam yang menjunjung martabat manusia hingga pada detik perpisahan.

Kasih Sebagai Bentuk Pengabdian kepada Allah

Kasih sayang suami istri dalam pandangan Imām Mālik tidak semata hubungan emosional, tetapi jalan spiritual menuju Allah. Pernikahan adalah tempat di mana dua jiwa saling menolong dalam ketaatan. Ia menjadi ruang pendidikan, tempat cinta tumbuh bersama iman.

Imām Mālik meriwayatkan sebuah hadis:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Rasulullah ﷺ bersabda: “Menikahlah dengan perempuan yang penuh kasih dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hari kiamat.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb an-Nikāḥ)

Pesan hadis ini bukan sekadar ajakan memperbanyak keturunan, melainkan ajakan untuk menumbuhkan kasih yang produktif. Kasih yang melahirkan kebaikan, ilmu, dan amal saleh dalam keluarga.

Pernikahan sebagai Madrasah Kehidupan

Dalam dunia modern, banyak pasangan menghadapi tantangan baru—tekanan ekonomi, kesibukan digital, hingga konflik nilai. Namun, ajaran Imām Mālik dalam Al-Muwaṭṭa’ tetap relevan: pernikahan harus menjadi madrasah tempat belajar kesabaran, kejujuran, dan tanggung jawab.

Ayat Al-Qur’an yang selaras dengan semangat ini adalah firman Allah:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rūm [30]: 21)

Ayat ini menjadi fondasi seluruh pandangan Imām Mālik tentang pernikahan: bahwa kasih adalah tanda kebesaran Allah, dan tanggung jawab adalah bukti kesungguhan iman.

Penutup: Menikah dengan Kesadaran, Bukan Sekadar Keinginan

Nikah dalam Al-Muwaṭṭa’ bukan hanya ikatan sosial, tetapi perjanjian spiritual. Ia menuntut kesadaran penuh, kasih yang terus dirawat, dan tanggung jawab yang tidak lekang oleh waktu. Imām Mālik mengajarkan bahwa rumah tangga bukan tempat mencari kesempurnaan pasangan, melainkan tempat berlatih menjadi hamba yang lebih matang dalam cinta dan iman.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement