SURAU.CO– Cakupan makna ayat Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘in dalam Al-Fatihah terhadap seluruh makna Al-Qur’an, ibadah, dan isti‘anah menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah begitu luas. Rahasia penciptaan, perintah, kitab-kitab, syariat, pahala, dan siksa seluruhnya berpangkal pada dua kalimat ini. Kedua kalimat ini menjadi inti dari ubudiyah dan tauhid.
Sebagian ulama bahkan berkata bahwa Allah menurunkan seratus empat kitab. Makna-makna dari semua kitab itu terkandung dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Selanjutnya, makna dari ketiga kitab itu tersimpul dalam Al-Qur’an. Makna-makna Al-Qur’an teringkas dalam surat-surat pendek. Kemudian, seluruh makna surat-surat pendek itu terhimpun dalam surat Al-Fatihah, dan makna Al-Fatihah terpusat pada ayat Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘in.
Ayat ini terbagi menjadi dua bagian: bagian pertama untuk Allah, yaitu Iyyaka Na‘budu (Hanya kepada-Mu kami beribadah), dan bagian kedua untuk hamba-Nya, yaitu Iyyaka Nasta‘in (Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).
Makna Ibadah dan Hubungannya dengan Tauhid
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyatakan bahwa ibadah mengandung dua dasar utama: cinta dan ketundukan. Menyembah berarti merendahkan diri serta tunduk kepada Allah.
Seseorang tidak dapat disebut menyembah apabila ia mengaku cinta kepada Allah tetapi tidak tunduk kepada-Nya. Sebaliknya, bila ia tunduk tanpa rasa cinta, ia juga belum menjadi seorang penyembah sejati. Seorang hamba disebut beribadah hanya ketika ia memadukan cinta dan ketundukan.
Karena itu, orang-orang yang menolak adanya cinta hamba kepada Allah sebenarnya menolak hakikat ubudiyah. Mereka juga menolak keberadaan Allah sebagai Zat yang dicintai. Penolakan semacam ini pada hakikatnya juga menolak Allah sebagai Ilah (sesembahan), meskipun mereka mengakui-Nya sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta.
Mereka hanya mengakui tauhid rububiyah, sebagaimana pengakuan bangsa Arab dahulu. Namun, pengakuan seperti itu belum mengeluarkan mereka dari kesyirikan, sebagaimana firman Allah:
“Dan sungguh jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ niscaya mereka menjawab, ‘Allah’.”(Az-Zumar: 38)
Makna Isti‘anah dan Kaitannya dengan Tawakal
Isti‘anah (memohon pertolongan) juga memiliki dua dasar: kepercayaan kepada Allah dan penyandaran diri kepada-Nya.
Terkadang seseorang mempercayai orang lain, tetapi ia tidak menyandarkan urusannya kepadanya karena merasa tidak membutuhkan bantuannya. Sebaliknya, ada pula orang yang menyandarkan seluruh urusannya kepada seseorang, namun tanpa rasa percaya, karena ia merasa tidak memiliki pilihan lain.
Dengan demikian, isti‘anah yang sempurna hanya terwujud ketika seseorang menggabungkan kepercayaan dan penyandaran penuh kepada Allah.
Dua dasar ini juga menjadi hakikat tawakal, yang merupakan makna mendalam dari Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘in. Al-Qur’an sering menyebutkan dua hal ini secara berurutan, misalnya dalam firman Allah:
“Dan kepunyaan Allahlah apa yang gaib di langit dan di bumi. Kepada-Nyalah dikembalikan segala urusan, maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.”
(Hud: 123)
Hikmah Didahulukannya Ibadah atas Isti‘anah
Dalam surat Al-Fatihah, Allah mendahulukan kata Iyyaka Na‘budu sebelum Iyyaka Nasta‘in. Urutan ini bukan kebetulan, melainkan menggambarkan bahwa tujuan harus lebih kita dahulukan daripada sarana. Beberapa alasan logis Ibnu Qayyim Al- dalam hikmah tersebut yakni : Ibadah merupakan tujuan penciptaan manusia, sedangkan isti‘anah hanyalah sarana untuk melaksanakan ibadah. Menurutnya Iyyaka Na‘budu berkaitan dengan uluhiyah dan nama Allah (Al-Ilah), sedangkan Iyyaka Nasta‘in berkaitan dengan rububiyah dan nama Ar-Rabb. Karena itu, sebagaimana nama Allah didahulukan dari Ar-Rabb di awal Al-Fatihah, demikian pula urutan dua kalimat ini.
Iyyaka Na‘budu merupakan bagian yang mengandung pujian kepada Allah. Karena Dialah yang berhak untuk kita sembah. Sedangkan Iyyaka Nasta‘in mencerminkan bagian hamba yang memohon kepada-Nya. Kemudian ibadah mencakup isti‘anah, tetapi isti‘anah tidak selalu mencakup ibadah. Seseorang dapat meminta pertolongan kepada Allah tanpa benar-benar beribadah kepada-Nya. Dalam hal ini ibadah hanya dilakukan oleh orang yang ikhlas, sedangkan isti‘anah bisa dilakukan oleh siapa pun, baik yang ikhlas maupun yang tidak.
Ibadah : Hak Allah atas Hamba-Nya
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menuliskan bahwa ibadah merupakan hak Allah atas hamba-Nya, sedangkan isti‘anah merupakan permohonan hamba untuk dapat melaksanakan hak itu. Karena hak harus kita dahulukan daripada permohonan. Ibadah mencerminkan rasa syukur atas nikmat Allah, sedangkan pertolongan (isti‘anah) merupakan bentuk taufik yang Allah berikan. Semakin sempurna ibadah seseorang, semakin besar pula pertolongan Allah kepadanya.
Ada punIyyaka Na‘budu mencerminkan hak Allah, sedangkan Iyyaka Nasta‘in mencerminkan kewajiban Allah dalam arti kemurahan dan pertolongan-Nya kepada hamba. Hak Allah, yang berhubungan dengan cinta dan ridha-Nya, harus kita dahulukan atas kehendak-Nya yang bersifat umum bagi seluruh makhluk.
Dari berbagai rahasia tersebut, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengajak kita memahami dengan jelas hikmah mengapa Allah mendahulukan Iyyaka Na‘budu sebelum Iyyaka Nasta‘in. Ayat ini mengajarkan bahwa ibadah merupakan inti kehidupan manusia, sedangkan pertolongan Allah adalah kekuatan yang memungkinkan manusia menegakkan ibadah dengan sempurna. Dengan demikian, hubungan antara keduanya bersifat saling melengkapi: ibadah menunjukkan penghambaan, dan isti‘anah menunjukkan ketergantungan total kepada Allah.(St.Diyar)
Referensi: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
