Surau.co. Zakat dalam Al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik tidak sekadar kewajiban finansial, melainkan wujud keadilan sosial sekaligus spiritualitas ekonomi. Dalam pandangan fiqh Madinah, zakat berfungsi sebagai sistem moral yang menyeimbangkan hak individu dengan tanggung jawab sosial. Melalui ajaran ini, Imām Mālik menegaskan bahwa Islam menata ekonomi dengan prinsip kasih sayang, keberlanjutan, serta pemerataan.
Di tengah dunia modern yang makin materialistik, gagasan Imām Mālik terasa kian relevan. Kekayaan, menurutnya, tidak boleh berhenti di tangan segelintir orang. Ia harus terus mengalir—seperti darah yang memberi kehidupan—agar masyarakat tetap sehat dan adil.
Makna Zakat dalam Fiqh Madinah: Dari Ritual Menuju Keadilan
Imām Mālik menulis bab zakat dalam Al-Muwaṭṭa’ dengan pendekatan khas Madinah. Ia tidak berhenti pada angka dan hitungan, melainkan menggali nilai-nilai moral di balik ibadah itu. Salah satu riwayat penting menyebutkan:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَحِلُّ صَدَقَةٌ لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ
“Tidak halal sedekah (zakat) bagi orang kaya dan bagi orang yang kuat dan sehat.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Zakāh)
Hadis ini menunjukkan bahwa zakat berperan sebagai mekanisme pemerataan sosial. Islam mengajarkan zakat sebagai ibadah ekonomi yang menyatukan ketaatan spiritual dengan tanggung jawab sosial.
Selain itu, masyarakat Madinah yang menjadi model pemikiran Imām Mālik menjadikan zakat sebagai pengikat solidaritas sosial. Ia mencegah ketimpangan, menumbuhkan empati, dan memperkuat rasa kebersamaan. Melalui zakat, setiap orang belajar bahwa harta hanyalah titipan; sebagian di dalamnya merupakan hak orang lain.
Fenomena Kehidupan: Ketimpangan dan Kealpaan Berbagi
Kini, kita hidup di zaman ketika kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang, sementara banyak yang berjuang sekadar untuk bertahan. Dalam konteks ini, pemikiran Imām Mālik menjadi cermin tajam bagi nurani modern. Ia menegaskan bahwa keseimbangan sosial tak mungkin lahir tanpa keadilan ekonomi yang berakar pada ibadah.
Beliau meriwayatkan:
إِنَّ فِي الْمَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya dalam harta itu terdapat hak selain zakat.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Zakāh)
Ungkapan ini memperlihatkan kedalaman spiritual sekaligus sosial. Zakat hanyalah batas minimal dari tanggung jawab seorang Muslim. Di luar itu, masih ada hak-hak kemanusiaan lain—seperti membantu tetangga, mendukung pendidikan, atau mengentaskan kemiskinan.
Dengan demikian, kekayaan yang tidak dibagi akan menumpulkan nurani. Seseorang akan kehilangan rasa cukup dan terjebak dalam lingkar keserakahan. Karena itu, zakat sejatinya membentuk karakter: mengubah kepemilikan menjadi kedermawanan.
Zakat sebagai Mekanisme Sosial: Menghidupkan Masyarakat Madinah
Dalam fiqh Madinah, zakat berfungsi sebagai instrumen sosial yang hidup dan aktif. Ia tidak berhenti pada transaksi antara muzakki dan mustahiq, melainkan menjadi gerakan yang menjaga keseimbangan masyarakat.
Riwayat berikut memperkuat pandangan tersebut:
إِذَا أُعْطِيَ أَحَدُكُمُ الزَّكَاةَ فَلَا يُسْرِفْ وَلَا يَبْخَلْ
“Apabila kalian memberikan zakat, jangan berlebihan dan jangan pula kikir.”
(Al-Muwaṭṭa’, Ātsār al-Ṣaḥābah)
Imām Mālik mencatat pesan ini untuk menegaskan keseimbangan. Zakat tidak boleh menjadi sarana pamer atau alat politik. Ia adalah ekspresi tanggung jawab terhadap sesama.
Sementara itu, dalam konteks modern, konsep ini dapat diterjemahkan sebagai ekonomi beretika: memberi dengan bijak, tanpa pamrih, dan tepat sasaran. Seperti darah yang mengalir ke seluruh tubuh, zakat menumbuhkan kehidupan di titik-titik paling lemah dalam masyarakat.
Zakat dan Penyucian Diri: Dimensi Ruhani yang Tersembunyi
Selain bernilai sosial, zakat juga berperan membersihkan hati. Imām Mālik memahami kata zakat dalam dua makna: tazkiyah (penyucian) dan numuw (pertumbuhan).
Dalam salah satu riwayat disebutkan:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ تُؤْخَذُ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ فَتُرَدُّ فِي الْفُقَرَاءِ
“Sesungguhnya sedekah (zakat) diambil dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada orang-orang fakir.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Zakāh)
Hadis ini menegaskan dua lapisan makna: secara sosial, zakat mengatur redistribusi ekonomi; secara spiritual, ia membersihkan hati dari penyakit batin. Orang kaya disucikan dari keserakahan, sementara orang miskin dibersihkan dari rasa putus asa. Akibatnya, zakat menjadi jembatan yang memulihkan hubungan antarkelas sosial.
Pada akhirnya, ruh zakat ialah keadilan dan kasih sayang. Melalui zakat, seseorang berlatih berpindah dari cinta harta menuju cinta kemanusiaan.
Refleksi untuk Dunia Modern: Mengembalikan Jiwa Ibadah Ekonomi
Di era kapitalisme global, zakat sering dipahami hanya sebagai angka—sekian persen dari pendapatan yang disalurkan lewat administrasi. Namun, Al-Muwaṭṭa’ mengajarkan bahwa zakat jauh lebih dalam: ia adalah ibadah yang menata nurani.
Ketika zakat dilakukan dengan kesadaran, lahirlah ekonomi rahmah—ekonomi yang berlandaskan empati dan keberlanjutan. Dalam model Madinah, masyarakat tidak hanya bekerja demi diri sendiri, tetapi juga untuk kesejahteraan bersama.
Oleh karena itu, kesejahteraan sejati tidak lahir dari akumulasi, melainkan dari distribusi. Imām Mālik mengingatkan bahwa harta yang disalurkan akan berkembang, sedangkan harta yang disimpan dalam keserakahan justru akan menyusut—baik secara moral maupun spiritual.
Penutup: Keadilan Sosial sebagai Ibadah
Zakat dalam Al-Muwaṭṭa’ mengajarkan keseimbangan antara ibadah dan keadilan sosial. Ia menjadikan ekonomi sebagai medan ibadah, bukan sekadar arena kompetisi.
Firman Allah Swt. menegaskan:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka; dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 103)
Ayat ini sejalan dengan pandangan Imām Mālik: zakat adalah sarana penyucian jiwa sekaligus pemulihan harmoni sosial. Ia menumbuhkan tanggung jawab, menghidupkan semangat berbagi, dan menegakkan keadilan yang berpijak pada kasih sayang.
Dalam dunia yang haus makna, zakat menghadirkan pesan sederhana namun revolusioner: memberi adalah bentuk tertinggi dari memiliki.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
