Surau.co — Dalam pandangan Imām Mālik sebagaimana tertuang dalam Al-Muwaṭṭa’, puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, puasa adalah proses penjernihan jiwa yang menuntun manusia menuju kesadaran ruhani yang lebih tinggi. Dalam tradisi fiqh Madinah yang diwariskannya, Imām Mālik menggambarkan puasa sebagai latihan spiritual yang menyatukan tubuh, hati, dan pikiran agar selaras dengan kehendak Allah. Dengan demikian, puasa tidak berhenti pada kewajiban tahunan, melainkan menjadi jalan menuju keheningan batin dan kedisiplinan moral.
Puasa Sebagai Latihan Kesadaran
Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik meriwayatkan sabda Rasulullah ﷺ:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai. Maka ketika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah ia berkata kotor atau berteriak. Jika seseorang mencacinya atau menyerangnya, hendaklah ia berkata: ‘Aku sedang berpuasa.’”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣiyām)
Hadis ini memperlihatkan bahwa bagi Imām Mālik, puasa bukan sekadar tindakan menahan diri, tetapi latihan kesadaran. Seseorang yang berpuasa dituntut untuk memiliki muraqabah—yakni kesadaran bahwa Allah selalu hadir dan mengawasi setiap geraknya. Karena itu, rasa lapar berfungsi sebagai sarana pendidikan jiwa, bukan penderitaan fisik.
Sayangnya, dalam kehidupan modern, banyak orang menjalani puasa hanya sebagai formalitas sosial. Mereka mampu menahan makan, namun gagal menahan amarah dan ucapan. Di sinilah ajaran Imām Mālik menjadi relevan kembali: hakikat puasa terletak pada pengendalian batin, bukan sekadar penahanan tubuh.
Makna Lapar dalam Tradisi Fiqh Madinah
Imām Mālik hidup di Madinah—sebuah kota yang sejak awal menjadi pusat spiritual Islam. Di tempat itu, fiqh tumbuh bukan dari spekulasi rasional semata, tetapi dari pengalaman hidup yang meneladani Rasulullah dan para sahabat. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan:
إِذَا صَامَ أَحَدُكُمْ فَلْيُقَلِّلِ الْكَلَامَ وَلْيُكْثِرِ الذِّكْرَ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَيْسَ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فَقَطْ
“Apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, hendaklah ia sedikit berbicara dan memperbanyak dzikir, karena puasa bukan hanya meninggalkan makan dan minum.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣiyām)
Riwayat ini menegaskan bahwa puasa berfungsi sebagai tazkiyah—penyucian diri dari kegelapan batin. Lapar tidak menjadi tujuan, melainkan sarana untuk menyingkap kesadaran. Dalam kondisi lapar, manusia mulai mendengar suara jiwanya sendiri dan memahami betapa bergantungnya ia pada Allah. Lebih jauh lagi, ia belajar merasakan empati terhadap mereka yang kekurangan.
Selain itu, masyarakat Madinah pada masa Imām Mālik memahami lapar sebagai bentuk zikir yang diam. Mereka tidak memisahkan spiritualitas dari kehidupan sehari-hari. Setiap rasa haus dan lapar menjadi pengingat bahwa dunia ini fana, sementara ketaatanlah yang kekal.
Puasa dan Kedisiplinan Waktu
Selanjutnya, Imām Mālik menekankan pentingnya disiplin waktu dalam berpuasa. Beliau meriwayatkan sabda Rasulullah ﷺ:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Apabila malam datang dari arah sini, siang pergi dari arah sana, dan matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa telah berbuka.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣiyām)
Hadis ini bukan sekadar penanda waktu berbuka, tetapi juga pelajaran tentang keteraturan dan ketundukan. Melalui disiplin waktu, manusia belajar mengenal batas: kapan harus menahan dan kapan boleh menikmati. Dengan demikian, ritme puasa menjadi cermin keteraturan batin. Orang yang menjaga waktu berbuka dan sahurnya sesungguhnya sedang melatih ketaatan kepada aturan Ilahi dalam segala hal.
Dari Lapar ke Kejernihan Jiwa
Lebih jauh lagi, Imām Mālik menggambarkan puasa sebagai jalan menuju kejernihan batin. Dalam Al-Muwaṭṭa’diriwayatkan:
إِنَّ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَيْنِ: فَرْحَةً عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةً عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣiyām)
Kebahagiaan saat berbuka lahir bukan dari kenikmatan makanan, tetapi dari keberhasilan menundukkan hawa nafsu. Sementara itu, kebahagiaan ketika bertemu Allah merupakan buah dari kesabaran dan keikhlasan yang tumbuh sepanjang proses puasa. Oleh karena itu, puasa menjadi cermin pengenalan diri. Dalam rasa lapar yang diterima dengan syukur, manusia belajar bahwa seluruh kekuatan sejatinya datang dari Allah.
Menemukan Makna di Tengah Kelimpahan
Zaman kita ditandai dengan kelimpahan: makanan, hiburan, dan informasi mengalir tanpa henti. Namun ironisnya, di tengah kelimpahan itu manusia justru kehilangan rasa cukup. Di sinilah pandangan Imām Mālik kembali terasa menyejukkan. Ia mengajarkan bahwa menahan diri adalah bentuk kebebasan sejati.
Selain membebaskan dari hawa nafsu, puasa juga menumbuhkan rasa syukur dan kesederhanaan. Dengan belajar menunda kenikmatan, manusia menemukan kedamaian yang tidak bisa dibeli. Bahkan, dalam dunia yang sibuk mengejar kesenangan, Imām Mālik mengingatkan agar kita kembali ke akar ruhani: membersihkan hati agar mampu merasa cukup.
Penutup: Puasa Sebagai Jalan Kesadaran
Akhirnya, Imām Mālik menempatkan puasa sebagai madrasah ruhani yang mendidik kesabaran, keikhlasan, dan empati. Al-Muwaṭṭa’ memperlihatkan bahwa puasa bukan ritual tahunan, melainkan latihan hidup sepanjang waktu. Dari lapar lahir kesadaran, dan dari kesadaran tumbuh ketenangan.
Sebagaimana firman Allah Swt.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan akhir puasa ialah taqwa—yakni kesadaran yang lahir dari keseimbangan antara tubuh dan jiwa. Dalam pandangan Imām Mālik, taqwa terwujud melalui kesederhanaan dan kesabaran, dua nilai yang tumbuh dari rasa lapar yang diterima dengan penuh syukur.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
