Khazanah
Beranda » Berita » Makna Jamaah dalam Shalat: Pandangan Fiqh Madinah dalam Al-Muwaṭṭa’

Makna Jamaah dalam Shalat: Pandangan Fiqh Madinah dalam Al-Muwaṭṭa’

Jamaah shalat di masjid Madinah dengan saf lurus dan cahaya lembut, menggambarkan kesatuan umat menurut fiqh Imām Mālik.
Para jamaah di masjid Madinah berbaris rapat dalam cahaya subuh, melambangkan harmoni antara ibadah dan persaudaraan.

Surau.co. Makna jamaah dalam shalat menurut Imām Mālik dalam Al-Muwaṭṭa’ bukan sekadar kebersamaan fisik di satu tempat, melainkan kesatuan hati dalam ketundukan kepada Allah. Dalam pandangan fiqh Madinah, jamaah adalah bentuk hidup yang beradab: keteraturan, kesetiaan, dan rasa tanggung jawab sosial. Al-Muwaṭṭa’ menggambarkan jamaah sebagai cermin harmoni antara ibadah dan kehidupan publik, di mana setiap gerakan shalat bersama menciptakan ritme spiritual dan moral masyarakat.

Jamaah sebagai Cermin Kehidupan Sosial Madinah

Imām Mālik menulis dalam Al-Muwaṭṭa’, bahwa Rasulullah ﷺ menekankan pentingnya shalat berjamaah sebagai salah satu bentuk kekuatan umat. Dalam hadis disebutkan:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣalāh)

Hadis ini menunjukkan bukan hanya nilai pahala, tapi makna sosial yang melekat di dalamnya. Dalam masyarakat Madinah yang menjadi model peradaban Islam, jamaah adalah cara membangun keterhubungan antarindividu. Orang-orang bertemu, saling menyapa, dan menyatukan langkah dalam satu saf.

Imām Mālik memahami hal ini sebagai bukti bahwa syariat bukan hanya menata hubungan manusia dengan Allah, tapi juga dengan sesama manusia. Jamaah menjadi perekat sosial; dari shalat yang teratur lahir masyarakat yang teratur.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Fenomena Sehari-hari: Dari Masjid ke Ruang Sosial

Di tengah kesibukan modern, manusia sering kehilangan momen kebersamaan. Orang bekerja sendiri, makan sendiri, bahkan berdoa sendiri. Al-Muwaṭṭa’ mengingatkan bahwa berjamaah adalah latihan spiritual sekaligus sosial: melatih diri untuk tidak egois, untuk menyesuaikan diri dengan irama bersama.

Imām Mālik meriwayatkan bahwa para sahabat Rasulullah ﷺ sangat menjaga jamaah, bahkan dalam keadaan sulit sekalipun:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ الصَّلَاةَ قَامَ النَّاسُ خَلْفَهُ صُفُوفًا مُتَرَاصَّةً
“Sesungguhnya Nabi ﷺ, ketika hendak mendirikan shalat, para sahabat berdiri di belakang beliau dalam barisan yang rapat.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣalāh)

Barisan rapat itu bukan hanya bentuk keteraturan, melainkan simbol kesatuan hati. Tidak ada kelas sosial, tidak ada pangkat atau jabatan — hanya kesetaraan di hadapan Allah. Dalam konteks modern, semangat ini bisa dihidupkan dalam banyak hal: kerja sama, solidaritas, hingga budaya saling menolong di tengah masyarakat yang cenderung individualistik.

Fiqh Madinah: Disiplin, Keteraturan, dan Kebersamaan

Fiqh Madinah yang menjadi landasan pemikiran Imām Mālik lahir dari kebiasaan penduduk kota Nabi yang disiplin terhadap waktu dan jamaah. Mereka memahami bahwa setiap panggilan adzan adalah seruan untuk menata hidup. Dalam salah satu riwayat disebutkan:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

كَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ بِاللَّيْلِ، فَيَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka Rasulullah ﷺ bersabda: Makan dan minumlah hingga Ibn Umm Maktūm mengumandangkan adzan.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣalāh)

Riwayat ini tampak sederhana, tetapi menyiratkan manajemen waktu dan keteraturan hidup masyarakat Madinah. Jamaah bukan hanya pertemuan di masjid, tapi sistem sosial yang membuat manusia hidup selaras dengan waktu, komunitas, dan Tuhannya.

Imām Mālik menjadikan ‘amal ahl al-Madīnah — praktik masyarakat Madinah — sebagai sumber hukum karena ia melihat keterpaduan antara fiqh dan akhlak. Dalam jamaah, fiqh tidak berdiri kering; ia hidup dalam tindakan nyata yang membentuk tatanan sosial.

Makna Spiritual: Kesatuan Hati dalam Saf yang Lurus

Shalat berjamaah juga membentuk kesadaran batin. Imām Mālik menukil riwayat bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ
“Luruskanlah barisan kalian, karena meluruskan barisan termasuk kesempurnaan shalat.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣalāh)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Meluruskan saf adalah simbol meluruskan niat dan hati. Dalam jamaah, setiap individu melebur dalam kebersamaan, menyingkirkan ego pribadi. Tidak ada yang ingin tampil di depan, tidak pula ingin berbeda dari barisan.

Dalam dunia yang penuh perpecahan dan egoisme, pesan ini sangat relevan. Jamaah mengajarkan sinkronisasi hati — bahwa ibadah bukan sekadar gerakan tubuh, tetapi latihan untuk menyatukan arah hidup menuju kebaikan.

Jamaah Sebagai Pendidikan Sosial

Bagi Imām Mālik, shalat berjamaah juga berfungsi sebagai pendidikan sosial yang membentuk karakter umat. Di dalamnya terdapat nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan empati. Orang yang biasa berjamaah akan terbiasa menghormati waktu, menghargai kebersamaan, dan menahan diri dari perpecahan.

Dalam masyarakat Madinah, masjid bukan hanya tempat shalat, tetapi pusat kehidupan: tempat belajar, bermusyawarah, dan memperkuat solidaritas. Jamaah menjadi titik awal membangun masyarakat beradab.

Kesalehan pribadi yang tidak melahirkan kepedulian sosial dianggap belum lengkap. Itulah sebabnya Imām Mālik memandang jamaah sebagai bentuk paling nyata dari iman yang beramal.

Penutup: Jamaah, Wajah Madinah yang Menyatu

Makna jamaah dalam shalat menurut Imām Mālik adalah wajah Islam yang menyatukan dimensi spiritual dan sosial. Ia menumbuhkan disiplin, membentuk solidaritas, dan meneguhkan rasa kesetaraan. Dalam fiqh Madinah, jamaah adalah miniatur masyarakat ideal — di mana kesalehan pribadi berpadu dengan keteraturan sosial.

Allah Swt. berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpeganglah kamu semua kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Āli ʿImrān: 103)

Ayat ini seolah menegaskan pesan Al-Muwaṭṭa’: kebersamaan adalah jalan menuju kekuatan iman. Dalam saf yang lurus, dalam sujud yang serempak, manusia belajar menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar — jamaah menuju Allah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement