Surau.co. Kesucian menurut Imām Mālik dalam Al-Muwaṭṭa’ tidak sekadar persoalan bersih dari kotoran, melainkan proses penyucian diri secara lahir dan batin. Fiqh Madinah yang beliau bangun meletakkan thaharah sebagai fondasi ibadah dan karakter, sebab tidak ada kedekatan kepada Allah tanpa kebersihan hati, niat, dan adab. Dalam kehidupan sehari-hari, konsep kesucian ini bukan hanya tentang air yang menyentuh kulit, tapi juga tentang bagaimana kesadaran spiritual menembus keseharian kita—dari cara berwudhu hingga menjaga etika diri.
Air Sebagai Simbol Kehidupan dan Rahmat
Imām Mālik membuka pembahasan tentang thaharah dalam Al-Muwaṭṭa’ dengan bab Al-Wuḍū’, menekankan peran air sebagai sarana penyucian yang diakui syariat. Air bukan hanya benda fisik, tapi simbol rahmat yang menghidupkan jiwa.
إِذَا وُجِدَ الْمَاءُ فَلاَ يُتَيَمَّمُ
“Jika ada air, maka janganlah bertayammum.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṭahārah)
Hadis ini tampak sederhana, namun di baliknya ada prinsip mendalam: selama rahmat (air) tersedia, manusia tidak boleh mencari jalan pintas. Ia harus menjalani proses penyucian dengan sempurna. Dalam konteks spiritual, ini mengajarkan agar manusia tidak tergesa mencari keringanan sebelum berikhtiar dengan maksimal.
Air dalam pandangan Imām Mālik adalah metafora ketaatan. Sebagaimana air mengalir membersihkan, begitu pula iman yang jernih menembus kotoran hati. Maka, menjaga kesucian lahir sejatinya adalah menjaga kejernihan batin.
Niat: Gerak Hati Sebelum Gerak Air
Kesucian menurut Imām Mālik tidak hanya bergantung pada air, tetapi pada niat yang mengiringinya. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan hadis terkenal:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapat sesuai dengan niatnya.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Niyyah)
Imām Mālik memahami bahwa niat adalah awal dari kesucian batin. Wudhu yang sempurna tanpa niat yang benar hanyalah gerakan fisik tanpa makna. Sebaliknya, niat yang ikhlas menjadikan setiap tetes air bernilai ibadah.
Dalam kehidupan modern, kita sering terjebak dalam rutinitas: shalat karena kebiasaan, wudhu karena kewajiban. Namun ajaran Imām Mālik mengingatkan: tanpa niat, ibadah hanyalah ritual kosong. Ia mengajarkan agar setiap kali kita menyentuh air wudhu, kita juga menyentuh kesadaran bahwa kebersihan diri adalah dialog spiritual dengan Allah.
Adab Thaharah: Lebih dari Sekadar Bersuci
Imām Mālik menempatkan adab sebagai bagian integral dari kesucian. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki cara berwudhu yang tenang, tidak berlebihan, dan penuh rasa hormat.
إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَتَوَضَّأُ بِمُدٍّ وَيَغْتَسِلُ بِصَاعٍ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ
“Sesungguhnya Nabi ﷺ berwudhu dengan satu mud (takaran air) dan mandi dengan satu sha‘ hingga lima mud.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṭahārah)
Hadis ini menampilkan keteladanan ekologis Nabi ﷺ yang juga menjadi nilai Madinah: kesederhanaan. Air digunakan secukupnya, bukan berlebih. Kesucian bukan tentang banyaknya air, melainkan tentang kebersihan niat dan sikap. Imām Mālik menekankan bahwa adab dalam bersuci adalah tanda kefahaman spiritual. Orang yang berlebihan dalam wudhu sebenarnya telah melampaui batas rahmat.
Di dunia modern yang rentan boros, pesan ini terasa relevan. Menghemat air bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga ibadah ekologis—cara menjaga amanah Allah terhadap bumi.
Kesucian yang Melampaui Fisik
Kesucian menurut Imām Mālik tidak berhenti di kulit. Ia menjalar ke dalam perilaku. Dalam salah satu riwayat, beliau menukil sabda Nabi ﷺ:
الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ
“Kesucian adalah separuh dari iman.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣalāh)
Ungkapan ini bukan metafora retoris, tetapi prinsip hidup. Iman bukan hanya keyakinan, tetapi tindakan menjaga kebersihan, etika, dan niat. Seorang yang beriman seharusnya tampak dalam kerapian, kesopanan, dan ketertiban hidupnya.
Kesucian menjadi cara menjaga martabat manusia. Orang yang menjaga thaharah berarti menjaga citra dirinya di hadapan manusia dan Tuhan. Maka, Imām Mālik melihat thaharah sebagai silsilah kesadaran: dari wudhu menuju akhlak, dari air menuju hati, dari kesucian menuju kedekatan Ilahi.
Refleksi Madinah: Kesalehan yang Menular
Madinah pada masa Imām Mālik bukan sekadar kota Nabi, tetapi ruang di mana praktik ibadah menjadi budaya. Penduduk Madinah menjaga thaharah bukan karena takut dosa, melainkan karena malu kepada Allah. Imām Mālik menghidupkan warisan ini dalam fiqhnya, menegaskan bahwa kebersihan adalah wajah Islam yang paling nyata.
Dalam konteks kehidupan hari ini, kesucian bisa diwujudkan dalam bentuk sederhana: menjaga kebersihan tempat ibadah, tidak membuang sampah sembarangan, dan menjaga tutur kata. Semua itu adalah bagian dari thaharah al-qalb — penyucian hati yang memancar dalam tindakan.
Penutup: Kesucian sebagai Jalan Menjadi Manusia
Imām Mālik mengajarkan bahwa thaharah bukan sekadar syarat shalat, tetapi cara hidup. Air, niat, dan adab menjadi satu kesatuan yang menuntun manusia untuk selalu hadir dalam keadaan bersih, lahir dan batin. Dalam kebersihan itulah letak ketenangan.
Kesucian yang sejati tidak berhenti pada tubuh yang bersih, tetapi pada jiwa yang lapang, pikiran yang jernih, dan hati yang lembut. Seperti air yang terus mengalir, ajaran Imām Mālik mengingatkan: kebersihan adalah awal dari kebijaksanaan, dan niat adalah pintu menuju cinta Ilahi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
