Khazanah
Beranda » Berita » Waktu Shalat dalam Al-Muwaṭṭa’: Kedisiplinan Ibadah dari Madinah Nabawi

Waktu Shalat dalam Al-Muwaṭṭa’: Kedisiplinan Ibadah dari Madinah Nabawi

Umat Islam Madinah berjalan menuju masjid saat waktu shalat tiba.
Gambaran masyarakat Madinah menuju masjid di bawah sinar jingga senja, menandakan hubungan antara waktu dan ketundukan.

Surau.co. Shalat selalu menjadi denyut kehidupan seorang Muslim. Dalam Al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik ibn Anas, pembahasan tentang waktu shalat bukan sekadar panduan teknis, melainkan refleksi kedisiplinan spiritual yang tumbuh dari kehidupan masyarakat Madinah pada masa Nabi ﷺ. Melalui susunan hadis dan praktik sahabat, Imām Mālik menggambarkan bagaimana penduduk Madinah menjaga waktu shalat dengan kesungguhan yang lembut—sebuah kesalehan yang lahir dari kebiasaan, bukan paksaan.

Waktu sebagai Amanah: Hikmah dari Madinah

Imām Mālik membuka kitab Al-Muwaṭṭa’ dengan bab tentang waktu shalat, menandakan bahwa waktu adalah kunci bagi seluruh ibadah. Shalat tidak bisa dilepaskan dari ritme waktu, sebagaimana kehidupan manusia tak bisa lepas dari perubahan siang dan malam. Dalam hadis riwayat Imām Mālik disebutkan:

إِنَّمَا أَجَلُّ الصَّلَاةِ وَقْتُهَا، وَمَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Sesungguhnya waktu shalat adalah ketetapan bagi shalat itu, dan barang siapa lupa melaksanakannya, hendaklah ia shalat ketika mengingatnya.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Wuqūt)

Hadis ini menggambarkan keindahan fiqh Mālikī yang menempatkan manusia dalam realitasnya: bisa lupa, bisa lalai, tetapi selalu diberi ruang untuk kembali. Waktu, dalam pandangan Imām Mālik, bukanlah pengikat yang kaku, melainkan pengingat agar manusia terus berputar dalam orbit ketundukan kepada Allah.

Fenomena Sehari-hari: Ketika Waktu Shalat Menjadi Penanda Kehidupan

Bayangkan suasana Madinah abad ke-2 Hijriah: pasar mulai sepi ketika adzan dhuhur berkumandang, anak-anak berhenti bermain untuk melihat orang-orang dewasa berjalan menuju masjid, dan rumah-rumah sunyi di waktu subuh karena semua menuju mihrab. Shalat menjadi ritme sosial yang menyatukan warga Madinah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Imām Mālik menuliskan riwayat dari ʿĀ’isyah r.a.:

كَانَ النَّاسُ يُصَلُّونَ الْعَصْرَ ثُمَّ يَذْهَبُونَ إِلَى بَنِي حَارِثَةَ فَيُدْرِكُونَ الشَّمْسَ لَمْ تَغِبْ
“Dulu orang-orang melaksanakan shalat ashar, kemudian pergi ke Bani Hārithah, dan mereka masih mendapati matahari belum tenggelam.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Wuqūt)

Riwayat ini memperlihatkan bahwa waktu shalat bukan semata batas legal, tetapi penanda kedisiplinan sosial. Warga Madinah begitu menghargai waktu hingga aktivitas ekonomi pun tunduk pada irama shalat. Dari sini lahir etika waktu yang menjadi dasar pembentukan masyarakat Muslim yang teratur.

Menjaga Keteraturan: Antara Fiqh dan Kesadaran Ruhani

Imām Mālik tidak hanya meriwayatkan hadis, tetapi juga menampilkan pandangan fiqh yang lahir dari pengamatan terhadap ‘amal ahl al-Madīnah—tradisi ibadah masyarakat Madinah yang diwariskan langsung dari Nabi ﷺ. Dalam satu riwayat disebutkan:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat maghrib ketika matahari telah terbenam.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Wuqūt)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kesederhanaan hadis ini justru menunjukkan konsistensi. Tidak ada penundaan, tidak ada keraguan: shalat segera setelah waktu tiba. Dalam fiqh Mālikī, hal ini menjadi prinsip utama—shalat di awal waktu merupakan bentuk penghormatan tertinggi terhadap perintah Allah.

Ritme ini melatih manusia untuk tidak menunda kebaikan. Sebagaimana waktu tidak pernah berhenti, begitu pula shalat tidak boleh ditunda hingga kehilangan maknanya.

Refleksi Modern: Waktu Shalat di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

Di zaman modern, manusia mudah terperangkap dalam kecepatan dan kesibukan. Jam kerja yang panjang, notifikasi tanpa henti, dan ritme digital membuat banyak orang kehilangan rasa waktu. Namun, ajaran Imām Mālik seolah menepuk lembut bahu kita: disiplin bukan tentang keterpaksaan, tetapi tentang cinta terhadap keteraturan yang menenangkan.

Imām Mālik meriwayatkan:

إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ، تَقُولُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ أَحَدًا أَوْ يُحْدِثْ فِيهِ
“Para malaikat bershalawat kepada salah seorang di antara kalian selama ia masih berada di tempat shalatnya, seraya berkata: ‘Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia,’ selama ia tidak mengganggu atau melakukan hal yang membatalkan.”
(Al-Muwaṭṭa’, Kitāb al-Ṣalāh)

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Hadis ini mengajarkan bahwa menjaga waktu shalat bukan hanya perkara teknis, tetapi juga memperpanjang keberkahan waktu itu sendiri. Siapa yang disiplin terhadap shalatnya, sejatinya sedang menata keseimbangan batin.

Kedisiplinan Ibadah: Warisan Madinah untuk Umat

Madinah adalah kota di mana waktu dan ibadah berpadu. Dalam pandangan Imām Mālik, waktu shalat adalah simbol dari tartīb al-hayāt—pengaturan hidup agar seimbang antara dunia dan akhirat. Ketika seseorang menjaga waktu shalat, ia sebenarnya sedang menjaga arah hidupnya.

Allah Swt. berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisā’: 103)

Ayat ini menjadi penguat bagi prinsip yang dipegang oleh Imām Mālik: disiplin waktu adalah bagian dari tauhid. Menyegerakan shalat bukan semata kewajiban, tetapi ekspresi cinta terhadap Allah yang memberi waktu.

Penutup: Waktu Shalat, Waktu untuk Menjadi Manusia

Dari Al-Muwaṭṭa’ kita belajar bahwa waktu shalat bukan sekadar jadwal, melainkan proses membentuk diri menjadi manusia yang peka terhadap tanda-tanda Ilahi. Dalam dunia yang semakin cepat, shalat mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, menata napas, dan kembali ke poros kesadaran.

Imām Mālik tidak sekadar mengajarkan hukum, tetapi gaya hidup: hidup yang tertata oleh ibadah. Maka, menjaga waktu shalat adalah menjaga kemanusiaan kita sendiri.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement